Selasa, 14 November 2017

TEORI DEKONSTRUKSI (Jacques Derrida)



TEORI DEKONSTRUKSI 
(Jacques Derrida)
OLEH
Jose DA Conceicao Verdial


   1.    Pendahuluan
Sebagaimana kita ketahui sastra tidak bisa kita lepaskan dari kehidupan kita. Semenjak kita masih balita, kita telah mengenal yang namanya sastra yaitu berupa dongeng-dongeng yang diceritakan oleh orang tua kita. Seiring berjalannya waktu sastra pun semakin kita kenal dan tidak hanya berupa dongeng, melainkan bentuk sastra lainnya seperti puisi, cerpen, novel ataupun film yang bisa digolongkan pada jenis karya sastra puisi, prosa, dan drama.
Kita sebagai mahasiswa apalagi jurusan bahasa dan sastra Indonesia tentunya telah banyak karya sastra yang telah kita baca ataupun kita buat sendiri. Namun dalam membaca teks karya sastra, kita masih berpandangan satu arah dengan mengikuti pendapat atau simpulan yang telah dikonvensionalkan serta cepat menyimpulkan pemaknaan cerita dengan hanya membaca dan mentelaah teks secara umum saja. Kita pada saat ini telah berada pada masa postmodernisasi, pandangan-pandangan seperti diatas tidak diinginkan dalam sastra. Pada masa ini kita dituntut untuk lebih kritis dalam membaca karya sastra, sehingga muncullah metode-metode pembacaan teks seperti dekonstruksi.
Dekonstruksi menolak pandangan bahwa bahasa memiliki makna yang pasti, tertentu,  dan konstan sebagaimana halnya pandangan strukturalisme klasik. Tidak ada ungakapn atau bentuk-bentuk kebahasaan yang bermkana tertentu dan pasti. Hal ini yang menjadikan paham dekonstruksi sebagai poststrukturalisme.
Dengan menggunakan metode dekonstruksi dalam membaca teks diharapkan kita bisa melihat fakta-fakta lain dalam teks karya sastra. Sehingga tidak ada kemutlakan dalam memaknai karya sastra dan menghilangkan anggapan-anggapan yang absolut serta menemukan hal-hal baru yang pada awalnya terabaikan.

2.    Dekontruksi
Dalam bidang filsafat maupun sastra, dekonstruksi termasuk salah satu teori yang sangat sulit untuk dipahami. Dibandingkan dengan teori-teori postrukturalisme pada umumnya, secara definitif perbedaan sekaligus ciri khas dekonstruksi sebagaimana dikemukakan oleh Derrida (1976) adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis dikotomis. Konsep dekontruksi (Selden, 1986:84) mulai dikenal sejak Derrida membawakan makalahnya yang berjudul “Structure, sign, and play in the discourse of the human sciences “,di universitas Johns Hopkins tahun 1966.
Dekonstruksi berasal dari kata de + construktio (latin). Pada umumnya  de berarti ke bawah, pengurangan, atau terlepas dari. Sedangkan kata Construktio berarti bentuk, susunan, hal menyusun, hal mengatur. Dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk yang sudah baku. Kristeva (1980:36-37), misalnya, menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi. Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab keseluruhannya pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi dengan demikian tidak terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat wacana. Menurut Al-fayyadl (2011: 232) dekonstruksi adalah testimoni terbuka kepada mereka yang kalah, mereka yang terpinggirkan oleh stabilitas rezim bernama pengarang. Maka, sebuah dekonstruksi adalah gerak perjalanan menuju hidup itu sendiri.
Memahami dekonstruksi bukan sesuatu yang mudah. Ini terkait pengartian yang sering keliru. Banyak orang mengartikan dekonstruksi sebagai pembongkaran sesuatu yang sudah mapan. Ini memang tidak dapat dikatakan salah sepenuhnya. Tetapi, ini juga tidak dapat dikatakan benar. Strategi dekonstruksi dalam membongkar suatu teks bukan hanya menciptakan makna baru.
Bagi Derrida, dekonstruksi adalah sebuah strategi filsafat, politik, dan intelektual untuk membongkar modus membaca dan menginterpretasi yang mendominasi dan menguatkan fondamen hierarki. Dengan demikian, dekonstruksi merupakan strategi untuk menguliti lapisan-lapisan makna yang terdapat di dalam teks yang selama ini sudah mapan.

