Selasa, 14 November 2017

NEW HISTORICISM



NEW HISTORICISM
OLEH
Jose Da Conceicao Verdial

       Pengantar
Teks yang bermunculan di sekitar kita memang tidak terlahir dari suatu budaya yang kosong, karena selalu ada yang melatar belakangi teciptanya teks, baik itu teks sastra ataupun teks non sastra dan tidak bisa dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi, politik karena itu merupakan bagian yang terinternalisasi. Dengan asumsi tersebut pemisahan antara luar dan dalam, intrinsik dan ekstrinsik tidak dapat diberlakukan lagi, dan menembus dari dikotomi yang melingkupinya. Semua teks, baik sastra maupun non sastra yang terlahir merupakan produk dari zaman yang sama dengan berbagai pergulatan dialektika manusia. Di dalam teks sastra juga merefleksikan tentang apa yang menjadi persoalan didalamnya pada masa teks itu tercipta, tentunya ada persoalan baik ekonomi, politik maupun sosial  yang ikut mendasarinya.
Teks memang merupakan produk dari kekuatan sosial historis pada zamannya, tetapi pada saat yang sama teks juga menghasilkan dampak sosial, Greenblatt menyatakan sebagai berikut: Dalam perspektif yang ‘baru’ karya sastra ikut membangun, mengartikulasikan dan mereproduksi kovensi, norma, dan nilai-nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinasi kreatifnya (Greenblatt dalam Budianta 2006:4). Pada perkembangan sastra Greenblatt memberikan pandangan keterkaitan antara teks sastra dengan teks non sastra mempunyai lintasan hubungan yang pararel dengan cara membaca berbagai kekuatan sosial, ekonomi dan politik yang terinternalisasi dalam teks, untuk memunculkan pemahaman ‘baru’ dalam melihat sejarah atau new historicism. New Historicism adalah salah satu dari sekian banyak pendekatan dalam ilmu sastra yang berkembang dan muncul dalam  dua dekade terakhir abad ke-20, seperti yang diungkapkan Budianta sebagai berikut:
Kata New historicism pertama kali digunakan oleh Stephen Greenblatt dalam sebuah pengantar edisi jurnal Genre di tahun 1982, untuk menawarkan perspektif baru dalam kajian Renaisance, yakni dengan menekankan keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi dan politik yang melingkupinya. (Budianta, 2006:2).
Artinya sejarah ataupun dunia yang diacu oleh karya sastra, bukan hanya menjadi latar belakang yang integral dan menyatu dalam teks tersebut, akan tetapi sejarah itu sendiri merupakan terdiri dari berbagai macam teks yang menyusun suatau kenyataan menurut versi masing-masing dari penulisnya. New Historicism  memandang laporan sejarah sebagai naratif, sebagai cerita, yang biasanya tidak biasa dihindari menurut sudut pandang mereka yang menulisnya. Dalam pemikiran new historicism, fakta sejarah bukanlah sesuatu yang mutlak tak terbantahkan, karena sejarah sendiri terdiri dari berbagai macam versi yang penuh kontradiksi, pluralitas dan sangat bermacam motif yang mendasarinya. Berdasarkan kutipan di atas keterkaitan antara karya sastra dan sejarah merupakan keterkaitan intertekstualitas antara berbagai macam teks baik fiksi maupun faktual yang diproduksi pada waktu yang sama maupun pada kurun waktu yang berbeda.
A.    Problematika New Historicism
Definisi sederhana New Historicism adalah metodenya berdasar pada proses penelaahan secara paralel teks sastra dan non-sastra. Artinya New Historicism membandingkan antara teks sastra dengan teks non-sastra. Dalam konvensi secara tradisional, suatu karya baik prosa maupun puisi dipahami sebagai teks sastra yang dipahami sebagai teks sastra yang memuat peristiwa dan juga kehidupan tomoh sejarah. Sedangkan maksud sejarah dalam pandangan umum tertuju pada masa lampau yang ditulis oleh sejarahwan (Fatoni, 2013).
Menekankan keterkaitan antara teks sastra dengan non-sastra. Sastra, menurut New Historicism tidak terlepas dari praksis-praksis sosial, politik, dan ekonomi karena hal tersebut merupakan bagian yang ada dalam karya sastra. Dari hal tersebut maka pemisahan antara ekstrinsik dan intrinsik, tidak dapat dipertahankan lagi. Karena semua teks sama, baik sastra maupun non sastra, merupakan pertarungan kuasa dari ideologi (Budianta, 2: 2006).
