NEW HISTORICISM
OLEH
Jose Da Conceicao Verdial
Pengantar
Teks yang bermunculan
di sekitar kita memang tidak terlahir dari suatu budaya yang kosong, karena
selalu ada yang melatar belakangi teciptanya teks, baik itu teks sastra ataupun
teks non sastra dan tidak bisa dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi,
politik karena itu merupakan bagian yang terinternalisasi. Dengan asumsi
tersebut pemisahan antara luar dan dalam, intrinsik dan ekstrinsik tidak dapat
diberlakukan lagi, dan menembus dari dikotomi yang melingkupinya. Semua teks,
baik sastra maupun non sastra yang terlahir merupakan produk dari zaman yang
sama dengan berbagai pergulatan dialektika manusia. Di dalam teks sastra juga
merefleksikan tentang apa yang menjadi persoalan didalamnya pada masa teks itu
tercipta, tentunya ada persoalan baik ekonomi, politik maupun sosial yang ikut mendasarinya.
Teks memang merupakan
produk dari kekuatan sosial historis
pada zamannya, tetapi pada saat yang sama teks juga menghasilkan dampak sosial,
Greenblatt menyatakan sebagai berikut: Dalam perspektif yang ‘baru’ karya
sastra ikut membangun, mengartikulasikan dan mereproduksi kovensi, norma, dan
nilai-nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinasi kreatifnya (Greenblatt
dalam Budianta 2006:4). Pada perkembangan sastra Greenblatt memberikan
pandangan keterkaitan antara teks sastra dengan teks non sastra mempunyai
lintasan hubungan yang pararel dengan cara membaca berbagai kekuatan sosial,
ekonomi dan politik yang terinternalisasi dalam teks, untuk memunculkan
pemahaman ‘baru’ dalam melihat sejarah atau new
historicism. New Historicism adalah salah satu dari sekian banyak
pendekatan dalam ilmu sastra yang berkembang dan muncul dalam dua dekade terakhir abad ke-20, seperti yang
diungkapkan Budianta sebagai berikut:
Kata
New historicism pertama kali digunakan oleh Stephen Greenblatt dalam sebuah
pengantar edisi jurnal Genre di tahun
1982, untuk menawarkan perspektif baru dalam kajian Renaisance, yakni dengan menekankan keterkaitan teks sastra dengan
berbagai kekuatan sosial, ekonomi dan politik yang melingkupinya. (Budianta,
2006:2).
Artinya sejarah ataupun dunia yang diacu oleh karya
sastra, bukan hanya menjadi latar belakang yang integral dan menyatu dalam teks
tersebut, akan tetapi sejarah itu sendiri merupakan terdiri dari berbagai macam
teks yang menyusun suatau kenyataan menurut versi masing-masing dari
penulisnya. New Historicism memandang
laporan sejarah sebagai naratif, sebagai cerita, yang biasanya tidak biasa
dihindari menurut sudut pandang mereka yang menulisnya. Dalam pemikiran new historicism, fakta sejarah bukanlah
sesuatu yang mutlak tak terbantahkan, karena sejarah sendiri terdiri dari
berbagai macam versi yang penuh kontradiksi, pluralitas dan sangat bermacam
motif yang mendasarinya. Berdasarkan kutipan di atas keterkaitan antara karya
sastra dan sejarah merupakan keterkaitan intertekstualitas antara berbagai
macam teks baik fiksi maupun faktual yang diproduksi pada waktu yang sama
maupun pada kurun waktu yang berbeda.
A. Problematika New Historicism
Definisi sederhana New Historicism
adalah metodenya berdasar pada proses penelaahan secara paralel teks sastra dan
non-sastra. Artinya New Historicism membandingkan antara teks sastra dengan
teks non-sastra. Dalam konvensi secara tradisional, suatu karya baik prosa
maupun puisi dipahami sebagai teks sastra yang dipahami sebagai teks sastra
yang memuat peristiwa dan juga kehidupan tomoh sejarah. Sedangkan maksud
sejarah dalam pandangan umum tertuju pada masa lampau yang ditulis oleh
sejarahwan (Fatoni, 2013).
Menekankan keterkaitan antara teks
sastra dengan non-sastra. Sastra, menurut New Historicism tidak terlepas dari
praksis-praksis sosial, politik, dan ekonomi karena hal tersebut merupakan
bagian yang ada dalam karya sastra. Dari hal tersebut maka pemisahan antara
ekstrinsik dan intrinsik, tidak dapat dipertahankan lagi. Karena semua teks
sama, baik sastra maupun non sastra, merupakan pertarungan kuasa dari ideologi
(Budianta, 2: 2006).
Sejarah sebagai sebuah pengetahuan
sangat bergantung pada wacana dan bentuk representasi antar teks baik dengan
konteks sosial dan intruksional yang lebih luas didalam atau melalui bahasa.