3.    Problematika Dekontruksi
Jacques Derrida merupakan seorang keturunan Yahudi yang lahir di El-Biar, sekitar Aljazair, pada tahun 1930. Ia pernah belajar di Ecole Normale Superieure (ENS), hingga akhirnya menjadi dosen tetap di lembaga tersebut pada 1967-1992. Derrida merupakan seorang pemikir yang kritis terhadap filsafat modern dan berbagai karya sastra tapi ia sendiri menolak disebut sebagai filsuf atau sastrawan.
Derrida tertarik untuk mengkritik filsafat modern karena filsafat modern identik dengan pandangan metafisika being (kehadiran) dan Logosentrisme (percaya pada rasio). Metafisika kehadiran menjelaskan bahwa suatu konsep atau teori akan dibenarkan jika sudah mewakili “being” (ada). Sesuatu yang “ada” itu bisa terwakili oleh kata dan tanda. Derrida memiliki penolakan terhadapa pandangan tersebut, menurutnya kata, tanda, dan konsep bukanlah kenyataan yang menghadirkan “ada” melainkan hanya berupa “trace” (bekas). Baginya, sesuatu yang “ada” bersifat majemuk, tak berstruktur, dan tak bersistem, hingga tak bisa sekonyong-konyong dibenarkan melalui kata, tanda, dan konsep tunggal. Maka metafisika kehadiran atau biasa disebut metafisika modern tersebut harus dibongkar (dekonstruksi) untuk menemukan solusi atas permasalahan modernitas.
Para filsuf barat acapakali mengunggulkan “Logosentrisme”. Tradisi Logosentrisme menonjolkan kecenderungan berpikir binner dan hirarkis. Logosentrisme menganggap bahwa yang pertama merupakan sumber (pusat) kebenaran, sedangkan yang berikutnya adalah kebenaran pinggiran dan selalu menjadi hal marjinal bila dibandingkan dengan konsep awal (pertama). Apalagi Logosentrisme identik dengan konsep totalitas dan konsep esensi. Konsep totalitas menyatakan bahwa kebenaran adalah satu. Sedangkan konsep esensi menyatakan tentang dasar sesuatu pada pengetahuan. Kedua konsep tersebut, baik totalitas maupun esensi bisa menjadi konsep-konsep yang memaksa atas adanya sesuatu pengetahuan dan melegitimasi kekuasaan berdasarkan rasio dan pengetahuan. Logosentrisme seringkali menjadi pandangan bagi pemikiran modern yang menimbulkan dikotomi subyek-obyek. Subyek bisa sepuasnya mengeksploitasi obyek dan menentukan validitas kebenrannya terhadap obyek. Kebenaran ini seringkali dicirikan dengan kebenaran tunggal, absolut, dan universal.
Derrida menyatakan bahwa filsafat yang cenderung mencari kebenaran absolut acapkali meninggalkan pengertian bahasa dalam menyusun konsep dan teori. Filsafat menyatakan bahwa kebenaran dan teori mampu merepresentasikan kebenaran apa adanaya. Derrida menginginkana kebenaran tidak mesti tunggal, absolut, dan universal. Oleh karenanya Derrida selalu bergairah untuk mendekonstruksi pemikiran modern. Proyek dekonstruksinya diawali dengan memusatkan perhatiannya pada bahasa karena ide, gagasan, dan konsep diungkapkan melalui bahasa. Dalam bahasa terdapat prioritas dan kepentingan. Pandangan modern menunjukkan bahwa kata pertama menjadi fondasi, prinsip, dan dominasi terhadap kata-kata berikutnya.
Namun pandangan dekonstruksi Derrida sering disalahpahami sebagai upaya untuk mengomentari masalah karya sastra, teks-teks bacaan, dan naskah-naskah kuno. Tapi hal itu dimentahkan oleh Derrida dengan bukti bahwa ia turut aktif dalam penentangan terhadap apartheid, pelanggaran HAM, dan ia sendiri mendukung gerakan feminis. Maksud Derrida sendiri ingin menyatakan juga bahwa metode deskontruksi juga bisa berlaku terkait isu-isu sosial, politik, budaya, dan lainnya.
Pemikiran dekonstruktif Derrida berupaya untuk menunujukkan bahwa ada pemikiran lain yang bisa menjadi pemikiran alternatif disamping pemikiran yang telah “ada”. Konsep yang ia tawarkan ini bisa menjadi suara lebih bagi pemikiran-pemikiran yang selama ini terpinggirkan oleh pemikiran tunggal yang menjunjung tinggi Logosentrisme. Dekonstruksi tidak berarti menjurus pada penghancuran suatu konsep tanpa solusi. Tapi dekonstruksi juga bisa menawarkan konsep baru untuk menggantikan konsep lama. Inilah yang membedakan konsep dekonstruksi dengan nihilisme (ketiadaan) Nietzsche. Kaitannya dengan bahasa, Derrida ingin membiarakan bahasa pada karakter yang paradoks, polisemi, dan ambigu. Jika karakter tersebut dihidupkan kembalai dalam bahasa, ia berharap bahwa filsafat tidak akan bisa lagi diklaim sebagai suatu otoritas kebenaran.
Filsafat modern (pemikiran) Barat identik dengan kebenaran yang tunggal, mutlak, dan absolut. Melalui dekonstruksinya, Derrida ingin menyampaikan bahwa kebenaran lama bisa dibongkar dan hal-hal alternatif lainnya bisa menjadi kebenaran baru. Derrida juga sepakat dengan Foulcault bahwa kebenaran yang berdasar pada pengetahuan tidak bisa lepas dari kepentingan kekuasaan. Kelebihan dari dekonstruksi ini bisa memacu para pemikir lain untuk andil dalam menentukan kebenaran menurut apa yang mereka butuhkan. Dekonstruksi Derrida tentunya bisa menjadi jalan untuk menduking pluralitas pemikiran dan penyikapan dalam berbagai bidang kehidupan.
Namun banyak yang mencela konsep dekonstrusi ini karena konsep tersebut cenderung dianggap tidak konsisten dan tidak berprinsip. Karena pandangan dekonstrusinya inilah Derrida dianggap sebagai salah seorang tokoh posmodernisme yang pluralis. Tapi walau Derrida memiliki pandangan tersebut, ia tidak mengiyakan bahwa konsep dekonstruksi merupakan konsep penghancuran tanpa adanya konsep lain. Baginya konsep ini bisa mengatasi problem masyarakat modern yang terjebak oleh kebenaran tunggal. Ia sendiri berpendapat bahwa kebenaran tunggal merupakan produk kapitalis dan dipaksakan secara totaliter ke berbagai aspek kehidupan dan disusupkan melalui bahasa yang dipakai manusia.