Sejarah sebagai sebuah pengetahuan sangat bergantung pada wacana dan bentuk representasi antar teks baik dengan konteks sosial dan intruksional yang lebih luas didalam atau melalui bahasa. Realitas objektif masa lalu telah berjarak dengan sejarah sebagai ilmu telah berjarak dalam konteks ini. Sejarah tidak dapat disebut sebagai representai langsung dari objektivitas masa lalu dan tidak akan berulang kembali. Sedangkan sejarah sebagai rekontruksi tertulis dan lisan merupakan produk dari bahasa wacana dan pengalaman sesuai dengan konteksnya (Purwanto, 30: 2007).
Ketika kita mengatakan dan melihat bahwa New Historicism meliputi kajian parallel antara teks sastra dan teks non sastra, mengonsepsikan perbedaan hakiki antara New Historicism dengan pendekatan sebelumnya yang menggunakan sejarah sebagai bandingannya. Pendekatan sebelumnya membentuk pemisahan hirarkis antara teks sastra yang merupakan objek nilai utama, dengan “latar belakang” sejarah yang  hanya merupakan latar dan kurang bernilai, berdasarkan definisinya (Barry, 203: 209).
Berarti suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dari aspek sosial didalamnya, baik dari segi ekonomi, sosial, dan politik. Baik teks sastra atau non sastra yakni sejarah, merupakan hasil pertarungan kuasa dari ideologi. New Historisme melihat kontruksi kemudian merekonstruksi apakah keterkaitan antara teks sastra dengan sejarah sebenarnya tersebut sejalan atau saling berkaitan.
Oleh karena hal tersebut, batas antara sastra adiluhung dan picisan tidak diterima begitu saja, bukan dengan tujuan mengevaluasi produk budaya tersebut, melainkan untuk menunjukkan ragam teks saling terkait dengan persoalan pada zamannya dengan memperlibatkan bagaimana teks sastrra maupun non sastra sama-sama memiliki paparan dan membentuk nilai yang ada pada zamannya. Bukti semacam itu membantu mematahkan pernyataan orang yang menganggap sastra hanya memiliki sifat ambigu, lebih merupakan permasalahan keyakinan bukan fakta. Dengan sejarah kita dapat lebih bertanggung jawab pada suatu kebenaran.
Dari hal tersebut akan menggalih suatu karya sastra dengan relevansi sejarah. Menurut Aloysius Indratno (2010: 6) berpendapat bahwa terdapat empat komponen yang saling berhubungan dalam karya sastra. Empat komponen tersebut terdiri dari karya sastra, penulis, pembaca, dan realitas. Dikarenakan argument tentang makna teks sastra seringkali mudah diuraikan dengan melihat sejarah, karena sejarah merupakan rujukan paling kuat. Sejarah diibaratkan sebuah pisau analisa yang kuat, karena seringkali memberikan dasar yang kokoh untuk memancangkan pernyataan berkenaan dengan makna yang terdapat dalam teks sastra.
Berbagai macam pandangan dan argument tentang teks sastra sering kali diuraikan dengan melihat sejarah. Menurut Ryan ( 2011; 217) menuturkan sesungguhnya sejarah merupakan pisau analisa yang kuat untuk menganalisis teks sastra, karen amemiliki dasar yang kokoh untuk memancangkan pernyataan yang berkenaan dengan makna. Menurutnya sebuah karya sastra sejarah bukan sekedar teks dengan nilai-nilai universal melainkan memiliki unsur politik atau beberapa polemik terselubung yang maknanya diberikan oleh dunia kesejarahan pada masa teks karya sastra tersebut ditulis.
Pernyataan diatas menunjukan bahwa dalam diskursus histiografi dan sastra tentang persoalan kebenaran sejarah atau objektivitas perlu dipertanyakan kembali baik posisi, fungsi, maupun legitimasinya. Dengan demikian, dalam analisis interprestasi suatu karya sastra yang memiliki nilai sejarah pada masa lampau yang dipandang sebagai jalinan diskursus yang saling berkaitan satu sama lain. Dalam hal demikian New Historism Grenblatt mendapat relevansinya (Fathoni, 2013: 4).
Sebagai suatu diskursus yang memiliki jalinan dengan kekuasaan, baik sejarah, sastra, politik,  maupun budaya, satu diantaranya tidak dapat dilibatkan. Dari aspek teresebut kemudian muncul anggapan bahwa praktik analisis, pembacaan dan penulisan suatu teks sastra merupakan tindakan politis.demikian pula dengan budaya, sebagai salah suatu diskursus yang pada umumnya dipahami berkenaan engan kepercaayaan, kebiasaan, moral, seni dan hukum yang dianut oleh masyarakat. Budaya tidak mempunyai arti apa-apa, hanya secara samar menunjuk pada ragam dari keampuan dan kebiasaan yang diadopsi oleh manusia. Lebih lanjut Grenblatt meredifinisikonsep budaya dalam suatu kontruksi “fashion”, yang secara ironis dan satire menunjukkan bahwa dalam perilaku dan praktiknya dikondisikan, dibentuk, yakni masyarakat menyesuaikann diri dengan ukuran atau standar nilai yang mengandung ketidak leluasan dan mobilitas (Grenblatt, 1995: 478).