Realitas objektif masa lalu telah berjarak dengan sejarah sebagai ilmu telah
berjarak dalam konteks ini. Sejarah tidak dapat disebut sebagai representai
langsung dari objektivitas masa lalu dan tidak akan berulang kembali. Sedangkan
sejarah sebagai rekontruksi tertulis dan lisan merupakan produk dari bahasa
wacana dan pengalaman sesuai dengan konteksnya (Purwanto, 30: 2007).
Ketika kita mengatakan dan melihat bahwa
New Historicism meliputi kajian parallel antara teks sastra dan teks non
sastra, mengonsepsikan perbedaan hakiki antara New Historicism dengan
pendekatan sebelumnya yang menggunakan sejarah sebagai bandingannya. Pendekatan
sebelumnya membentuk pemisahan hirarkis antara teks sastra yang merupakan objek
nilai utama, dengan “latar belakang” sejarah yang hanya merupakan latar dan kurang bernilai,
berdasarkan definisinya (Barry, 203: 209).
Berarti suatu karya sastra tidak dapat
dipisahkan dari aspek sosial didalamnya, baik dari segi ekonomi, sosial, dan
politik. Baik teks sastra atau non sastra yakni sejarah, merupakan hasil
pertarungan kuasa dari ideologi. New Historisme melihat kontruksi kemudian
merekonstruksi apakah keterkaitan antara teks sastra dengan sejarah sebenarnya
tersebut sejalan atau saling berkaitan.
Oleh karena hal tersebut, batas antara
sastra adiluhung dan picisan tidak diterima begitu saja, bukan dengan tujuan
mengevaluasi produk budaya tersebut, melainkan untuk menunjukkan ragam teks
saling terkait dengan persoalan pada zamannya dengan memperlibatkan bagaimana
teks sastrra maupun non sastra sama-sama memiliki paparan dan membentuk nilai
yang ada pada zamannya. Bukti semacam itu membantu mematahkan pernyataan orang
yang menganggap sastra hanya memiliki sifat ambigu, lebih merupakan permasalahan
keyakinan bukan fakta. Dengan sejarah kita dapat lebih bertanggung jawab pada
suatu kebenaran.
Dari hal tersebut akan menggalih suatu
karya sastra dengan relevansi sejarah. Menurut Aloysius Indratno (2010: 6)
berpendapat bahwa terdapat empat komponen yang saling berhubungan dalam karya
sastra. Empat komponen tersebut terdiri dari karya sastra, penulis, pembaca,
dan realitas. Dikarenakan argument tentang makna teks sastra seringkali mudah
diuraikan dengan melihat sejarah, karena sejarah merupakan rujukan paling kuat.
Sejarah diibaratkan sebuah pisau analisa yang kuat, karena seringkali
memberikan dasar yang kokoh untuk memancangkan pernyataan berkenaan dengan
makna yang terdapat dalam teks sastra.
Berbagai macam pandangan dan argument
tentang teks sastra sering kali diuraikan dengan melihat sejarah. Menurut Ryan
( 2011; 217) menuturkan sesungguhnya sejarah merupakan pisau analisa yang kuat
untuk menganalisis teks sastra, karen amemiliki dasar yang kokoh untuk
memancangkan pernyataan yang berkenaan dengan makna. Menurutnya sebuah karya
sastra sejarah bukan sekedar teks dengan nilai-nilai universal melainkan
memiliki unsur politik atau beberapa polemik terselubung yang maknanya
diberikan oleh dunia kesejarahan pada masa teks karya sastra tersebut ditulis.
Pernyataan diatas menunjukan bahwa dalam
diskursus histiografi dan sastra tentang persoalan kebenaran sejarah atau
objektivitas perlu dipertanyakan kembali baik posisi, fungsi, maupun
legitimasinya. Dengan demikian, dalam analisis interprestasi suatu karya sastra
yang memiliki nilai sejarah pada masa lampau yang dipandang sebagai jalinan
diskursus yang saling berkaitan satu sama lain. Dalam hal demikian New
Historism Grenblatt mendapat relevansinya (Fathoni, 2013: 4).
Sebagai suatu diskursus yang memiliki
jalinan dengan kekuasaan, baik sejarah, sastra, politik, maupun budaya, satu diantaranya tidak dapat
dilibatkan. Dari aspek teresebut kemudian muncul anggapan bahwa praktik
analisis, pembacaan dan penulisan suatu teks sastra merupakan tindakan
politis.demikian pula dengan budaya, sebagai salah suatu diskursus yang pada
umumnya dipahami berkenaan engan kepercaayaan, kebiasaan, moral, seni dan hukum
yang dianut oleh masyarakat. Budaya tidak mempunyai arti apa-apa, hanya secara
samar menunjuk pada ragam dari keampuan dan kebiasaan yang diadopsi oleh
manusia. Lebih lanjut Grenblatt meredifinisikonsep budaya dalam suatu kontruksi
“fashion”, yang secara ironis dan satire menunjukkan bahwa dalam perilaku dan
praktiknya dikondisikan, dibentuk, yakni masyarakat menyesuaikann diri dengan
ukuran atau standar nilai yang mengandung ketidak leluasan dan mobilitas
(Grenblatt, 1995: 478).