4.    Tokoh Dekonstruksi
Tokoh terpenting didalam teori ini adalah Jacques Derrida (Al-Fayyadl, 2005: 2) adalah keturuan Yahudi. Ia dilahirkan di El-Biar, salah satu wilayah Aljazair pada 15 Juli 1930. Pada tahun 1949 ia pindah ke Prancis, tempat ia tinggal sampai akhir hayatnya. Pada tahun 1952, ia belajar di Ecole normale supérieure, Prancis, dan pernah juga mangajar di sana sesaat sebelum kematiannya. Derrida pernah mendapat gelar doctor honoris causa di Universitas Cambridge. Ia meninggal dunia karena penyakit kanker pada 2004.
Derrida muda dibesarkan dalam lingkungan yang agak bersikap diskriminatif. Ia mundur atau dipaksa mundur dari sedikitnya dua sekolah, ketika ia masih anak-anak, semata-mata karena ia seorang Yahudi. Ia dipaksa keluar dari sebuah sekolah, karena ada batas kuota 7 persen bagi warga Yahudi. Meskipun Derrida mungkin tidak akan suka, jika dikatakan bahwa karyanya diwarnai oleh latar belakang kehidupannya ini, pengalaman kehidupan ini tampaknya berperan besar pada sikap Derrida yang begitu menekankan pentingnya kaum marginal dan yang lain, dalam pemikirannya kemudian.
Derrida dua kali menolak posisi bergengsi di Ecole Normale Superieure, di mana Sartre, Simone de Beauvoir, dan mayoritas kaum intelektual serta akademisi Perancis memulai karirnya. Namun, akhirnya ia menerima posisi itu pada usia 19.Sejak tahun 1974 (Bertens, 2001: 327) Derrida ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan dosen filsafat yang memperjuangkan tempat yang wajar untuk filsafat pada taraf sekolah menengah.
Karya awal Derrida di bidang filsafat sebagian besar berkaitan dengan fenomenologi. Latihan awalnya sebagai filsuf dilakukan melalui kacamata Edmund Husserl. Inspirasi penting lain bagi pemikiran awalnya berasal dari Nietzsche, Heidegger, De Saussure, Levinas dan Freud. Derrida mengakui utang budinya kepada para pemikir itu dalam pengembangan pendekatannya terhadap teks, yang kemudian dikenal sebagai 'dekonstruksi'.

5.    Sejarah Teori Dekonstruksi
Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Pada dasarnya, menurut Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika barat seperti fenomenologi Husserlian, strukturalisme Saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya, psikoanalisis Freudian dan Psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, mengungkap hakikat problematika wacana-wacana yang dipusatkan, dipihak yang lain membongkar metafisika dengan megubah batas-batasnya secara konseptual. Dekonstruksi juga berkembang di Amerika, sebagai aliran yale. Model dekonstruksi dalam sejarah dikemukakan oleh Hayden White dalam bukunya Tropics of Discourse (1987). Menurut White, sejarah tidak seratus persen objektif sebab bagaimanapun  sejarahwan menyusun cerita kedalam suatu struktur, menceritakan kembali dalam suatu plot.
Perbedaan antara pembaca non dekonstruksi dan dekonstruksi dapat dijelaskan sebagai berikut. Pembaca non dekonstruksi atau pembaca konvensional dilakukan dengan cara menemukan makna yang benar, makna terakhir, yang disebut sebagai makna optimal. Sebaliknya, pembaca dekonstruksi tidak perlu menemukan makna terakhir. Yang diperlukan adalah pembongkaran secara terus menerus, sebagai proses. Dekonstruksi dilakukan dengan cara pemberian perhatian terhadap gejala-gelaja yang tersembunyi, sengaja disembunyikan, seperti ketidakbenaran, tokoh sampingan, perempuan, dan sebagainya. Umar Junus (1996:109-109) memandang dekonstruksi sebagai persepektif baru dalam penelitian sastra. Dekonstruksi justru memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak memperoleh perhatian. Memungkinkan untuk melakukan penjelajahan intelektual dengan apa saja, tanpa terikat dengan sutu aturan yang dianggap telah berlaku universal.  

6.    Konsep Teori Dekonstruksi
6.1     Tujuan
Menurut Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi Metafisika Barat seperti fenomenologi Husserlin, strukturalisme saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya, psikoanalisi Freudian, dan psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, disatu pihak mengungkap problematika wacana-wacana yang dipusatkan, di pihak lain membongkar metafisika dengan mengubah batas-batasnya secara konseptual. Sedangkan tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpamgan di balik teks-teks.

6.2     Prinsip-prinsip Teori Dekonstruksi
Prinsip- prinsip yang terdapat dalam teori dekonstruksi adalah:
1.      Melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi)
2.      Membalikkan atau merubah makna-makna yang sudah dikonvensionalkan.