Lebih lanjut menurut Grenblatt mengenai teks dalam suatu teks diskursus merupakan produk dan komponen fungsional dari formasi sosial dan politis. Teks sastra sebagai produk material dari kondisi historis tertentu, baik sastra ataupun sejarah merupakan hasil dari interprestasi pengarang atau penulisnya yang tidak dapat dilepaskan dari kondisi di dalam lingkup kehidupannya. Maka dari itu, suatu kajian baik teks sastra maupun teks sejarah menjadi suatu agen dalam pengkonstruksian suatu pengertian alias realitas budaya, atau dengan kata lain sebagai suatu kendaraan yang memiliki potensi bagi kekuasaan dan perlawanan. Dengan demikian, objek kajian Grenblatt adalah bukan teks atau konteksnya, bukan sastra atau sejarahnya, tetapi lebih pada sastra ‘dalam’ sejarah (Brannigan, 1998: 3-6).
Perlu dicatat, bahwa asumsi pokok tentang sastra sebagian dari kekuatan budaya yang dikemukakan oleh para penggagas New Historicism tidak sepenuhnya baru. Di Inggris pendekatam Cultural Matrealisme yag dipelopori oleh Raymond Williams, telah menekankan pada betapa pentingnya menganalisis berbagai jenis pemandangan dan pemaknaan termasuk sastra, dengan menempatkannya pada masanya (Budianta, 5: 2006).
Latar belakang munculnya New Historisme adalah kekurang bermanfaatan ilmu sastra dalam kehidupan masyarakat. Ilmu sastra hanya mengkaji teks yang terkandung dalam karya sastra, baik puisi, prosa maupun novel. Krisis itu kemudian melahirkan gerakan pengembangan dengan menempatkan karya sastra sebagai hasil budaya masyarakat, sehingga memiliki kaitan historis yang kompleks dengan dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Salah satu tokoh utamanya adalah Foulcaut. Dua karya utamanya yaitu, The Archeology of Knowledge dan History of Madness menjelaskan bahwa kebenaran pengetahuan secara cultural merupakan kebenaran subyektif. Selain itu, eksplorasinya tentang konsep kegilaan sampai pada kesimpulan bahwa kebenaran memiliki kaitan erat dengan kekuasaan (Sastro, 2015).
New Historisme telah memunculkan pola analisis yang khas, yakni memulai telaah dengan anekdot, peristiwa atau teks pada zaman yang dipelajari, yang remeh-temeh atau luput dari perhatian dan mengupasnya secara rinci untuk mengangkat isu penting yang akan ditunjukkan dari zaman tersebut serta keterkaitannya dengan teks sastra yang akan dibahas (Budianta,13: 2006).

B.     Sejarah Munculnya New Historicism
Selama tahun 1940-1960an, new kritisme mendominasi pendekatan analisis sastra. Pada masa itu buku Theory of Literature (1942) Rene Wellek dan Austin Warren seperti menjadi kitab suci yang hanya memfokuskan pada orientasi teks itu sendiri daripada memperhatikan relasi dengan pembaca, pengarang, dan persoalan historisnya. Pada tahun 1970an dan awal 1980an muncul pendekatan alternatif pada interprestasi tekstual yang melawan dominasi pendekatan sebelumnya. Dalam tradisi lama baik new kritisme atau formalisme mengasumsikan bahwa teks bersifat historis dan terisolir dari relasi dengan yang lain termasuk konteks historisnya. Asumsi demikian mengikuti pandangan dari tradisi old historisme (Fathoni, 10: 2013).
Kata New Historisme pertama kali diperkenalkan oleh Stephen Grenblatt dalam sebuah edisi jurnal Genre di tahub 1982, menawarkan perspektif baru dalam kajian budaya, yakni dengan mengenalkan keterkaitan antara teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, politik yang melingkupinya (Budianta, 2: 2006).
Kelahiran New Historisme tidak dapat dilepaskan dari dinamika ilmu pengetahuan, khususnya kajian sastra. Sejak perang dunia II, kajian sastra menjadi disiplin yang eksklusif. Mereka membahas berbagai karya sastra dari aspek keindahan, struktur kebahasaan dan pesan-pesan tekstual yang terkandung didalamnya. Pada tahun 1960an diantara para profesor sastra Eropa daratan muncul keinginan untuk menjadikan disiplin sastra memiliki peran dalam memahami dan memecahkan problem sosial aktual. Untuk itu, karya sastra perlu dilihat tidak lagi hanya secara eksklusif dari aspek estetika, tetapi ditempatkan sebagai representasi atau produk budaya dari zamannya.