Lebih lanjut menurut Grenblatt mengenai
teks dalam suatu teks diskursus merupakan produk dan komponen fungsional dari
formasi sosial dan politis. Teks sastra sebagai produk material dari kondisi
historis tertentu, baik sastra ataupun sejarah merupakan hasil dari
interprestasi pengarang atau penulisnya yang tidak dapat dilepaskan dari
kondisi di dalam lingkup kehidupannya. Maka dari itu, suatu kajian baik teks
sastra maupun teks sejarah menjadi suatu agen dalam pengkonstruksian suatu
pengertian alias realitas budaya, atau dengan kata lain sebagai suatu kendaraan
yang memiliki potensi bagi kekuasaan dan perlawanan. Dengan demikian, objek kajian
Grenblatt adalah bukan teks atau konteksnya, bukan sastra atau sejarahnya,
tetapi lebih pada sastra ‘dalam’ sejarah (Brannigan, 1998: 3-6).
Perlu dicatat, bahwa asumsi pokok
tentang sastra sebagian dari kekuatan budaya yang dikemukakan oleh para penggagas
New Historicism tidak sepenuhnya baru. Di Inggris pendekatam Cultural Matrealisme yag dipelopori oleh
Raymond Williams, telah menekankan pada betapa pentingnya menganalisis berbagai
jenis pemandangan dan pemaknaan termasuk sastra, dengan menempatkannya pada
masanya (Budianta, 5: 2006).
Latar belakang munculnya New Historisme
adalah kekurang bermanfaatan ilmu sastra dalam kehidupan masyarakat. Ilmu
sastra hanya mengkaji teks yang terkandung dalam karya sastra, baik puisi,
prosa maupun novel. Krisis itu kemudian melahirkan gerakan pengembangan dengan
menempatkan karya sastra sebagai hasil budaya masyarakat, sehingga memiliki
kaitan historis yang kompleks dengan dinamika yang terjadi dalam masyarakat.
Salah satu tokoh utamanya adalah Foulcaut. Dua karya utamanya yaitu, The Archeology of Knowledge dan History of Madness menjelaskan bahwa
kebenaran pengetahuan secara cultural merupakan kebenaran subyektif. Selain
itu, eksplorasinya tentang konsep kegilaan sampai pada kesimpulan bahwa
kebenaran memiliki kaitan erat dengan kekuasaan (Sastro, 2015).
New Historisme telah memunculkan pola
analisis yang khas, yakni memulai telaah dengan anekdot, peristiwa atau teks
pada zaman yang dipelajari, yang remeh-temeh atau luput dari perhatian dan
mengupasnya secara rinci untuk mengangkat isu penting yang akan ditunjukkan
dari zaman tersebut serta keterkaitannya dengan teks sastra yang akan dibahas
(Budianta,13: 2006).
B. Sejarah Munculnya New Historicism
Selama tahun 1940-1960an, new kritisme
mendominasi pendekatan analisis sastra. Pada masa itu buku Theory of Literature
(1942) Rene Wellek dan Austin Warren seperti menjadi kitab suci yang hanya
memfokuskan pada orientasi teks itu sendiri daripada memperhatikan relasi
dengan pembaca, pengarang, dan persoalan historisnya. Pada tahun 1970an dan
awal 1980an muncul pendekatan alternatif pada interprestasi tekstual yang
melawan dominasi pendekatan sebelumnya. Dalam tradisi lama baik new kritisme
atau formalisme mengasumsikan bahwa teks bersifat historis dan terisolir dari
relasi dengan yang lain termasuk konteks historisnya. Asumsi demikian mengikuti
pandangan dari tradisi old historisme (Fathoni, 10: 2013).
Kata New Historisme pertama kali
diperkenalkan oleh Stephen Grenblatt dalam sebuah edisi jurnal Genre di tahub 1982, menawarkan
perspektif baru dalam kajian budaya, yakni dengan mengenalkan keterkaitan
antara teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, politik yang
melingkupinya (Budianta, 2: 2006).
Kelahiran New Historisme tidak dapat
dilepaskan dari dinamika ilmu pengetahuan, khususnya kajian sastra. Sejak
perang dunia II, kajian sastra menjadi disiplin yang eksklusif. Mereka membahas
berbagai karya sastra dari aspek keindahan, struktur kebahasaan dan pesan-pesan
tekstual yang terkandung didalamnya. Pada tahun 1960an diantara para profesor
sastra Eropa daratan muncul keinginan untuk menjadikan disiplin sastra memiliki
peran dalam memahami dan memecahkan problem sosial aktual. Untuk itu, karya
sastra perlu dilihat tidak lagi hanya secara eksklusif dari aspek estetika,
tetapi ditempatkan sebagai representasi atau produk budaya dari zamannya.