Pada dasarnya dekonstruksi yang sudah dilakukan oleh Nietzsche (Culler, 1983:86-87) dalam kaitannya dengan usaha-usaha untuk memberikan makna baru terhadap prinsip sebab-akibat. Prinsip sebab-akibat selalu memberikan perhatian terhadap sebab, sedangkan akibatnya sebagai gejala minor. Nietzsche menjelaskan bahwa prinsip sebab akibat bukanlah hukum universal melainkan merupakan retorika bahasa, sebagai gejala metonimi, gejala bahasa dengan cara melekatkan nama orang atau benda-benda pada pusat objek yang lain.
Saussure menjelaskan bahwa makna yang diperoleh melalui pembagian lambang-lambang menjadi penanda dan petanda. Dekonstruksi menolak keputusan tersebut dengan cara terus menerus berusaha melepaskan diri, sekligus mencoba menemukan pusat-pusat yang baru. Menurut Saussure (Eagleton, 1983:128), hubungan penanda dengan petanda bersifat pasti.
Derrida (Spivak, 1976:xliii) menjelaskan peristiwa diatas dengan istilah difference dan differance, dua kata yang ucapannya hampir sama tetapi penulisannya berbeda, dibedakan melalui huruf ke-7. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa latin,  differe, yang sekaligus berarti to differ (membedakan) yang berkonotasi spasial, dan to defer (menunda) yang berkonotasi temporal. Derrida (Norris, 1983:32) menghubungkan kerangka ruang dan waktu dengan tanda dan bendanya, tanda sebagai wakil dari bendanya. Tanda sekaligus menunjukkan kehadiran yang tertunda. Makna kata difference berada dalam posisi yang mengambang antara to differ dan to defer, keduanya berpengaruh terhadap kekuatan tekstual, tetapi tidak secara utuh mewakili kata difference tersebut. Oleh karena tanda-tanda mengimplikasikan makna, maka makna karya pun selalu berbeda dan tertunda, sesuai dengan ruang dan waktu. Artinya, antara konsep dan kenyataan selalu mempunyai jarak sekaligus perbedaan. Derrida menjdai terkenal karena konsep dekonstruksi, logosentrisme, fonosentrisme, difference / differance, trace, dan dencentering.
Differance (Derrida, 2002:45,61) adalah istilah yang diciptakan oleh Derrida tahun 1968 dalam kaitannya dengan pemahamannya mengenai ilmu bahasa Saussure dan antropologi Levi-Strauss. Menurut Derrida, perbedaaan  difference dan differance, bahasa kamus baik bahasa Inggris maupun bahasa Perancis dan bahasa dekonstruksi Derrida, tidak dapat diketahui melalui ucapan, melainkan melalui tulisan. Menurutnya, tulisan lebih utama dibandingkan dengan ucapan. Menurut Derrida (Eagleton, 1983:127-128) makna tidak dengan sendirinya hadir dalam suatu lambang. Lambang mempersoalkan sesuatu yang bukan dirinya, lambang mewakili sesuatu yang lain. Makna hadir dalam rangkaian penanda.
Pemikiran akan différance merupakan jalan kemungkinan berpikir yang membebaskan tulisan dari interpretasi metafisis, di mana bahasa ditujukkan untuk mengekspresikan makna atau kebenaran kehadiran pada dirinya.  Différance itu memiliki perbedaan dengan différence atau différer. Dalam kamus Prancis kata différer mengandung arti berbeda, bertolak belakang, tidak mempunyai kesamaan (kata kerja intransitif) dan menunda, menangguhkan, mengundurkan waktu (kata kerja transitif) . Kata differance diciptakan Derrida untuk menunjuk bagaimana makna ditirunkan dari penundaan dan tidak pernah hadir sepenuhnya, melainkan selalu tertunda (postponed). Karena itu, différance tidak pernah dapat dijadikan objek ilmu pengetahuan sebab itu tidak tertangkap dengan kehadiran.
Dekonstruksi Derrida bermula dari huruf. Dan hal ini kita saksikan bagaimana Derrida memanipulasi huruf a pada difference untuk memperlihatkan betapa ambigunya sebuah kata yang tampak tunggal dan sederhana. Adanya pemikiran tentang différance merupakan suatu keinginan untuk tidak berada dalam metafisika. Dengan kata lain, Derrida berusaha untuk melebihi metafisika, melampaui pemikiran yang ditandai kehadiran. Maka différance sebenarnya tidak ada, untuk tidak menguraikannya dalam suasana atau kerangka metafisis.
Istilah Différance, dapat dibeakan dalam empat arti yaitu: pertama, différance menunjuk kepada apa yang menunda kehadiran. Différance adalah proses penundaan yang tidak didahului oleh suatu kesatuan asli. Kedua, différance adalah gerak yang mendiferensiasikan karena différance bergerak dalam oposisi terhadap konsep-konsep. Ketiga, différance adalah produksi semua perbedaan yang merupakan syarat untuk timbulnya setiap makna dalam setiap struktur. Keempat, différance juga dapat menunjukan berlangsungnya perbedaan antara
Différance bagi Derrida juga bukan merupakan suatu asal usul. Bila demikian, ia akan jatuh pada metafisika. Ia jatuh pada identitas terakhir yang melebihi semua perbedaan tekstual. Dengan pemikiran ini Derrida menolak penjadian différance sebagai suatu makna transendental. Différance juga menganut tekstualitas, menunjuk pada yang lain. Bagi Derrida, tak ada identitas terakhir. Maka bisa dikatakan bahwa realitas itu menunjuk pada yang lain dan tidak pernah berhenti atau berakhir. Di sinilah keradikalan Derrida dalam filsafatnya. Bagi Derrida, tak ada ruang lagi untuk suatu dimensi tak berhingga.
Konsep Saussure yang juga didekonstruksi oleh Derrida adalah doktrin hierarki ucapan-tulisan, yang pada dasarnya memandang ucapan sebagai pusat, sedangkan tulisan sebagai non pusat. Menurut Saussure, ucapan lebih dekat dengan pikiran dan perasaan sebab ucapan mengimplikasikan subjek yang berbicara, subjek yang hadir secara serta merta, sedangkan tulisan yang bersifat sekunder, termediasi, grafis dan mewakili.
Menurut Derrida konsep ucapan-tulisan dapat saja dibalik menjadi tulisan-ucapan. Ujaran pun adalah sejenis tulisan, ujaran selalu sudah tertulis, dan dengan demikian bahasa pun sudah tertulis. Menurut Rousseau, ucapan merupakan bentuk asal, tulisan merupakan pelengkap bahasa lisan. Di pihak yang lain, Levi-Strauss melukiskan hubungan antara alam dan kebudayaan yang dengan sendirinya sudah tertulis.