Perubahan paradigma dalam memandang karya sastra melahirkan gerakan “kembali ke sejarah” dalam arti mengkaji historitas dari teks karya sejarah (the historicity of the and textuality of history). Kajian historisitas teks karya sastra menjadikan penelitian tentang kondisi masyarakat yang melingkupi (istilah Sartono Kartodjo: konteks) kehidupan sastrawan penulisny, baik melalui sumber primer maupun histiografi, merupakan keharusan untuk dilakukan. Dalam konteks ini, karya sastra secara tidak langsung diuji keasihan interprestasinya (tektualitas sejarah) (Sastro, 3: 2015).
Lebih lanjut menurut Grenblatt, teks dalam suatu diskursus merupakan sebagai produk dan komponen fungsional dari formasi sosial dan politis. Teks sastra sebagai produk material dari kondisi historis tertentu. Sebagai suatu teks yang dituliskan, baik sastra ataupun sejarah merupakan hasil dari interprestasi pengarang atau penulisnya yang tidak dapat dilepaskan dari kondisi yang melingkupinya. Maka, suatu teks baik sastra maupun teks sastra maupun teks sejarah menjadi suatu agen dalam pengkonstruksian suatu pengetian atas realitas budaya, atau dengan kata lain sebagai suatu kendaraan yang membonceng potensi bagi kekuasaan dan sekaligus perlawanan terhadapnya. Dengan demikian, objek kajian Grenblatt adalah bukan teks atau konteksnya, bukan sastra atau sejarahnya, tetapi lebih pada sastra ‘dalam’ sejarah (Brannigan, 1998: 3-6).
Demikian pula pembacaan (baik yang dilakukan oleh pengarang maupun pembaca) mengenai masa lampau diinformasikan oleh keadaan historis yang memuat nilai politik (kekuasaan). Pembacaan yang menekankan kesadaran diri atau 9keberadaan subjek) dalam pencarian makna masa lampau akan menghadapi kesulitan, kecuali dengan melalui kaca mata dan kontruksi kultural masa kini (Blesser, 2002: 88-89). Dengan demikian, budaya memiliki batasan-batasan sekaligus budaya sebagai suatu keseluruhan yang kompleks (Grenblatt, 1995: 480).
Maka tugas penting kritik sastra adalah merekonstrukisi batasan-batasan itu yang didasarkan pada kehidupan, yang dinyatakan melalui suatu teks (Grenblatt, 1995: 478).pembacaan suatu teks merupakan praktik kritis dalam menyjikan adanya relasi-relasi kekuasaan agar tampak (visible), bahkan relasi tersebut sampai pada diri subjek (Brannigan, 1998: 7).
Gerakan “kembali ke sejarah” yang dimunculkan para ahli sastra di daratan Eropa dan berkembang meluas ke Inggris dan Amerika Serikat dan dalam taraf tertentu dapa dikatakan sebagai mencapai kematangan. Istilah New Historisme sendiri diperkenalkan oleh Stephen Jay Grenblatt pada awal tahun 1980-an dalam kajian-kajiannya tentang puisi kultural. Menurutnya, New Historisme bukanlah doktrin, tetapi lebih merupakan model kerja atau best practice. Secara sederhana New Historisme adalah metode penilitian tentang masa lampau berdasar penempatan dokumen historis dan non historis (karya sastra, dll), antara sumber tertulis dengan non tertulis (gambar, anekdot, dll) sebagai sumber yang sama-sama penting. Oleh karena kajian yang dilakukan lintas disiplin, new historisme lebih dikenal sebagai bagian dari Cultural Studies atau kajian budaya (Sastro, 2: 2015).

C.    Konsep dan Penerapan Teori New Historicism
Berbeda dengan New Critisism yang membedakan karya sastra canon dan yang picisan dengan suatu standart estetika yang dianggap universal dan baku. New Historisme melihat perbedaan semacam itu sebagai contoh bagaimana kekuatan sosial berperan dalam ruang estetik. Dalam hal ini merevisi asumsi New Criticisism dengan menunjukkan bahwa yang dianggap universal tak terjamah waktu, dan alami hanya bersifat lokal, terbentuk oleh sejarah dan merupakan sosial. Selain menggugat formalism, Grenbaltt juga menawarkan pembaharuan atas pendekatan sejarah. Pembaharuan terhadap dominannya kritik sastra di Amerika yang cenderung melihat karya sastra hanya sebagai cermin yang transparan dan pasif merefleksikan budaya masyarakatnya. Perspektif baru, karya sastra membangun, mengartikulasikan dan memproduk konvensi, norma dan nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinasi kreatifnya (Grenbaltt dalam Keesey, 1994). Teks merupakan produk historis pada zamannya, pada saat yang sama teks juga menghasilkan dampak sosial (Budianta, 4: 2006).