Perubahan paradigma dalam memandang
karya sastra melahirkan gerakan “kembali ke sejarah” dalam arti mengkaji
historitas dari teks karya sejarah (the historicity of the and textuality of
history). Kajian historisitas teks karya sastra menjadikan penelitian tentang
kondisi masyarakat yang melingkupi (istilah Sartono Kartodjo: konteks)
kehidupan sastrawan penulisny, baik melalui sumber primer maupun histiografi,
merupakan keharusan untuk dilakukan. Dalam konteks ini, karya sastra secara
tidak langsung diuji keasihan interprestasinya (tektualitas sejarah) (Sastro,
3: 2015).
Lebih lanjut menurut Grenblatt, teks
dalam suatu diskursus merupakan sebagai produk dan komponen fungsional dari
formasi sosial dan politis. Teks sastra sebagai produk material dari kondisi
historis tertentu. Sebagai suatu teks yang dituliskan, baik sastra ataupun
sejarah merupakan hasil dari interprestasi pengarang atau penulisnya yang tidak
dapat dilepaskan dari kondisi yang melingkupinya. Maka, suatu teks baik sastra
maupun teks sastra maupun teks sejarah menjadi suatu agen dalam
pengkonstruksian suatu pengetian atas realitas budaya, atau dengan kata lain
sebagai suatu kendaraan yang membonceng potensi bagi kekuasaan dan sekaligus
perlawanan terhadapnya. Dengan demikian, objek kajian Grenblatt adalah bukan
teks atau konteksnya, bukan sastra atau sejarahnya, tetapi lebih pada sastra
‘dalam’ sejarah (Brannigan, 1998: 3-6).
Demikian pula pembacaan (baik yang
dilakukan oleh pengarang maupun pembaca) mengenai masa lampau diinformasikan
oleh keadaan historis yang memuat nilai politik (kekuasaan). Pembacaan yang
menekankan kesadaran diri atau 9keberadaan subjek) dalam pencarian makna masa
lampau akan menghadapi kesulitan, kecuali dengan melalui kaca mata dan
kontruksi kultural masa kini (Blesser, 2002: 88-89). Dengan demikian, budaya
memiliki batasan-batasan sekaligus budaya sebagai suatu keseluruhan yang
kompleks (Grenblatt, 1995: 480).
Maka tugas penting kritik sastra adalah
merekonstrukisi batasan-batasan itu yang didasarkan pada kehidupan, yang
dinyatakan melalui suatu teks (Grenblatt, 1995: 478).pembacaan suatu teks
merupakan praktik kritis dalam menyjikan adanya relasi-relasi kekuasaan agar
tampak (visible), bahkan relasi tersebut sampai pada diri subjek (Brannigan,
1998: 7).
Gerakan “kembali ke sejarah” yang
dimunculkan para ahli sastra di daratan Eropa dan berkembang meluas ke Inggris
dan Amerika Serikat dan dalam taraf tertentu dapa dikatakan sebagai mencapai
kematangan. Istilah New Historisme sendiri diperkenalkan oleh Stephen Jay
Grenblatt pada awal tahun 1980-an dalam kajian-kajiannya tentang puisi
kultural. Menurutnya, New Historisme bukanlah doktrin, tetapi lebih merupakan
model kerja atau best practice. Secara sederhana New Historisme adalah metode
penilitian tentang masa lampau berdasar penempatan dokumen historis dan non
historis (karya sastra, dll), antara sumber tertulis dengan non tertulis
(gambar, anekdot, dll) sebagai sumber yang sama-sama penting. Oleh karena
kajian yang dilakukan lintas disiplin, new historisme lebih dikenal sebagai
bagian dari Cultural Studies atau kajian budaya (Sastro, 2: 2015).
C. Konsep dan Penerapan Teori New
Historicism
Berbeda dengan New Critisism yang membedakan karya sastra canon dan yang picisan
dengan suatu standart estetika yang dianggap universal dan baku. New Historisme
melihat perbedaan semacam itu sebagai contoh bagaimana kekuatan sosial berperan
dalam ruang estetik. Dalam hal ini merevisi asumsi New Criticisism dengan menunjukkan bahwa yang dianggap universal
tak terjamah waktu, dan alami hanya bersifat lokal, terbentuk oleh sejarah dan
merupakan sosial. Selain menggugat formalism, Grenbaltt juga menawarkan
pembaharuan atas pendekatan sejarah. Pembaharuan terhadap dominannya kritik
sastra di Amerika yang cenderung melihat karya sastra hanya sebagai cermin yang
transparan dan pasif merefleksikan budaya masyarakatnya. Perspektif baru, karya
sastra membangun, mengartikulasikan dan memproduk konvensi, norma dan nilai
budaya melalui tindak verbal dan imajinasi kreatifnya (Grenbaltt dalam Keesey,
1994). Teks merupakan produk historis pada zamannya, pada saat yang sama teks
juga menghasilkan dampak sosial (Budianta, 4: 2006).