6.3     Metode Penelitian Dekonstruksi
Karya sastra adalah cipta seni yang bermediumkan bahasa yang dominan Unsur estetiknya. Bahasa yang dipakai sebagai medium di dalam karya sastra menggunakan bahasa tingkat kedua (significance) atau konvensi tambahan (Preminger via Pradopo, 1995: 121). Penggunaan bahasa tingkat kedua dalam karya sastra memungkinkan lahirnya penafsiran yang banyak terhadap karya sastra tersebut. Oleh karena itu, upaya untuk menemukan makna tunggal dari sebuah karya sastra adalah sesuatu yang mustahil. Sebab setiap penemuan jejak makna dalam sebuah teks, akan melahirkan jejak baru dibalik makna tersebut (Derrida dalam Norris, 2003: 12).
Dekonstruksi menolak adanya gagasan makna pusat. Pusat itu relatif. Ia mengingkari makna monosemi (Selden, 1985:88). Jadi untuk pemaknaan ini sangat longgar. Oleh karena itulah banyak tafsir terhadap objek. Menurut Norris (2003:24) dekonstruksi merupakan strategi untuk membuktikan bahwa sastra bukanlah bahasa yang sederhana.
Hakekat dekonstruksi adalah penerapan pola analisis teks yang dikehendaki oleh peneliti dan menjaga teks agar tetap bermakna polisemi. Di dalam penafsirannya selalu terjadi proses membedakan dan menangguhkan (difference). Istilah difference ini diungkapkan pertama oleh Derrida untuk menyatakan ciri tanda yang terpecah. Di sini dipilih unit wacana yang mampu menimbulkan kebuntuan makna atau satu figur yang menimbulkan satu kesulitan untuk dijabarkan. Bagian ini disebut titik aphoria (Norris, 1982:49). Titik aphoria selanjutnya akan menimbulkan alusi. Ketika ditemukan sebuah inti wacana yang mengalami kebuntuan maka akan timbul asosiasi dengan teks lain atau peristiwa yang senada dengan yang dihadapi. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mempertentangkan atau menyejajarkan dengan unit wacana yang dihadapi. Penyejajaran atau pertentangan bisa dihubungkan dengan unit wacana lain di dalam teks yang sama (retrospektif) atau bisa dengan melacaknya di luar obyek (prospektif). Jadi cara ini seperti bermain bebas (free play).
Dekonstruksi sangat percaya kepada teks. Teks mempunyai otonomi yang luar biasa, segalanya hanya dimungkinkan oleh teks (Junus, 1985:98). Lebih lanjut Umar Junus mengatakan bahwa sebuah teks punya banyak kemungkinan makna sehingga teks sangat berbeda. Seorang pembaca tak akan mengkonkretkan satu makna saja, tetapi akan membiarkan segala kemungkinan makna hidup, sehingga teks itu ambigu. Dekonstruksi lebih menumpukan kepada unsur bahasa. Bahkan dapat dikatakan dekonstruksi bertolak dari unsur bahasa yang kecil untuk kemudian bergerak maju kepada keseluruhan teks. (1985:99).
Metode dekonstruksi yang dilakukan Derrida lebih dikenal dengan istilah dekonstruksi metaforik. Metafora di sini bukan dipahami sebagai suatu aspek dari fungsi ekspresif bahasa tapi sebagai suatu kondisi yang esensial tentang tuturan (Sarup, 2003:77-79). Metafora mewakili salah satu cara dari penyusunan wacana dan secara kuat mempengaruhi pemahaman teks berbagai hal. Dekonstruksi dilakukan terhadap teks metaforis yang disusun oleh penulis. Dekonstruksi bisa terjadi pada teks itu sendiri atau sebaliknya kita yang mendekonstruksi sebuah teks.
Kata-kata yang dipakai dalam bahasa karya sastra bersifat denotatif sekaligus konotatif. Pengalaman batin bisa muncul dari asosiasi pikiran dengan arti kata-kata, tetapi sering juga lewat bunyi kata. Pertalian pikiran yang timbul dari kata bisa melayang, meledak, suci, murni, hitam, legam dan seterusnya. Hal ini bukan hanya terjadi dari katanya tetapi bisa juga dari bunyi katanya. Kesadaran akan adanya asosiasi itu melahirkan kecenderungan kepada simbolisme
Sebagai langkah dalam menyikapi karya sastra melalui dekonstruksi Derrida pun kemudian menggunakan istilah “trace” sebagai konsep dalam menelusuri makna. Trace (jejak) bersifat misterius dan tidak terungkap, muncul sebagai kekuatan dan pembentuk tulisan, menembus dan memberi energi pada aktivitasnya yang menyeluruh. Hal ini berarti bahwa makna akan bergerak, harus dilacak terus menerus dan meloncat-loncat.
Pengarang di dalam mengemukakan perasaannya sering tidak secara langsung. Kadang-kadang lewat peristiwa-peristiwa maupun simbol-simbol. Di sinilah letak pentingnya pengalaman dan pengetahuan pembaca untuk bisa menangkap pesan tersebut. Bekal pengetahuan yang Jausz disebut sebagai horizon harapan ini sangat penting dalam upaya mencari jejak (trace) sebagai metode pemaknaan dekonstruksi. Dengan bekal itu pembaca akan bisa mengisi tempat kosong dalam teks, karena memang sifat karya sastra itu multiinterpretable (Pradopo, 1985:185). Inilah penggambaran dari metode penelitian dekonstruksi tersebut