Dalam konvensi sastra tradisional, novel sejarah dipahami sebagai teks sastra yang di dalamnya memuat peristiwa dan kehidupan tokoh sejarah. Sedangkan sejarah, dalam pandangan ini, dimaksudkan sebagai masa lampau yang ditulis oleh sejarahwan yang memiliki kemampuan tertentu dalam menulis sejarah. Dengan demikian, kebenaran mengenai masa lampau dapat ditemukan dan bersifat objektif dan pasti didalam sejarah. Sementara teks sastra yang ditulis bukan dengan struktur ilmiah hanya menjumput sejarah untuk dijadikan sebagai background dari narasinya.
Namun, pandangan yang terakhir belakangan ini terloihat diragukan dan secara luas kebenaran sejarah tampak dipertanyakan; benarkah kenyataan masa lampau dapat diketahui secara lengkap, dan benarkah masa lampau yang ditulis dalam sejarah yang sampai pada masa kini benar-benar bersih subjektivitas penulisnya dan kepentingan tertentu. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini mengemuka kembali terutamasetelah berakhirnya dominasi otoritas orde baru.lebih-lebih tampak dipersoalkan kebenaran peristiwa sejarah G 30 September. Kaitannya dalam sastra mengenai hak ini, diantaranya tulisan Adi Wicaksono dan Yosep Yapi Taum (UGM, 2012) cukup memberikan gambaran mengenai perbedaan perspektif ideologis karya sastra pada masa tersebut, bahwa sejarah yang ditulis tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kekuasaan. Dengan demikian, objektivitas sejarah diragukan kebenarannya (Fathoni, 10: 2013).
Aspek politis dan ideologis bermain dalam produk budaya, hal tersebut terkait dengan persoalan relasi kuasa dalam tatanan masyarakat. Kajian-kajian New Historisism banyak bertumpu pada konsep kekuasaan Michae Foucoult. Menurut Foucoult, kekuasaan tidak dilihat sebagai suatu hal yang negatif, melainkan suatu keniscahyaan yang adil dalam setiap interaksi sosial, termasuk dalam bahasa. Relasi kuasa dalam hal ini tidak dilihat secara satu arah yang linier atau vertical, sebagai entitas yang diperebutkan atau dipakai untuk menindas atau memberontak, melainkan berpotensi untuk bersirkulasi tanpa henti, mendorong kreativitas dan produktivitas budaya. Relasi kuasa hadir dalam setiap tindak bahasa, maka karya sastra dengan sendirinya menghadiri relasi kuasa tersebut melalui bahasanya sendiri. Sejumlah persoalan tentang prose produksi, reproduksi, apropriasi nilai budaya yang relevan dilontarkan sebagai permasalahan dalam menganalisis teks, menurut Grenbaltt antara lain:
1.      Perilaku atau praktik budaya apa yang didukung atau dikukuhkan oleh teks?
2.      Mengapa pembaca pada zaman tersebut menanggap karya tersebut bermakna?
3.      Adakah perbedaan antara nilai-nilai kritikikus dengan nilai karya yang diamati?
4.      Permasalahan sosial apa yang mendasari karya tersebut?
5.      Kebebasan berfikir atau bergerak siapa yang secara implisit dan eksplisit dibayangkan oleh karya tersebut?
6.      Apakah struktur sosial yang lebih luas terkait dengan apa yang disanjung atau dipermasalahkan oleh teks? (Grenbaltt dalam Kessey, 1994: 446).
Dalam kajiannya, New Historism menyandingkan teks sastra canon dengan karya sastra marjinal, atau dengan berbagai praksis budayayang terkait dengan suatu titik tertentu dalam sejarah secara kebetulan. Berbeda dengan pendekatan sejarah yang memakai teks dan produk budaya, New Historism cenderung memilih, nyaris secara acak, hal-hal yang tampak remeh dan tersiksa dari sejarah kemudian menyandingkannya dengan teks sastra yang telah dimaknai untuk mengetahui bagaimana suatu ideologi beroprasi di dalam suatu karya sastra.   
Dengan demikian sejarah sebanding sebagaimana halnya dengan sosiologi, politik, budaya, seni, sains, dan disiplin lainnya sebagaimana halnya dengan sosiologi, politik, budaya, seni dan sains dan disiplin lainnya sebagai diskursus dalam interprestasi suatu teks. Hal ini oleh New Historisme dipandang seperti halnya dengan praktik analisis teks sastra yang mengangkat inter-relasi antara aktivitas manusia. Sebagai suatu diskursus yang memiliki jalinandengan kekuasaan (power), baik sejarah, politik, maupun budaya, satu diantaranya tidak dapat dilibatkan. Hal inilah yang kemudian muncul anggapan bahwa praktik analisis, pembacaan dan penulisan suatu teks merupakan tindakan politis.