Dalam konvensi sastra tradisional, novel
sejarah dipahami sebagai teks sastra yang di dalamnya memuat peristiwa dan
kehidupan tokoh sejarah. Sedangkan sejarah, dalam pandangan ini, dimaksudkan
sebagai masa lampau yang ditulis oleh sejarahwan yang memiliki kemampuan
tertentu dalam menulis sejarah. Dengan demikian, kebenaran mengenai masa lampau
dapat ditemukan dan bersifat objektif dan pasti didalam sejarah. Sementara teks
sastra yang ditulis bukan dengan struktur ilmiah hanya menjumput sejarah untuk
dijadikan sebagai background dari narasinya.
Namun, pandangan yang terakhir
belakangan ini terloihat diragukan dan secara luas kebenaran sejarah tampak
dipertanyakan; benarkah kenyataan masa lampau dapat diketahui secara lengkap,
dan benarkah masa lampau yang ditulis dalam sejarah yang sampai pada masa kini
benar-benar bersih subjektivitas penulisnya dan kepentingan tertentu.
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini mengemuka kembali terutamasetelah berakhirnya
dominasi otoritas orde baru.lebih-lebih tampak dipersoalkan kebenaran peristiwa
sejarah G 30 September. Kaitannya dalam sastra mengenai hak ini, diantaranya
tulisan Adi Wicaksono dan Yosep Yapi Taum (UGM, 2012) cukup memberikan gambaran
mengenai perbedaan perspektif ideologis karya sastra pada masa tersebut, bahwa
sejarah yang ditulis tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kekuasaan. Dengan
demikian, objektivitas sejarah diragukan kebenarannya (Fathoni, 10: 2013).
Aspek politis dan ideologis bermain
dalam produk budaya, hal tersebut terkait dengan persoalan relasi kuasa dalam
tatanan masyarakat. Kajian-kajian New Historisism banyak bertumpu pada konsep
kekuasaan Michae Foucoult. Menurut Foucoult, kekuasaan tidak dilihat sebagai
suatu hal yang negatif, melainkan suatu keniscahyaan yang adil dalam setiap
interaksi sosial, termasuk dalam bahasa. Relasi kuasa dalam hal ini tidak
dilihat secara satu arah yang linier atau vertical, sebagai entitas yang
diperebutkan atau dipakai untuk menindas atau memberontak, melainkan berpotensi
untuk bersirkulasi tanpa henti, mendorong kreativitas dan produktivitas budaya.
Relasi kuasa hadir dalam setiap tindak bahasa, maka karya sastra dengan
sendirinya menghadiri relasi kuasa tersebut melalui bahasanya sendiri. Sejumlah
persoalan tentang prose produksi, reproduksi, apropriasi nilai budaya yang
relevan dilontarkan sebagai permasalahan dalam menganalisis teks, menurut
Grenbaltt antara lain:
1.
Perilaku atau praktik budaya apa yang
didukung atau dikukuhkan oleh teks?
2.
Mengapa pembaca pada zaman tersebut
menanggap karya tersebut bermakna?
3.
Adakah perbedaan antara nilai-nilai
kritikikus dengan nilai karya yang diamati?
4.
Permasalahan sosial apa yang mendasari
karya tersebut?
5.
Kebebasan berfikir atau bergerak siapa
yang secara implisit dan eksplisit dibayangkan oleh karya tersebut?
6.
Apakah struktur sosial yang lebih luas
terkait dengan apa yang disanjung atau dipermasalahkan oleh teks? (Grenbaltt
dalam Kessey, 1994: 446).
Dalam kajiannya, New Historism
menyandingkan teks sastra canon dengan karya sastra marjinal, atau dengan
berbagai praksis budayayang terkait dengan suatu titik tertentu dalam sejarah
secara kebetulan. Berbeda dengan pendekatan sejarah yang memakai teks dan
produk budaya, New Historism cenderung memilih, nyaris secara acak, hal-hal
yang tampak remeh dan tersiksa dari sejarah kemudian menyandingkannya dengan
teks sastra yang telah dimaknai untuk mengetahui bagaimana suatu ideologi
beroprasi di dalam suatu karya sastra.
Dengan demikian sejarah sebanding
sebagaimana halnya dengan sosiologi, politik, budaya, seni, sains, dan disiplin
lainnya sebagaimana halnya dengan sosiologi, politik, budaya, seni dan sains
dan disiplin lainnya sebagai diskursus dalam interprestasi suatu teks. Hal ini
oleh New Historisme dipandang seperti halnya dengan praktik analisis teks
sastra yang mengangkat inter-relasi antara aktivitas manusia. Sebagai suatu
diskursus yang memiliki jalinandengan kekuasaan (power), baik sejarah, politik,
maupun budaya, satu diantaranya tidak dapat dilibatkan. Hal inilah yang
kemudian muncul anggapan bahwa praktik analisis, pembacaan dan penulisan suatu
teks merupakan tindakan politis.