6.4     Sistematika Penerapan Dekonstruksi.
Pada awalnya, dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi berfungsi dengan cara masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus berlangsung, terhadap teks-teks tertentu. Ia berkomitmen pada analisis habis-habisan terhadap makna literal teks, dan juga untuk menemukan problem-problem internal di dalam makna tersebut, yang mungkin bisa mengarahkan ke makna-makna alternatif, di pojok-pojok teks (termasuk catatan kaki) yang diabaikan.
Dekonstruksi menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi (pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan (undecidability), yang mengkhianati setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang dalam teks yang ditulisnya.
Proses penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang diungkapkan, dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu berlandaskan pada teks, dan mengapa term-term kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk didekonstruksi, sehingga titik pengelakan selalu dilokasikan di tempat yang berbeda. Ini juga memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi harus dilakukan dengan hati-hati.
Ada suatu paradoks dalam upaya membatasi atau mengurung dekonstruksi pada satu maksud menyeluruh tertentu, mengingat dekonstruksi justru berlandaskan pada hasrat untuk mengekspos kita terhadap keseluruhan yang lain (tout autre), dan untuk membuka diri terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif. Penjelasan ini berisiko membuat kita semakin sulit memahami pemikiran Derrida. Adanya perbedaan yang lebar dan diakui meluas, antara karya-karya awal dan karya-karya terakhir Derrida, juga menjadi contoh yang jelas bagi kesulitan yang akan muncul, jika kita menyatakan bahwa “dekonstruksi mengatakan ini” atau “dekonstruksi melarang itu.”
Namun, ada ciri tertentu dari dekonstruksi yang bisa kita lihat. Misalnya, keseluruhan upaya Derrida dilandaskan pada keyakinannya tentang adanya dualisme, yang hadir dan tak bisa dicabut lagi pada berbagai pemikiran filsafat Barat. Kekhasan cara baca dekonstruktif, yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat bermuatan filosofis, adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar bukanlah sekadar inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau premis tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya, kemungkinan filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan. 
Oleh karena itu, dalam metode dekonstruksi, atau lebih tepatnya pembacaan dekonstruktif, filsafat diartikan sebagai tulisan, dan oleh karenanya, filsafat tidak pernah berupa ungkapan transparan pemikiran langsung. Sebab, setiap pemikiran filosofis tentu disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter material, baik grafis maupun fonetis. Dan sistem tanda itu tentu juga tak hanya digunakan untuk kepentingan filosofis. Filsafat yang pada dasarnya adalah tulisan, ingin melepaskan statusnya sebagai tulisan, dan keluar dari kerangka fisik kebahasaan yang digunakannya. Bahasa ingin digunakan sebagai sarana transparan untuk menghadirkan makna dan kebenaran riil yang ekstra-linguistik, atau dalam istilah kita tadi, kebenaran absolut, kebenaran yang betul-betul benar.
Sedangkan tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpangan di balik teks-teks. Sistematika penerapan dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah:
1.    Mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks, biasanya terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak. 
2.    Oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan atau privilesenya dibalik.
3.    Memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama.
Dengan langkah-langkah semacam ini, pembacaan dekonstruktif berbeda dari pembacaan biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna sebenarnya dari teks, atau bahkan terkadang berusaha menemukan makna yang lebih benar, yang teks itu sendiri barangkali tidak pernah memuatnya. Sedangkan pembacaan dekonstruktif ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan setiap upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal.

7.    Analisis Dekonstruksi Novel Siti Nurbaya
Novel SN berlatar di Padang. Novel ini menceritakan jalinan asmara antara Nurbaya dan Samsul Bahri. Sejak kecil, mereka tumbuh dan sekolah bersama. Kedua orang tua mereka pun sudah saling mengenal dan memiliki hubungan yang baik. Karena mereka selalu bersama itulah terjalin hubungan cinta kasih antara keduanya. Kepergian Samsul Bahri untuk sekolah dokter di Batavia merupakan kesedihan bagi Nurbaya, seperti terlihat pada data berikut.

“Tatkala Nurbaya tiada dapat lagi membedakan kekasihnya, daripada orang lain, di atas kapal, berjalanlah ia perlahan-lahan ke ujung suatu tanjung, akan mengikuti kapal itu dengan matanya. Makin lama makin sunyilah rasanya padanya alam ini” (Rusli, 1994:81).

Datuk Maringgih yang licik, mengubur cita-cita Nurbaya menikah bersama kekasihnya. Awalnya, Baginda Sulaiman terlibat hutang kepada Datuk Maringgih. Dengan kelicikannya, Datuk Maringgih berhasil memperdaya Baginda Sulaiman sehingga tidak mampu membayar hutang pada waktu yang telah ditentukan. Datuk Maringgih tidak akan menjebloskan Baginda Sulaiman ke penjara tetapi dengan satu syarat: menyerahkan Nurbaya. Nurbaya tidak sampai hati dan merasa kasihan apabila ayahnya harus masuk penjara. Oleh sebab itu, Nurbaya memutuskan untuk ‘menyelamatkan ayahnya’ dari penjara dan bersedia menjadi istri Datuk Maringgih, seperti tampak pada data berikut.

“Tatkala kulihat ayahku akan dibawa ke dalam penjara, sebagai seorang penjahat yang bersalah besar, gelaplah mataku dan hilanglah pikiranku dan dengan tiada kuketahui, keluarlah aku, lalu berteriak, jangan dipenjarakan ayahku! Biarlah aku jadi istri Datuk Meringgih!” (Rusli, 1994:119).