Hubungannya dengan individu dan masyarakatnya sebagai bagian darinya dan budaya yang melingkupinya, bagi Grenbaltt keduanya saling berjalin. Bahkab seluruh aktivitas manusia saling pengaruh-mempengaruhi (interconected) secara kompleks (Bressler, 2002: 2002: 185). Subjektivitas (individual atau self), menurut Grenbaltt (1988: 88) dikontruksi oleh kode kultural, oleh kontruksi sosial dan oleh bahasa sebagaimana yang diciptakan oleh diskursus yang beragam sehingga posisi atau keadaan sunjek tidak otonom dan terisolasi (Fathoni, 10: 2013).
Sastra dalam hal tersebut dilihat sebagai bagian dari sistem yang membentuk sebuah budaya tertentu. Dalam penerapannya New Historism tidak dimualai dari teori atau pendekatan, tetapi dari teks, lalu melihatnya sebagai permasalahan yang ditawarkan oleh teks untuk diangkat sebagai bahan penelitian. Pada saat yang sama, berbagai kosep, teori, model pengkajian yang dibaca dan di telaahmngalami proses internalisasi, sehingga memberikan gambaran yang memungkinkan menangkap permasalahan tertentu dalam teks.
Sejak kemunculanya New Historism telah banyak memberikan sumbangan bagi pengembangan wawasan. New Historism memunculkan pola analisis yang khas, yakni memulai telaah dengan peristiwa atau teks pada zaman yang dipelajari, yang remeh temeh luput dari perhatian, dianalisis dan dikupasnya secara rinci untuk menunjukkan isu penting yang akan ditunjukkan dari zaman tersebut serta keterkaitannya dengan teks sastra yang akan dibahas. Dengan kata lain sumbangan New Historism adalah mempelopori penjelajahan sejarah dibidang sastra dengan memakai wawasan dan konsep-konsep postruktural (Budianta, 13-14: 2006).
Dalam kajiannya baik secara teoritis dan preaktik, Grendbaltt lebih fokus pada persoalan sejarah dan sastra. Perluasan disipliner yang meliputi kajian tekstualitas, bahasa, dan representasi pada dasarnya berbasis pada analisis historis. Hal ini merupakan efek dari krititisme sastra terhadap sejarah, yakni dengan membaca sejarah sebagai sebuah teks (Brannigan, 1998: 9).
Relasi kedua disiplin Grendbaltt ini oleh Montrose disebut dengan “tektualitas sejarah dan historisitas teks” (Brannigan, 1998: 84). Maka tekstualitas sejarah mengasumsikan adanya perbedaan historis, sedangkan historisitas teks mengacu pada pembacaan suatu teks. Kemudian Grendbaltt menyebutnya dengan puitika kultural. Puitika kultural pertama kali dipublikasikan pada tahun 1988 dalam Shakespearean Negosiation dimana dalam bab pertamanya memuat deklarasi “puitika kultural” (Grenbaltt, 1998: 5).
Puitika kultural meyakini bahwa makna berkembang atau disusun dari interaksi diskursus sosial yang berjejalin dan beragam, dan tidak ada hierarki diskursus diperlukan dan mesti diperiksa dalam proses analisis tekstual. Kemudian, dalam proses interpetasi juga memasukkan pertanyaan-pertanyaan mengenai asumsi metodelogis untuk membedakan makna disetiap diskursus dan setiap praktisi, tidak ada satu diskursus atau metode ataupun triktik yang dapat mengungkap suatu kebenaran dengan pengisolasian dari diskursus lainnya (Bressler, 2001: 189).
Tulisan Grendbaltt ini kemudian dipublikasikan kembali dalam practicing New Historism pada bagian pertama, sedangkan ada bagian kedua Gallagher melalui tulisan “Counterhistory and the Anecdote” menambahkan pandangannya mengenai konsep anecdote. Gallagher mencoba menjelaskan komitmen pada particularitas dan anecdot dalam kontek historiografi. Menurut Callagher (2000:49-50), anekdot merupakan efek atau respon dari bentuk totalisasi dan generalisasi sejarah atau nerasi historis. Baik Grendbaltt maupun Gallagher dalam hal ini lebih memperhatikan New Historism pada lima aspek yakni pada:
1.      penggunaan anekdote,
2.      penggunaan representasi,
3.      tertarik dengan sejarah dari rangkaian atau gugusan,
4.      memperhatikan pada hal-hal kecil yang diabaikan,
5.      analisis idiologis secara skematis.