Hubungannya dengan individu dan
masyarakatnya sebagai bagian darinya dan budaya yang melingkupinya, bagi
Grenbaltt keduanya saling berjalin. Bahkab seluruh aktivitas manusia saling
pengaruh-mempengaruhi (interconected) secara kompleks (Bressler, 2002: 2002:
185). Subjektivitas (individual atau self), menurut Grenbaltt (1988: 88)
dikontruksi oleh kode kultural, oleh kontruksi sosial dan oleh bahasa
sebagaimana yang diciptakan oleh diskursus yang beragam sehingga posisi atau
keadaan sunjek tidak otonom dan terisolasi (Fathoni, 10: 2013).
Sastra dalam hal tersebut dilihat
sebagai bagian dari sistem yang membentuk sebuah budaya tertentu. Dalam
penerapannya New Historism tidak dimualai dari teori atau pendekatan, tetapi
dari teks, lalu melihatnya sebagai permasalahan yang ditawarkan oleh teks untuk
diangkat sebagai bahan penelitian. Pada saat yang sama, berbagai kosep, teori,
model pengkajian yang dibaca dan di telaahmngalami proses internalisasi,
sehingga memberikan gambaran yang memungkinkan menangkap permasalahan tertentu
dalam teks.
Sejak kemunculanya New Historism telah
banyak memberikan sumbangan bagi pengembangan wawasan. New Historism
memunculkan pola analisis yang khas, yakni memulai telaah dengan peristiwa atau
teks pada zaman yang dipelajari, yang remeh temeh luput dari perhatian,
dianalisis dan dikupasnya secara rinci untuk menunjukkan isu penting yang akan
ditunjukkan dari zaman tersebut serta keterkaitannya dengan teks sastra yang
akan dibahas. Dengan kata lain sumbangan New Historism adalah mempelopori
penjelajahan sejarah dibidang sastra dengan memakai wawasan dan konsep-konsep
postruktural (Budianta, 13-14: 2006).
Dalam kajiannya baik secara teoritis dan
preaktik, Grendbaltt lebih fokus pada persoalan sejarah dan sastra. Perluasan
disipliner yang meliputi kajian tekstualitas, bahasa, dan representasi pada
dasarnya berbasis pada analisis historis. Hal ini merupakan efek dari
krititisme sastra terhadap sejarah, yakni dengan membaca sejarah sebagai sebuah
teks (Brannigan, 1998: 9).
Relasi kedua disiplin Grendbaltt ini
oleh Montrose disebut dengan “tektualitas sejarah dan historisitas teks”
(Brannigan, 1998: 84). Maka tekstualitas sejarah mengasumsikan adanya perbedaan
historis, sedangkan historisitas teks mengacu pada pembacaan suatu teks.
Kemudian Grendbaltt menyebutnya dengan puitika kultural. Puitika kultural
pertama kali dipublikasikan pada tahun 1988 dalam Shakespearean Negosiation
dimana dalam bab pertamanya memuat deklarasi “puitika kultural” (Grenbaltt,
1998: 5).
Puitika kultural meyakini bahwa makna
berkembang atau disusun dari interaksi diskursus sosial yang berjejalin dan
beragam, dan tidak ada hierarki diskursus diperlukan dan mesti diperiksa dalam
proses analisis tekstual. Kemudian, dalam proses interpetasi juga memasukkan
pertanyaan-pertanyaan mengenai asumsi metodelogis untuk membedakan makna
disetiap diskursus dan setiap praktisi, tidak ada satu diskursus atau metode
ataupun triktik yang dapat mengungkap suatu kebenaran dengan pengisolasian dari
diskursus lainnya (Bressler, 2001: 189).
Tulisan Grendbaltt ini kemudian
dipublikasikan kembali dalam practicing New Historism pada bagian pertama,
sedangkan ada bagian kedua Gallagher melalui tulisan “Counterhistory and the
Anecdote” menambahkan pandangannya mengenai konsep anecdote. Gallagher mencoba
menjelaskan komitmen pada particularitas dan anecdot dalam kontek
historiografi. Menurut Callagher (2000:49-50), anekdot merupakan efek atau
respon dari bentuk totalisasi dan generalisasi sejarah atau nerasi historis.
Baik Grendbaltt maupun Gallagher dalam hal ini lebih memperhatikan New
Historism pada lima aspek yakni pada:
1.
penggunaan anekdote,
2.
penggunaan representasi,
3.
tertarik dengan sejarah dari rangkaian
atau gugusan,
4.
memperhatikan pada hal-hal kecil yang
diabaikan,
5.
analisis idiologis secara skematis.