Dari gambaran parsial itu, juga mewakili pandangan umum pembaca Samsul Bahri merupakan tokoh protagonis yang hero, putih, tegar sedang Datuk Maringgih, di pihak lain, merupakan tokoh antagonis yang licik, dan jahat.
Sesuai dengan konsep dekonstruksi di atas, ada pemaknaan teks lain terhadap dua karakter tokoh itu. Tampak adanya pertukaran dua karakter yang didapat. Datuk Maringgih merupakan tokoh protagonis, sedang Samsul Bahri, di pihak lain, merupakan tokoh antagonis. Namun, pada tulisan ini hanya penokohan Samsul Bahri yang dikaji
Samsul Bahri bukanlah seorang pemuda hero, melainkan seorang pemua cengeng dan berperasaan nasionalisme sempit. Ia menangis tersedu-sedu semalaman setelah mendapat surat dari Nurbaya. /Setelah Samsu membaca surat ini, direbahkannyalah dirinya di tempat tidurnya, lalu menelungkup manangis tersedu-sedu semalam-malaman itu/ (Rusli, 1994:123). Itu bukan karakter pria yang tegar. Pria tegar bisa kuat ketika dilanda cobaan, bukan cengeng yang identik dengan wanita.
Yang menjadi kajian dekonstruksi utama adalah etika dan nasionalisme. Dalam SN, Bahri melakukan tindakan patut, yaitu menemui Nurbaya tanpa izin suaminya. Meski Nurbaya adalah mantan kekasihnya, tapi Bahri tidak patut menemui istri orang. Itu sangat bertentangan dengan adat Padang. Adat padang cukup jelas memberikan batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Apalagi pertemuan dengan istri orang sangat ditentang dalam adat Padang.
Dari pertemuan itu, Datuk Maringgih cemburu dan menuduh Samsul Bahri berbuat tidak senonoh pada Nurbaya. Datuk Maringgih dan Samsul Bahri berkelahi. Melihat perkelahian itu, ayah Nurbaya jatuh terguling-guling hingga akhirnya meninggal. Karena malu atas perbuatan anaknya, maka Sutan Mahmud mengusir Samsul Bahri seperti apa yang dikatakan pada data berikut.

“Perbuatanmu ini sangat memberi malu aku, sebab tak patut sekali-kali. Kemanakah akan kusembunyikan mukaku? Bagaimanakah aku akan menghapus arang yang telah kau corengkan pada mukaku ini? Perbuatan yang demikian bukanlah perbuatan orang yang berbangsa, anak orang yang berpangkat tinggi, orang yang terpelajar, melainkan pekerjaan orang yang hina, yang tak tahu adat dan kelakuan yang baik.”
....
Kesalahanmu tak dapat kuampuni, karena sangat memberi aib. Pergilah engkau dari sini! Sebab aku tak hendak mengakui engkau lagi. Yang berbuat demikian, bukan anakku”(Rusli,1994:156).
 
Aduhai! Di situlah putus pengharapan, habis sabar dan hilang akal ananda. Sekaranglah ananda menjadi yatim piatu, tiada beribu, tiada berbapa, tiada bersanak atau saudara, tiada kaum kerabat,,kampung halaman dan tanah air lagi. Oleh sebab itu, apalah gunanya ananda hidup juga? Daripada hidup bercermin bangkai lebih baik mati berkalang tanah.” (Rusli, 1994: 222).

Tindakan Bahri menemui Nurbaya merupakan tindakan yang tidak terpuji dan jauh dari tokoh putih yang diasumsikan banyak orang. Tindakan Samsul Bahri setidaknya mencoreng tipikalnya sebagai pemuda asli Padang.
Sepuluh tahun kemudian, Samsul Bahri diceritakan telah menjadi seorang tentara KNIL di Bandung dengan nama Letnan Mas. Letnan Mas digambarkan sebagai seorang opsir bumiputra yang pendiam, tidak seriang teman-temannya, air mukanya bagai seorang yang telah banyak menanggung azab dan sengsara. Keikutsertaan Samsul Bahri dalam KNIL kian meneguhkan penokohannya sebagai tokoh antagonis. Dia telah berkomplot dengan penjajah.  Itu berarti Samsul Bahri memiliki nasionalisme yang sempit sebagaimana dalam data berikut ini.

Setelah berhadap-hadapan mereka, nyatalah pada Letnan Mas, bahwa persangkaannya tadi benar, karena sesungguhnya Datuk Meringgih, algojo Nurbaya, yang berdiri di mukanya, lalu berkatalah ia, “Datuk Meringgih! Benarkah engkau ini?”. “Ya, akulah Datuk Meringgih, saudagar yang kaya di Padang ini,“ jawab kepala perusuh itu, “Engkau ini siapa, maka kenal padaku?“ Setelah diamat-amatinya Letnan Mas ini, terperanjatlah ia lalu surut beberapa langkah ke belakang, seraya berteriak, “Samsul Bahri! Engkau tiada mati? Atau setannyakah ini?”(Rusli,1994:260).


8.        Kelebihan dan Kelemahan dari Teori Dekonstruksi
Dekonstruksi membuka ruang kreatif seluas-luasnya dalam proses pemaknaan dan penafsiran. Itulah kelebihan dekonstruksi, yang membuat setiap orang bebas memberi makna dan menafsiri suatu objek tanpa batas. Ruangan makna terbuka luas, penafsiran bertumbuh biak. Ibarat pepatah, mati satu tumbuh seribu. Penghancuran terhadap suatu makna oleh makna baru melahirkan makna-makna lain.
Demikian bebas, banyaknya makna dan tafsiran, membuat era dekonstruktivisme dianggap era matinya makna. Makna menjadi tak berarti lagi. Inilah kelemahan dekonstruksi. Kelemahan lainnya adalah:
1.    Kebebasan tanpa batas menjadikan makna kehilangan ‘roh’. Yang ada adalah massalisasi makna, retailisme makna. Menjadikan makna sebuah produk massal yang dapat mengurangi nilai obyek tidak lagi memiliki kemewahan ruang pemaknaan untuk ditelaah.
2.    Ketidakbernilaian makna, ke-chaos-an atau asumsi ‘pesimis’ matinya makna dapat menimbulkan apatisme dan ketidakberdayaan terhadap makna.
3.    Dekonstruksi tidak menyediakan shelter-shelter untuk persinggahan khusus dalam proses perjalanan pemaknaan. Titik-titik peristirahatan tertentu diperlukan untuk revitalisasi makna sebelum membuka ruang makna baru bagi perjalanan penafsiran yang lebih bugar. Dengan demikian, kejenuhan dan kebiasaan-kebiasaan pemaknaan dapat dicegah.
4.    Tidak adanya upaya untuk menghargai puing-puing hasil pengahancuran makna karena makna-makna baru dianggap lebih bernilai. Padahal, makna-makna lama bukan tidak mungkin justru memberi nilai tambah abgi makna-makna baru. Karena itu, diperlukan sebuah model semiotika baru untuk menjawab kekurangan-kekurangan tersebut.

Kelemahan lain dari teori dekonstruksi ini adalah banyaknya peluang bagi spekulatif subjektif. Selain itu, dengan terus-menerus melacak bekas-bekas teks lama, maka setiap bentuk asosiasi dapat digunakan dan lama kelamaan bentuk kritik sangat terikat pada pengetahuan dan pribadi kritikus (van Luxemburg, dkk. 1982: 53-60). 

9.        Simpulan
Konsep Derrida tentang dekonstruksi, secara implisit meramalkan suatu kekuatan superfisialitas dalam filsafat. Ramalan ini tersingkap dalam pendiriannya yang secara radikal menolak “logosentrisme ”, yaitu pemikiran tentang “ada sebagai kehadiran”. Kehadiran dalam konsep dekonstruksi Derrida dimengerti sebagai sistem tanda.
Dengan memahami postmodernisme sebagai iklim baru yang diwarnai oleh rekonstruksi dan dekonstruksi realitas, penulis mencoba mendalami salah satu konsep pemikiran postmodern yakni teori dokonstruksi dari Jaques Derrida, seorang filsuf Prancis yang lahir pada tahun 1930 di Alegeria. Derrida datang ke dunia filsafat dengan mempertanyakan metafisika kehadiran-nya para filsuf sebelumnya dan ia membangun konsep dekonstruksi. Melalui teori dekonstruksinya, Derrida menyakini suatu kenyatan bahwa dibalik teks-teks filosofis bukanlah kekosongan, melainkan terdapat sebuah teks lain sebagai suatu jaringan keragaman kekuatan-kekuatan yang tidak jelas pusat referensinya.
Oleh karena itu, dengan lahirnya konsep dekonstruksi tidak berarti bahwa filsafat kehilangan identitasnya, sebab metafor dapat dipakai sebagai paradigma untuk mengkaji persolan filsafat, irasonalitas dan kebenaran sebagai yang berkarakter tegangan (tensional). Dalam hal ini karakter tensionalitas itu perlu dilihat sebagai tegangan kreatif yang perlu dikaji untuk melihat relevansi filsafat secara baru.
Hidup adalah teks, dan kita di dalamnya, bergulat di dalamnya dan menjadi bagian tak terpisahkan darinya. Kita menulis kehidupan ini dan mendekonstruksinya bersama imajinasi. Maka bersama Gunawan Muhamad dalam pengantar buku berjudul Derrida karya Muhammad Al-Fayyadl, kita sepakat bahwa teori dekonstruksi sesungguhnya mengajarkan satu nilai kebijaksanan bagi kita untuk selalu bersikap rendah hati untuk tidak memagari diri dengan sebuah kemapanan konsep atau ideologi. Dekonstruksi mengajak kita untuk tidak cepat ’berpuas diri’ dengan sebuah kemapanan tetapi untuk selalu terbuka terhadap segala kenyataan dunia yang tidak pernah absolut. Realitas selalu ambigu dan imajinasi membuka banyak kemungkinan.

10.     

Daftar Pustaka

Adian, Donny Gahral. 2005. Percik Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.
Al-Fayadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKiS.
Champagne, Roland A. 1995.  Jacques Derrida. New York, Twayne’s World Authors Series.
Derrida, Jacques. 1978. Writing and Difference, Translated, with an Introduction and Additional Notes by Alan Bass. Chicago: The University of Chicago Press.
Eagleton, Terry. 1983. Literary Theory: An Introduction. Oxford: Basil Blackwell.

Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Kristeva, Julia. 1980. Desire in Language: a Semeotic Approach to Literatur and Art. Columbia: Colombia University Press.
Norris, Christopher. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Yogyakarta:  Ar-Ruzz.
Rusli, Marah. 1994. Cetakan ke-24. Siti Nurbaya. Jakarta: Balai Pustaka.
Sarup, Madan. 2003. Postrukturalisme dan Postmodernisme: Sebuah Pengantar
Kritis. Yogyakarta: Jendela.
Saussure, Ferdinand de. 1988. Course de Linguistique Generale (Linguistik
Umum). Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Selden, Raman. 1986. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory.
Sussex: The Harvester Press.
Sugiharto, I. Bambang. 1996. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat,
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
 Suseno, Franz Magnis. 1992.  Filsafat sebgai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius.
Tedjoworo, H. 2001. Imaji dan Imajinasi: Suatu Telaah Filsafat Postmodern. Yogyakarta: Kanisius.
White, Hayden. 1993. Semeotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan Apa Yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

1 komentar:

NEW HISTORICISM

NEW HISTORICISM OLEH Jose Da Conceicao Verdial        Pengantar Teks yang bermunculan di sekitar kita memang tidak terlahi...