D.    Contoh Kajian New Historism

KEKERASAN NEGARA ORDE BARU TERHADAP RAKYAT DALAM TEKS SASTRA INDONESIA: STUDI NEW HISTORICISM
Oleh: Akhmad Taufiq
(Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember)

Sumber data dalam kajian ini yakni teks sastra Indonesia yang mencakup tiga karya, yaitu Penembahan Reso drama karya W.S. Rendra, Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah drama karya Ratna Sarumpaet dan Novel Laskar Pelangi novel karya Andrea Hirata. Teks sastra tersebut dipandang memiliki relevansi yang kuat dalam merekam dan memotret kekuasaan OrdeBaru.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bagian ini, dijelaskan beberapa hal penting yang berkenaan langsung dengan kekerasan negara Orde Baru terhadap rakyat yang terdapat dalam teks sastra Indonesia. Berikut Struktur Represif Kekuasaan oleh Orde Baru;
Struktur Represif Kekuasaan Orde Baru
Struktur represif dalam konteks ini, yakni seluruh bentuk suprastruktur Negara yang memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan paksa atas warga negara. Oleh karenanya, negara dalam konteks demikian kerap terjerumus untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama negara terhadap warga negaranya sendiri. Kekuatan suprastruktur negara itu tidak digunakan untuk memberikan kemanfaatan secara menyeluruh terhadap warga negaranya; sebaliknya, kekuatan suprastruktur ini digunakan untuk memberikan tindakan represif terhadap warga negara.
Foucault (1997:162) mengemukakan bahwa dalam rangka untuk melakukan tindakan represif itu, negara membangun teknologi kuasa dalam rengka melakukan pendisiplinan tubuh warga negaranya. Penghukuman dalam konteks itu dipandang sebagai strategi yang efektif untuk melakukan penaklukan atas tubuh-tubuh warga negara itu. Bahkan, dalam konteks represivitas negara terhadap warga negara, negara tidak jarang berada dalam bangunan panoptikon, yakni melakukan seluruh daya untuk melakukan kontrol terhadap warga negaranya.
Dibawah ini teks sastra yang dapat menggambarkan terjadinya tindakan represif atas kekuasaan Orde Baru.
Lelaki II                      : Hari ini kita menikmati buah dari kesabaran kita selama ini. Kita rasakan pahit getirnya tertindas oleh ketabahan dan keikhlasan yang kita berikan sendiri. Mereka todongkan senapan kehidung kita, kita surut. Mereka gilas rumah-rumah kita dengan traktor, kita bungkam. Mereka menyutut api memusnahkan kampung-kampung, kita terdiam. Hari ini kita akan membacakan dosa-dosa kita, lalu merayakannya dengan air mata kita sebagai saksinya. Kita dosa membiarkan orang-orang mengira mereka bisa berbuat sesukanya. Kita dosa tidak mempertahankan hak kita atas tanah yang diberikan leluhur kita kepada kita. Kita dosa membiarkan tanah ini, yang diperolehdari tanah penjajah dengan keringat dan darah, dikangkangi penjajah-penjajah baru…
Ibu                               : dia telah pergi, tergusur ke tempat dimana suaranya akan teredam… (Sarumpaet, 1997: 50-51).
            Dalam teks Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah  karya Ratna Sarumpaet digambarkan betapa represifnya kekuasaan Orde Baru. Penggusuran yang terjadi dalam teks merupakan represifnya dari fenomena penggusuran dalam realitas yang sebenarnya. Represivitas seperti itu jelas menyisakan kepedihan yang teramat dalam bagi rakyat. Terdapat dua kemanusiaan yang dirasakan oleh rakyat sebagai tindakan dari kekerasan represif seperti itu. Negara Orde Baru dalam konteks demikian menjadi kekuatan yang sangat menakutkan bagi rakyatnya melalui instrukmen suprastruktur yang dimilikinya. Pelaksana penggusuran yang terjadi itu jelas merupakan tindakan kekerasan negara yang dilakukan melalui instrumen suprastrukturnya. Instrumen negara itulah bertindak atas nama negara; yang seolah-olah rakyat dalam posisinya tidak dikategorikan sebagai bagian negara. Rakyat merupakan bagian lain atau bahkan di luar negara. Karena rakyat menjadi bagian lain dan di luar negara, maka kekuasaan negara–dalam hal ini negara Orde Baru–merasasah untuk memperlakukannya secara semena-mena. Kesemena-menaan itulah merupakan manifestasi dari kekuasaan negara yang sewenang-wenang. Kedaulatan rakyat dibangun bukan atas nama kedaulatan rakyat; melainkan dibangun atas dasar pendekatan kekuasaan semata-mata. Dalam kondisi seperti itu, maka fenomena seperti yang terjadi dalam kutipa data di atas menjadi tidak terhindarkan. Artinya, dapat dipastikan negara akan terjebak atau tergelincir menggunakan kekuasaan secara sewenang-wenang. Tindakan represif merupakan wujud daru kesewenang-wenangan negara Orde Baru.
            Lebih lugas dinyatakan dalam novel Laskar Pelangi, yang mendeskripsikan tentang bentuk kesewenang-wenangan aparatur negara yang merepresi rakyatnya. Dibawah ini kutipan data yang menunjukkan hal demikian itu. Gedong lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh aparat polsus (Polisi Khusus) Timah. Jika ada yang lancang masuk maka koboi-koboi tengik itu akan menyergap., mengintrogasi, lalu introgasi akan ditutup dengan mengingatkan sang tangkapan pada tulisan;
            “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” yang bertaburan secara mencolok pada berbagai akses dan fasilitas di sana, sebuah  power statement tipikal kompeni (Hirata, 2008: 43).
Hal yang serupa digambarkan pula dalam teks novel Laskar Pelangi. Dalan teks Laskar Pelangi wujud kesewenang-wenangan itu lebih tampak sebagai diskriminasi. Terdapat diskriminasi yang tajam yang dilakukan oleh kekuasaan Orde Baru, yang membelah masyarakan menjadi dua kelompok ekstrim secara ekonomi. Satu sisi, kelompok yang mewakili orang kaya, yang digambarkan dengan membangun kota satelit dan gedongan. Disis lain, kelompok masyarakat yang miskin dan serba kekurangan.
Kekuasaan orde baru melihat seperti ini tidak berusaha membangun kebijakan ekonomi untuk mendorong terjadinya pemerataan. Sebaliknya, terhadap Orde Baru membuat garis dekramasi yang sangat tegas dan disertai ancaman. Teks yang menyebutkan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” merupakan bentuk penegasan dari kekuasaan dan sekaligus ancaman. Disebut demikian, karena terdapat konsekuensi hukum yang akan diterima oleh rakyat kecil (miskin) yang hidup diperkampungan bila berani melewati batas teritorial. Instrumen represif negaralah yang akan bertindak; yakni, polisi khusus perusahaan timah di Belitong yang sekaligus menggambarkan betapa efektifnya kekuatan didalam membangun jejaring kuasanya. Kekuasaan tidak jarang menjadi kekuatan panoktik yang senantiasa mengawasi gerak-gerik rakyat. Rakyat tidak lepas dari pengawasan negara. Negara dalam konteks itu dikategorikan sebagai kekuasaan negara panoktik, yakni negara yang selalu berupaya untukk mengawasi dan mengontrol rakyat melalui instrumen yang dimilikinya. Oleh karena itu, negara Orde Baru dalam konteks tersebut disebut negana panoktik atau negara panoktikon. Negara dalam konteks demikian menjadi kekuatan dan pihak yang menjadi serba tahu terhadap yang dilakukan oleh warga negaranya (Foucault, 1997: 162-165).
            Oleh sebab itu, negara kerap menjadi kekuatan yang senantiasa melakukan tindakan kekerasan; pengawasan dan kontrol negara terhadap rakyat yang dilakukan dengan cara menerapkan pembatasan-pembatasan itu juga merupakan manifestasi kekerasan.    
E.     Simpulan 
Latar belakang munculnya New Historisme adalah kekurang bermanfaatan ilmu sastra dalam kehidupan masyarakat. Ilmu sastra hanya mengkaji teks yang terkandung dalam karya sastra, baik puisi, prosa maupun novel. Krisis itu kemudian melahirkan gerakan pengembangan dengan menempatkan karya sastra sebagai hasil budaya masyarakat, sehingga memiliki kaitan historis yang kompleks dengan dinamika yang terjadi dalam masyarakat.
Sastra dalam hal ini dilihat sebagai bagian dari sistem yang membentuk sebuah budaya tertentu. Dalam penerapannya New Historism tidak dimualai dari teori atau pendekatan, tetapi dari teks, lalu melihatnya sebagai permasalahan yang ditawarkan oleh teks untuk diangkat sebagai bahan penelitian. Pada saat yang sama, berbagai kosep, teori, model pengkajian yang dibaca dan di telaahmngalami proses internalisasi, sehingga memberikan gambaran yang memungkinkan menangkap permasalahan tertentu dalam teks.





Daftar Pustaka
Budianta, Melani. 2006. SUSASTRA 3: Jurnal ilmu Sastra dan Buday. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Budianta, Melani. 2002. In the Margin of the capital: From Tjerita Boedjang Bingung to Si Doel Anak Sekolahan” dalam Keith Foulcher dan Tony Day (ed), Clearing a space: postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature. Leiden: KITLV
Fathoni. 2013. New Historisme Grenblatt: Identifikasi dan Relevansi dalam Kritik Sastra dalam blog Fathoni
Grenblatt. 1994. “Culture” dalam Context for Criticsm. Mountain View. California: Mayfield Publishing Company.
Kessey, Donald. 1994. Historical Critism II: Culture as Context” dalam Context for Critiscm. California: Mayfield Publishing Company.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NEW HISTORICISM

NEW HISTORICISM OLEH Jose Da Conceicao Verdial        Pengantar Teks yang bermunculan di sekitar kita memang tidak terlahi...