D. Contoh Kajian New Historism
KEKERASAN
NEGARA ORDE BARU TERHADAP RAKYAT DALAM TEKS SASTRA INDONESIA: STUDI NEW HISTORICISM
Oleh:
Akhmad Taufiq
(Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Jember)
Sumber data dalam kajian ini yakni teks
sastra Indonesia yang mencakup tiga karya, yaitu Penembahan Reso drama karya W.S. Rendra, Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah drama karya Ratna Sarumpaet dan
Novel Laskar Pelangi novel karya
Andrea Hirata. Teks sastra tersebut dipandang memiliki relevansi yang kuat
dalam merekam dan memotret kekuasaan OrdeBaru.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Pada
bagian ini, dijelaskan beberapa hal penting yang berkenaan langsung dengan
kekerasan negara Orde Baru terhadap rakyat yang terdapat dalam teks sastra
Indonesia. Berikut Struktur Represif Kekuasaan oleh Orde Baru;
Struktur
Represif Kekuasaan Orde Baru
Struktur
represif dalam konteks ini, yakni seluruh bentuk suprastruktur Negara yang
memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan paksa atas warga negara. Oleh
karenanya, negara dalam konteks demikian kerap terjerumus untuk melakukan
tindakan kekerasan atas nama negara terhadap warga negaranya sendiri. Kekuatan
suprastruktur negara itu tidak digunakan untuk memberikan kemanfaatan secara
menyeluruh terhadap warga negaranya; sebaliknya, kekuatan suprastruktur ini
digunakan untuk memberikan tindakan represif terhadap warga negara.
Foucault
(1997:162) mengemukakan bahwa dalam rangka untuk melakukan tindakan represif
itu, negara membangun teknologi kuasa dalam rengka melakukan pendisiplinan
tubuh warga negaranya. Penghukuman dalam konteks itu dipandang sebagai strategi
yang efektif untuk melakukan penaklukan atas tubuh-tubuh warga negara itu.
Bahkan, dalam konteks represivitas negara terhadap warga negara, negara tidak
jarang berada dalam bangunan panoptikon, yakni melakukan seluruh daya untuk
melakukan kontrol terhadap warga negaranya.
Dibawah ini teks sastra
yang dapat menggambarkan terjadinya tindakan represif atas kekuasaan Orde Baru.
Lelaki II : Hari ini kita menikmati buah dari kesabaran
kita selama ini. Kita rasakan pahit getirnya tertindas oleh ketabahan dan
keikhlasan yang kita berikan sendiri. Mereka todongkan senapan kehidung kita,
kita surut. Mereka gilas rumah-rumah kita dengan traktor, kita bungkam. Mereka
menyutut api memusnahkan kampung-kampung, kita terdiam. Hari ini kita akan
membacakan dosa-dosa kita, lalu merayakannya dengan air mata kita sebagai
saksinya. Kita dosa membiarkan orang-orang mengira mereka bisa berbuat sesukanya.
Kita dosa tidak mempertahankan hak kita atas tanah yang diberikan leluhur kita
kepada kita. Kita dosa membiarkan tanah ini, yang diperolehdari tanah penjajah
dengan keringat dan darah, dikangkangi penjajah-penjajah baru…
Ibu :
dia telah pergi, tergusur ke tempat dimana suaranya akan teredam… (Sarumpaet,
1997: 50-51).
Dalam teks Marsinah
Nyanyian dari Bawah Tanah karya
Ratna Sarumpaet digambarkan betapa represifnya kekuasaan Orde Baru. Penggusuran
yang terjadi dalam teks merupakan represifnya dari fenomena penggusuran dalam
realitas yang sebenarnya. Represivitas seperti itu jelas menyisakan kepedihan
yang teramat dalam bagi rakyat. Terdapat dua kemanusiaan yang dirasakan oleh
rakyat sebagai tindakan dari kekerasan represif seperti itu. Negara Orde Baru
dalam konteks demikian menjadi kekuatan yang sangat menakutkan bagi rakyatnya
melalui instrukmen suprastruktur yang dimilikinya. Pelaksana penggusuran yang
terjadi itu jelas merupakan tindakan kekerasan negara yang dilakukan melalui
instrumen suprastrukturnya. Instrumen negara itulah bertindak atas nama negara;
yang seolah-olah rakyat dalam posisinya tidak dikategorikan sebagai bagian
negara. Rakyat merupakan bagian lain atau bahkan di luar negara. Karena rakyat
menjadi bagian lain dan di luar negara, maka kekuasaan negara–dalam hal ini
negara Orde Baru–merasasah untuk memperlakukannya secara semena-mena.
Kesemena-menaan itulah merupakan manifestasi dari kekuasaan negara yang
sewenang-wenang. Kedaulatan rakyat dibangun bukan atas nama kedaulatan rakyat;
melainkan dibangun atas dasar pendekatan kekuasaan semata-mata. Dalam kondisi
seperti itu, maka fenomena seperti yang terjadi dalam kutipa data di atas
menjadi tidak terhindarkan. Artinya, dapat dipastikan negara akan terjebak atau
tergelincir menggunakan kekuasaan secara sewenang-wenang. Tindakan represif
merupakan wujud daru kesewenang-wenangan negara Orde Baru.
Lebih lugas dinyatakan dalam novel Laskar Pelangi, yang mendeskripsikan tentang bentuk
kesewenang-wenangan aparatur negara yang merepresi rakyatnya. Dibawah ini
kutipan data yang menunjukkan hal demikian itu. Gedong lebih seperti sebuah
kota satelit yang dijaga ketat oleh aparat polsus (Polisi Khusus) Timah. Jika
ada yang lancang masuk maka koboi-koboi tengik itu akan menyergap.,
mengintrogasi, lalu introgasi akan ditutup dengan mengingatkan sang tangkapan
pada tulisan;
“DILARANG
MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” yang bertaburan secara mencolok pada
berbagai akses dan fasilitas di sana, sebuah power statement tipikal
kompeni (Hirata, 2008: 43).
Hal yang serupa
digambarkan pula dalam teks novel Laskar
Pelangi. Dalan teks Laskar Pelangi
wujud kesewenang-wenangan itu lebih tampak sebagai diskriminasi. Terdapat
diskriminasi yang tajam yang dilakukan oleh kekuasaan Orde Baru, yang membelah
masyarakan menjadi dua kelompok ekstrim secara ekonomi. Satu sisi, kelompok
yang mewakili orang kaya, yang digambarkan dengan membangun kota satelit dan
gedongan. Disis lain, kelompok masyarakat yang miskin dan serba kekurangan.
Kekuasaan orde baru
melihat seperti ini tidak berusaha membangun kebijakan ekonomi untuk mendorong
terjadinya pemerataan. Sebaliknya, terhadap Orde Baru membuat garis dekramasi
yang sangat tegas dan disertai ancaman. Teks yang menyebutkan “DILARANG MASUK BAGI
YANG TIDAK MEMILIKI HAK” merupakan bentuk penegasan dari kekuasaan dan
sekaligus ancaman. Disebut demikian, karena terdapat konsekuensi hukum yang
akan diterima oleh rakyat kecil (miskin) yang hidup diperkampungan bila berani
melewati batas teritorial. Instrumen represif negaralah yang akan bertindak;
yakni, polisi khusus perusahaan timah di Belitong yang sekaligus menggambarkan
betapa efektifnya kekuatan didalam membangun jejaring kuasanya. Kekuasaan tidak
jarang menjadi kekuatan panoktik yang senantiasa mengawasi gerak-gerik rakyat.
Rakyat tidak lepas dari pengawasan negara. Negara dalam konteks itu
dikategorikan sebagai kekuasaan negara panoktik, yakni negara yang selalu
berupaya untukk mengawasi dan mengontrol rakyat melalui instrumen yang dimilikinya.
Oleh karena itu, negara Orde Baru dalam konteks tersebut disebut negana
panoktik atau negara panoktikon. Negara dalam konteks demikian menjadi kekuatan
dan pihak yang menjadi serba tahu terhadap yang dilakukan oleh warga negaranya
(Foucault, 1997: 162-165).
Oleh sebab itu, negara kerap menjadi kekuatan yang
senantiasa melakukan tindakan kekerasan; pengawasan dan kontrol negara terhadap
rakyat yang dilakukan dengan cara menerapkan pembatasan-pembatasan itu juga
merupakan manifestasi kekerasan.
E.
Simpulan
Latar
belakang munculnya New Historisme adalah kekurang bermanfaatan ilmu sastra
dalam kehidupan masyarakat. Ilmu sastra hanya mengkaji teks yang terkandung
dalam karya sastra, baik puisi, prosa maupun novel. Krisis itu kemudian
melahirkan gerakan pengembangan dengan menempatkan karya sastra sebagai hasil
budaya masyarakat, sehingga memiliki kaitan historis yang kompleks dengan
dinamika yang terjadi dalam masyarakat.
Sastra
dalam hal ini dilihat sebagai bagian dari sistem yang membentuk sebuah budaya
tertentu. Dalam penerapannya New Historism tidak dimualai dari teori atau
pendekatan, tetapi dari teks, lalu melihatnya sebagai permasalahan yang
ditawarkan oleh teks untuk diangkat sebagai bahan penelitian. Pada saat yang
sama, berbagai kosep, teori, model pengkajian yang dibaca dan di telaahmngalami
proses internalisasi, sehingga memberikan gambaran yang memungkinkan menangkap
permasalahan tertentu dalam teks.
Daftar
Pustaka
Budianta, Melani. 2006. SUSASTRA 3: Jurnal ilmu Sastra dan Buday. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
Budianta, Melani. 2002. In the Margin of the capital: From Tjerita
Boedjang Bingung to Si Doel Anak Sekolahan” dalam Keith Foulcher dan Tony Day
(ed), Clearing a space: postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature.
Leiden: KITLV
Fathoni. 2013. New Historisme Grenblatt: Identifikasi dan Relevansi dalam Kritik
Sastra dalam blog Fathoni
Grenblatt. 1994. “Culture” dalam Context for Criticsm. Mountain View. California:
Mayfield Publishing Company.
Kessey, Donald. 1994. Historical Critism II: Culture as Context”
dalam Context for Critiscm. California: Mayfield Publishing Company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar