TEORI POSTRUKTURALIS (POSTMODERN) SASTRA
OLEH
Jose Da
Conceicao Verdial
1.1
Latar Belakang
Postmodernisme,
berasal dari kata post + modern + isme,
yang berarti paham sebuah modern, dan postrukturalisme, dari kata post + struktur + isme,
yang berarti paham sebuah struktur, baik secara historis pragmatis maupun
intelektual akademis memiliki kaitan yang sangat erat. Prefiks “post” dengan
padanannya, seperti “para” dan “akhir”, sudah digunakan jauh sebelumnya,
seperti postindustri,
para-Marxis, akhir manusia, akhir sejarah, dan sebagainya. Dalam tradisi
kebudayaan Barat, istilah postmodernisme pada dasarnya telah muncul sekitar tahun
1870-an, digunakan oleh seniman Inggris John Watkins Chapman. Menurut Kohler
dan Hasa (dalam Ratna, 2011:146)
istilah postmodernisme
baru muncul kembali tahun 1930-an, melalui Federico de Onis, sebagai salah satu
reaksi stagnasi modernisme.
Postrukturalisme
adalah teori-teori sastra sesudah strukturalisme. Teori strukturalisme yang berkembang sejak tahun 1930-an, setelah
dievaluasi selama kurang lebih setengah abad, maka sekitar tahun 1980-an
direvisi oleh teori postrukturalisme,
dengan mempersempit pretense-pretensi ilmiahnya.
Adapun hal yang
akan dibahas dalam makalah ini antara lain, (a) problematika teori postmodernisme
dan postrukturalisme
sastra, (b) sejarah teori postmodernisme dan postrukturalisme sastra, (c) konsep teori postmodernisme dan postrukturalisme sastra, (d) cara penerapan teori postrukturalisme
sastra, dan (e) contoh analisis karya sastra dengan teori postrukturalisme sastra.
1.2 Rumusan Masalah
Berikut rumusan
masalah yang akan dibahas dalam makalah ini.
1.
Bagaimana problematika teori postmodernisme dan postrukturalisme?
2.
Bagaimana sejarah teori postmodernisme dan postrukturalisme?
3.
Bagaimana konsep teori postmodernisme dan postrukturalisme?
4.
Bagaimana penerapan teori postmodernisme dan postrukturalisme?
5.
Bagaimana contoh kajian karya sastra dengan teori postrukturalisme (postmodernisme)?
1.3 Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, maka tujuan penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut.
1.
Untuk mengetahui problematika teori postmodernisme dan postrukturalisme.
2.
Untuk mengetahui sejarah teori postmodernisme dan postrukturalisme.
3.
Untuk mengetahui konsep teori postmodernisme dan postrukturalisme.
4.
Untuk mengetahui penerapan teori postmodernisme dan postrukturalisme.
5.
Untuk mengetahui contoh
kajian karya sastra dengan teori postrukturalisme (postmodernisme).
2. PEMBAHASAN
2.1 Problematika Teori
Sejalan dengan
berkembangnya karya sastra, berkembang pula teori-teori dalam mengkaji karya sastra
tersebut. Banyaknya teori sastra yang hadir merupakan bukti bahwa tidak ada
satu teori pun yang dianggap sempurna. Meskipun demikian, tidak dapat diingkari
bahwa teori baru yang muncul baik secara langsung maupun tidak langsung tidak
dapat dilepaskan dari teori-teori sebelumnya. Yang termasuk di antara
teori-teori yang berkembang tersebut adalah postmodernisme
dan postrukturalisme.
Postrukturalisme
berkembang sejajar dengan postmodernisme, dengan
tujuan yang relatif sama, tetapi dengan tradisi dan latar belakang sosial yang
berbeda. Postrukturalisme lahir sebagai akibat stagnasi strukturalisme,
sedangkan postmodernisme
lahir sebagai akibat jalan buntu modernisme.
Secara historis zaman
modernisme
berkembang sejak abad ke-17 hingga abad ke-20, bersamaan dengan munculnya zaman
Renaissance, dengan ciri-ciri utama pemujaan terhadap dunia teknologi.
Sebagai gejala kultural, postrukturalisme dianggap bagian dari postmodernisme.
Dengan kata lain, postrukturalisme merupakan tradisi intelektual
postmodernisme.
Perlu dipahami sebelumnya bahwa dengan
lahirnya postrukturalisme
dan postmodernisme
tidak berarti bahwa teori-teori terdahulu, yaitu strukturalisme
dan modernisme
itu sendiri tidak bermanfaat dan harus ditinggalkan.
Postrukturalisme dan postmodernisme adalah kelanjutan strukturalisme
dan modernisme. Teori dan metode yang sudah membawa
manusia pada suatu tingkatan peradaban yang sangat canggih. Dua alasan kuat
yang dapat dikemukakan untuk menunjukkan bahwa postrukturalisme
dan postmodernisme
merupakan kelanjutan strukturalisme dan modernisme,
yaitu:
1.
ciri-ciri terpenting
yang dikemukakan dalam postrukturalisme dan postmodernisme
pada dasarnya sudah terkandung dalam strukturalisme
dan modernisme,
tetapi pada saat itu ciri-ciri tersebut belum berhasil untuk didefinisikan
secara akurat. Jadi, postrukturalisme dan postmodernisme
hanya membangkitkan kembali segala sesuatu yang laten, tersembunyi, terlalaikan
dan terlupakan, dan
2.
sebagai
tokoh-tokoh postrukturalisme
dan postmodernisme
pada dasarnya adalah juga tokoh-tokoh strukturalisme
dan modernisme
(Ratna, 2005:142—143).
Teori postmodernisme
dan postrukturalisme
dikembangkan oleh beberapa tokoh. Teori postrukturalisme
terdiri atas beberapa teori, yaitu teori resepsi sastra,
interteks,
feminis,
postkolonial,
dan dekonstruksi.
Makalah ini akan menjelaskan lebih mendalam tentang konsep teori postmodernisme
dan postrukturalisme.
2.2 Sejarah Teori
Postmodern itu sendiri muncul
sebagai bagian era modern. Ketika postmodern mulai memasuki
ranah filsafat, maka kata “post” dalam postmodern tidak dimaksudkan lagi sebagai sebuah periode atau
waktu semata, tetapi lebih merupakan sebuah konsep yang hendak melampaui segala
hal yang berbau modern (Sugiharto, 1996:121). Istilah
ini pun dipakai secara leluasa dan otomatis membingungkan sebagai akibat dari
dua sikap, yakni resistensi sekaligus pengaburan makna modernisme dan implikasi
dari pengetahuan luas ikhwal modernisme yang kini sudah terlampaui era baru.
Aliran ini mulai dikenal secara luas dalam dunia filsafat pada tahun 1960-an.
Filsafat
modern yang dibawa oleh Descartes dianggap melahirkan berbagai dampak buruk
untuk dunia di kemudian hari. Filsafat modern, bagaimanapun telah membawa dunia
kepada perubahan yang sangat besar. Namun, di sisi lain ia juga mendapat
kecaman dari berbagai pihak, khususnya aliran postmodernisme. Pandangan dualistiknya yang membagi
seluruh kenyataan menjadi subyek dan obyek, spiritual-material, manusia-dunia, dan
sebagainya, telah mengakibatkan objektisasi alam dan eksploitasi alam secara
besar-besaran dan semena-mena. Akibatnya banyak pihak yang mengecam tindakan
ini. Zaman modern yang selalu diasumsikan dengan kemajuan, ilmu pengetahuan,
Hi-Tech, eksploitasi, rasionalitas dan lain sebagainya, ternyata tidak dapat
diterima begitu saja oleh sebagian yang lain.
Pada tahun
1930-an, Arnold Toynbeelah yang memperkenalkan istilah postmodernisme. Postmodern
merupakan reaksi dari modernism. Toynbee memperkenalkan postmodernisme atas
dasar pertimbangan terjadinya pergeseran kebudayaan Barat ke arah irasionalitas
dan relativisme. Secara definitif, pada dasarnya postmodernisme lahir 15 Juli
1972 pukul 3.32 sore, di St. Louis Missouri, dengan dihancurkannya bangunan
perumahan Pruitt-Igoe. Menurut Charles Jencks, bangunan tersebut merupakan
simbol modernisme sebab dibangun atas dasar teknologi modern dengan tujuan
menciptakan masyarakat utopis. Sebagai gejala kebudayaan yang relative luas, postmodernisme
muncul antara tahun 1960 hingga 1990 (Ratna, 2011:146). Mulai
tahun-tahun itulah prefiks “post” digunakan dalam berbagai bidang, seperti seni
visual, musik, tari, film, filsafat, kritik, historiografi, teologi, dan
sastra.
Kondisi
sosial yang dianggap sebagai pemicu lahirnya postmodernisme dan
postrukturalisme adalah gerakan mahasiswa yang terjadi di Perancis tahun 1968.
Penolakan terhadap teori-teori Marxis yang dianggap tidak sesuai terhadap
tradisi intelektual, khususnya dalam mengantisipasi kondisi masyarakat pasca
Perang Dunia II, penolakan terhadap eksistensialisme Sartre yang juga mendukung
Marxisme, dalam memenuhi subjektivitas manusia modern, dianggap sebagai
sebab-sebab pokok timbulnya gerakan.
Postrukturalisme
merupakan produk dari pencampuran euforia dan ketidakpercayaan, pembebasan dan
pembubaran, karnaval dan bencana, di tahun 1968. Karena tidak mampu mendobrak
struktur kekuasaan negara, sebagai gantinya postrukturalisme melihat bahwa ia
dapat menghancurkan struktur bahasa (Eagleton, 2010:205).
Tokoh terkemuka
dan pelopor di kalangan pascastrukturalis Amerika adalah “Kelompok Yale” yaitu
peneliti-peneliti di Yale University seperti Paul de Man, Geoffrey Haftman, dan
lain-lain yang sangat dipengaruhi oleh dua ahli Prancis, yaitu Jacques Derrida
dan Michel Foucault, yang keduanya sangat populer di kalangan ilmuan tertentu
di Amerika Serikat (Teeuw, 1984:144). Tokoh postrukturalisme lainnya adalah
Gerard Genette, Gerald Prince, Seymour Chatmann, Jonathan Culler, Hayden White,
Mary Louis Pratt, Roland Barthes, Julia Kristeva, Umberto Eco, Jeans-Francois
Lyotard, dan Jean Baudrillard (Ratna, 2011:163).
Semenjak tahun
enam puluhan kedudukan new criticism di
Amerika Serikat sangat digoncangkan. Terpengaruh juga oleh Nouvelle Critique dan penelitian di Eropa mengenai resepsi (cara
seorang pembaca menerima sebuah teks). Kaum postrukturalis, sekelompok kritikus di Universitas Yale,
dengan lebih tegas menolak pandangan New
Criticism. Mereka ingin mendekonstruksikan teks lalu merekonstruksikan
sebuah teks baru. Beberapa tokoh dari kelompok Yale itu adalah Paul de Man dan J. Hillis Miller. Maka di Amerika pun
perhatian bergeser dari teks ke arah
pembaca. Stanley Fish, seorang ahli estetika resepsi yang sangat berpengaruh,
menerangkan pengalaman apa yang dirasakan pembaca bila ia membaca sastra.
Perbedaan interpretasi dalam proses membaca akan timbul bila pembaca memiliki
perbedaan pengetahuan bahasa, pengalaman literer, dan pandangan hidup. Arti
sebuah teks tidak terdapat dalam teks itu sendiri atau dalam strukturnya, arti
merupakan sebuah proses, sesuatu yang terjadi bila pembaca membaca teks
tertentu. Inilah yang melatarbelakangi munculnya aliran postrukturalisme atau
postmodernisme (Luxemburg, 1984:59—60).
Tokoh utama
dalam pembangunan postrukturalisme
adalah Jacques Derrida. Gilles Deleuza sebenarnya berkembang ke arah posisi postrukturalis
kurang lebih bersamaan dengan Derrida, namun pengaruh Deleuze baru terasa
setelah Derrida membuka jalan untuk pertama kalinya. Datangnya postrukturalisme
ditandai oleh pengaruh besar ketiga buku Derrida yang muncul di tahun 1967: Writing
and Difference, Speech and Phenomena, dan Of Grammatology. Derrida
membangun teori bahasa postrukturalisnya
setelah melakukan dekonstruksi atas teori bahasa fenomenologisnya Edmund
Husserl (Harland, 2006:176).
Postrukturalisme memandang bahwa teori
terdahulu ternyata memiliki sejumlah kelemahan dan dipandang sangat perlu untuk
diperbaiki. Pada umumnya kelemahan strukturalisme dapat diidentifikasi sebagai
berikut.
1.
Model analisis strukturalisme, terutama pada awal perkembangannya
dianggap terlalu kaku sebab semata-mata didasarkan atas struktur dan sistem
tertentu.
2.
Strukturalisme terlalu banyak memberikan perhatian terhadap karya
sastra sebagai kualitas otonom, dengan struktur dan sistemnya, sehingga
melupakan subjek manusianya, yaitu pengarang dan pembaca.
3.
Hasil analisis dengan demikian seolah-olah demi karya sastra itu
sendiri, bukan untuk kepentingan masyarakat secara luas (Ratna, 2011:143—144).
4.
Karya seni tidak bisa diteliti secara terpisah dari struktur
sosial.
5.
Adanya keraguan terhadap struktur objektif karya.
6.
Karya dilepaskan dari relevansi pembacanya.
7.
Karya sastra juga dilepaskan dari relevansi sosial budaya yang
melatarbelakanginya.
Oleh
karena itulah, strukturalisme perlu
disempurnakan, yang secara keseluruhan dilengkapi oleh postrukturalisme. Kelahiran postrukturalisme dimaksudkan dapat
mengantisipasi berbagai distorsi sistem semantis sehingga karya seni, khususnya
karya sastra benar-benar berfungsi dalam kehidupan masyarakat.
Dalam
sastra, postrukturlisme memperoleh posisinya yang lebih kuat tahun 1970-an,
dengan adanya penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Jean-Francois Lyotard,
Jaccques Derrida, dan Jean Baudrillard. Sementara di Indonesia,
postrukturalisme diterima sekitar tahun 1980.
2.3
Konsep dalam Teori
2.3.1 Postmodernisme
Pascamodernisme
dapat kita lihat sebagai kelanjutan modernisme, jadi kelanjutan realisme.
Keraguan yang disajikan oleh pascamodernisme bersumber pada anggapan bahwa
kenyataan adalah tidak pasti. Jadi penggambaran “realistis” tentang kenyataan
tak-pasti tidak mungkin berbentuk realistis dalam arti tradisional. Maka di
sini pun ada paradoks yang menghasilkan pandangan baru tentang gagasan mengenai
kenyataan dan suatu aliran baru sastra (Luxemburg, 1989:204). Tak ada alasan
untuk menganggap bahwa kita semua hidup dalam kenyataan yang sama, kita tak
dapat membuktikan hal itu karena realitas tak mungkin dikenal. Mungkin saja ada lebih dari satu
dunia yang berada berdampingan, tetapi tidak mungkin sejalan. Di segi lain keraguan tersebut berarti bahwa dunia-dunia tersebut
hanya “ada” atau dapat dimasuki melalui bahasa. Menurut pascamodernis bahasa
mendahului pembentukan dunia yang kita alami. Kekerasan atau cinta adalah
pengalaman yang pernah kita dengar atau kita baca, sebelum kita jumpai sendiri.
Pengalaman tersebut pertama kali dibentuk oleh cerita mengenai pengalaman itu.
Hal ini tidak mengurangi intensitas pengalaman tersebut, tetapi memperbesar
peranan cerita dan bahasa dalam pengalaman itu (Luxemburg, 1989:192—193).
Masalah yang
dikemukanan oleh pengarang pascamodernis adalah masalah yang bertalian dengan
status keberadaan dunia dan kemungkinannya untuk diungkapkan dalam bahasa.
Keraguan para modernis merupakan suatu ketidakpastian epistomologis,
tetapi para pascamodernis menyorot masalah-masalah ontologis. Istilah
ini berasal dari kata dasar Yunani ont—yang berarti berada. Pengarang
pascamodernistik cenderung menggambarkan unsur-unsur science fiction
atau ciri-ciri novel sejarah. Dalam kedua ragam ini batas-batas antardunia
dilintasi. Bahwa science fiction melintasi batas antardunia tak akan
diingkari oleh siapa pun. Di dalamnya makhluk dari masa depan, dari planet
luar, dari perut bumi bersentuhan dengan manusia “biasa”. Novel historis,
bahkan dalam bentuk tradisional juga mencakup pelintasan batas. Hal ini paling
jelas terlihat apabila tokoh historis digambarkan, misalnya Lenin, yang
pikirannya diungkapkan, padahal tak mungkin ada orang yang mengetahuinya. Dalam
roman sejarah yang lain pengarang berusaha sekuat tenaga untuk menyamarkan
pelintasan semacam itu. Untuk itu digunakan sarana realistik. Sebaliknya dalam
roman sejarah pascamodernistik pelintasan batas justru disorot. Latar belakang
sejarah digunakan untuk menciptakan dan menonjolkan pertentangan. Pelintasan
batas seperti itu sebagai sarana utama oleh pengarang pascamodernisme dipakai
untuk menggambarkan keraguan ontologis yang mereka hadapi. Anggapan bahwa dunia
nyata adalah sesuatu yang dihasilkan oleh bahwa di sini diketengahkan secara
eksplisit (Luxemburg, 1989:197—198).
Pascamodernisme
tidak mengingkari fakta-fakta dan kenyataan, justru sebaliknya, akan tetapi
fakta tersebut ditimbulkan karena pandangan-pandangan yang melalui bahasa dan
budaya telah mempersiapkan kita untuk menerima kejadian yang tak mungkin
diterima. Berdasarkan konsep pascamodernisme, bahasa kita anggap bertanggung
jawab atas apa yang terjadi, dan dengan demikian kita dapat mempradugakan dan
mempengaruhi perkembangan yang membahayakan dalam taraf ini. Dampak dari
strategi kesastraan bertujuan pengasingan yang dikembangkan oleh pascamodernisme
ialah menyadarkan pembaca akan kekuatan bahasa dalam sejarah (Luxemburg,
1989:203).
Timbulnya
postmodernisme jelas merupakan akibat ketidakmampuan modernisme dalam
menanggulangi kepuasan masyarakat, yaitu berbagai kebutuhan yang berkaitan
dengan masalah sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan pada umumnya. Pada masa
ini, konsumerisme merupakan perkembangan mutakhir kapitalisme, sebagaimana
pembaca dianggap sebagai komponen pokok dalam perkembangan teori sastra
kontemporer.
Postmodernisme
muncul untuk mengoreksi linearitas modernisme. Tujuannya jelas untuk
mengembalikan kesadaran bahwa ada yang lain, the other, di luarnya, di luar wacana hegemoni. Motto dari
postmoderisme adalah berpikir secara global, bertindak secara lokal, universe telah tergantikan oleh multiverse.
Menurut
konsep postmodernisme, kehadiran wacana baru tidak dengan sendirinya
menghancurkan wacana yang lama, sebaliknya, melihat sebagai hubungan dialogis,
dengan mekanisme interaksi yang saling menguntungkan. Apabila dalam modernisme manusia hidup
dalam sistem, sebagai struktur, maka dalam postmodernisme manusia dimungkinkan
hidup secara lebih bebas, sebagai destruktur.
Menurut Robert Dunn (dalam Ratna, 2011:151) yang membedakan ciri-ciri modernisme dengan postmodernisme, di
antaranya:
a.
pergeseran nilai yang menyertai budaya massa dari produksi ke
konsumsi, dari pencipta ke penerima, dari karya ke teks, dari seniman ke
penikmat,
b.
pergeseran dari keseriusan (intelektualitas) ke nilai-nilai
permainan (populer), dari ke dalaman
ke permukaan, dari universal ke particular,
c.
kebangkitan kembali nilai-nilai estetis periode 1960-an,
d.
munculnya politik representasi periode 1970-an yang menentang
struktur otoritas, dan
e.
kebangkitan kembali tradisi, primordial, dan nilai-nilai masyarakat
lama lainnya.
Menurut
Hutcheon (dalam Ratna, 2011:154)
ciri-ciri teori postmodernisme dan postrukturalisme adalah penolakan terhadap
adanya satu pusat, kemutlakan, narasi-narasi besar, metanarasi, gerak sejarah
yang monolinier. Postrukturalisme menolak sistem pemikiran tunggal (homologi),
seperti ras, agama, laki-laki dan sebagainya, dengan menawarkan sistem
pemikiran plural (paralogi). Narasi besar haya satu sedangkan narasi kecil
merupakan hasil setiap orang yang bersikap demokratis, aktif, partisipatif, dan
kreatif. Postmodernisme mensubversi uniformitas, homogenitas, dan totalisasi,
dengan memberikan intensitas pada perbedaan-perbedaan, relativitas, dan pluralisme.
Postmodernisme mengakui identitas lain, sebagai relativisme budaya.
2.3.2 Postrukturalisme
Postrukturalisme
Derrida merupakan versi postrukturalisme yang paling awal dan sangat penting; namun meski
demikian bukanlah versi satu-satunya. Versi lain yang bobotnya nyaris serupa
adalah versi yang diasosiasikan dengan periode “genelogis”nya Foucault di tahun
1970-an. Dalam berbagai segi, “genealogi” Foucault bertolak dari titik mana
periode “erkeologi”nya berhenti, dan kemudian meluas ke wilayah-wilayah
diskursus baru yang berkampanye melawan sains dan humanisme. Dengan demikian,
“genealogi-genealogi ... tepatnya merupakan ‘antisains’”; dan “genealogi
(merupakan) sebentuk sejarah yang menerangkan konstitusi ilmu-ilmu pengetahuan,
diskursus, ranah objek-objek, dan lain-lain, tanpa merujuk pada suatu subjek.”
Akan tetapi, dalam segi-segi lainnya, ada perbedaan filosofis yang menentukan
antara “arkeologi” dan “genealogi”. Dan walaupun Foucault tampaknya tidak
dipengaruhi secara langsung oleh Derrida—dan bahkan memperlihatkan rasa benci
yang mendalam terhadap Derrida—namun perbedaan ini akhirnya analog dengan
perbedaan antara teori “langue” Saussure dengan teori “Tulisan” Derrida
(Harland, 2006:220—221).
Saat Foucoult
bergeser dari strukturalisme
menuju postrukturalisme,
begitu pula halnya dengan Kristeva dan Barthes. Kristeva dan Barthes lebih
memusatkan perhatiannya
pada bahasa ketimbang dengan politik. Postrukturalisme mereka adalah filsafat
makna yang sebagian besar berasal dari Derrida. Kristeva misalnya sejak awal
menghendaki terbentuknya semacam pemahaman tanda-tanda yang
matematis-universal, sedangkan Barthes membayangkan suatu ilmu tentang kultur
dan masyarakat yang sifatnya menyeluruh (Harland, 2006:238).
Kristeva dan
Barthes lebih dekat secara khusus dengan versi Postrukturalisme Derrida, sedangkan
Deleuze dan Guattari lebih dekat dengan versi postrukturalisme Foucault. Dalam perkembangan terakhir, Deleuze dan
Guattari agaknya juga telah memengaruhi Foucault sekurangnya dalam taraf yang
sama sebagaimana ia memengaruhi mereka. Khususnya, ciri khas Nietzschean-isme
dari versi postrukturalisme
ini tampaknya pertama kali diperkenalkan oleh Deleuze dalam karya-karya
tunggalnya yang muncul lebih dulu, Nietzsche et la phiosophie (P.U.F.,
1962) dan Difference et repetition (P.U.F.,1968). Sedangkan ketika
berpasangan, Deleuze dan Guattari lebih banyak berbagi sikap pendirian politis
dan filosofis yang sama dengan Foucault, namun menerapkan pendekatan analisis
mereka sendiri yang khusus—yakni, psikoanalis (Harland, 2006:242).
Versi postrukturalis
lainnya dapat dilihat dalam karya pemikiran Baudrillard. Sama seperti Foucault
dan Deleuze dan Guattari, Baudrillard menggunakan suatu pendekatan politis
terhadap sejumlah hal, namun pendekatan politisnya agak berbeda. Bahkan ketika
ia mengkritik Foucault dan Deleuze dan Guattari, ia menekankan perbedaan
tersebut sehingga kesannya perbedaan itu tidak mungkin terjembatani. Namun,
pada dasarnya ini sekedar merupakan perselisihan antarfraksi di antara Foucault
dan Derrida, dan tidak semestinya sampai membutakan kita pada kenyataan bahwa
posisi teoritis umum yang ditempati Baudrillard juga sama-sama ditempati oleh
para pemikir postrukturalis
lainnya (Harland, 2006:252).
Dasar
pendekatan kelompok pascastrukturalis adalah ketakpercayaan terhadap bahasa:
bahasa tidak mungkin mencerminkan kenyataan, atau tidak mungkin dicek
berdasarkan kenyataan. Pemakaian bahasa dalam teks menciptakan sebuah kenyataan
yang hanya terdiri dari dan dalam bentuk bahasa, sebagai dunia tanda. Bagi
mereka tidak ada “arti” dalam arti biasa, yaitu sesuatu yang dapat kita
verifikasi atau ukur dengan norma kenyataan. Setiap teks merupakan semacam
tenunan yang tidak mungkin kita tentukan atau telusuri artinya yang definitif.
Kalau kita tidak menelusuri seutas benang tertentu dari tenunan itu arti yang
kita peroleh lain dengan arti yang kita temukan dalam menelusuri benang lain.
Maka dari itu kritik teks menghasilkan apori, jalan buntu, karena tidak pernah
ada kepastian. Setiap tindak pemberian arti memanfaatkan tanda yang sendiri
perlu diberi arti, setiap tanda berdasarkan pertentangan, oposisi, tetapi
setiap pertentangan sendiri berdasarkan tanda. Setiap kasus pemakaian bahasa
berdasarkan pemakaian kasus-kasus lain, dan tidak dapat luput dari paradoks
atau lingkaran itu (Teeuw, 1984:144—145).
Ciri
khas postrukturalisme adalah ketidakmantapan teks. Makna karya ditentukan oleh
apa yang dilakukan oleh teks, bukan apa yang dimaksudkan, sehingga terjadi
pergeseran dari estetika produksi ke estetika konsumsi, penerima menjadi pencipta.
Makna teks tidak diproduksi melalui kontemplasi pasif, tetapi partisipasi
aktif. Karya bukan milik pengarang, melainkan milik pembaca, karya sebagai
anonimitas, tidak ada karya pertama, semua intertekstual. Makna teks bergantung
pada konteks, interaksi
pada pembaca, teks tidak tertutup, tetapi terbuka sebab secara terus-menerus berinteraksi ke luar dirinya.
Postrukturalisme
mencoba mengantisipasi berbagai keterbatasan analisis struktural yang sebagian
besar diakibatkan oleh intensitas otonomi dan alienasi karya. Benar, melalui
analisis objektif berhasil dibongkar unsur-unsur, antarhubungan, dan totalitas
karya, tetapi hasil maksimal yang dicapai terbatas sebagai kualitas internal,
bahkan cenderung bersifat involusi. Sebaliknya, dengan tidak melupakan
ciri-ciri khas strukturalisme di atas, paradigma pascastrukturalisme justru
membawa karya sastra ke luar, ke struktur sosial, ke struktur kebudayaan yang
menjadi latar belakangnya. Di sinilah paradigma pascastrukturalisme
mempersatukan sosiologi sastra, psikologi sastra, antropologi sastra, dan studi
kultural pada umumnya, dengan cara masing-masing memandang karya sastra
sekaligus sebagai struktur yang otonom dan kontekstual. Semua pendekatan pada
dasarnya dimediasi oleh faktor yang sama, yaitu pembaca. Perbedaannya, apabila
studi literer pada umumnya memberikan perhatian lebih banyak pada pembaca
imajiner, studi kultural lebih banyak memberikan perhatian pada pembaca faktual
(Ratna, 2005:143—144).
Menurut
paradigma postrukturalisme, seperti telah disinggung di atas, pembaca menduduki
posisi utama. Langkah pertama yang harus dilakukan untuk mengetahui manfaat
karya sastra adalah membaca. Langkah kedua adalah mendengarkan, atau
mendengarkan sambil membaca yang dapat dilakukan melalui media pementasan, penampilan,
pembebasan,
macapatan, dan tayangan televisi. Karya sastra hanya menyediakan saluran,
instalasi, yang kemudian harus diakses oleh pembaca. Pembaca yang baik dan
berhasil adalah pembaca yang dapat diarahkan oleh teks. Kualitas estetis,
kenikmatan, dan dengan demikian makna, di satu pihak timbul justru pada saat
pembaca dievokasi dan ‘dipermain-mainkan’ oleh teks (Ratna, 2005:144).
Sebagai salah
satu ciri teori–teori postrukturalisme, dialogis dan interteks dengan demikian
merupakan indikator perubahan sosiokultural sebab, di satu pihak
postrukturalisme berhasil membongkar doktrin dikotomis yang menandai cara-cara
pemahaman terhadap ilmu kemanusiaan sebagaimana dilakukan dalam strukturalisme.
Oposisi biner, kaitan unsur-unsur dengan totalitas, misalnya, hanya berhasil
membongkar karya pada tataran arti, bukan makna. Di pihak lain,
postrukturalisme selalu memperhatikan yang lain, yang dulu dilupakan atau
sengaja dilupakan (Ratna, 2005:146—147).
Apabila dalam
model penelitian tradisional perhatian dipusatkan pada pengarang, tokoh-tokoh
utama, tokoh pria, novel serius, sastra kota, maka dalam model penelitian
postrukturalisme kancah perhatian bergeser pada pembaca, tokoh-tokoh
komplementer, tokoh wanita, novel populer, sastra lokal. Karya sastra adalah
objek, sedangkan metode dan teori adalah alat. Dalam bentuk fisik, sebagai
naskah, karya sastra bersifat relatif tetap. Perubahannya terbatas dalam bentuk
komposisi, penyuntingan, alih aksara, dan alih bahasa, yang pada umumnya
merupakan objek studi filologi. Studi sastra yang sesungguhnya berkaitan dengan
bentuk mental, baik sebagai wacana maupun teks. Bentuk mental bersifat dinamis
dan cair sebab hadir melalui bahasa. Visi kontemporer, yang dirintis sejak
lahirnya teori resepsi memandang karya, yaitu teks itu sendiri sebagai milik
pembaca. Teori-teori postrukturalis secara keseluruhan bertumpu pada peranan
pembaca seperti di atas. Dengan kalimat lain, melalui intensitas kompetensi
pembaca, teori postrukturalisme menyediakan pemahaman terhadap studi
multikultural (Ratna, 2005:150—151).
Di dalam teori
postrukturalisme terdapat teori-teori yang masuk ke dalam ranah kelompok
postrukturalisme. Teori-teori tersebut, yaitu teori resepsi, teori interteks,
teori feminis, teori postkolonial, dan dekonstruksi.
2.3.2.1 Teori Resepsi Sastra
Secara
definitif resepsi sastra, berasal dari kata recepire
(Latin), reseption (Inggris),
yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas
resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara penerimaan makna
terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan
antara karya dengan pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca
dalam periode tertentu (Ratna, 2011:165).
Pembaca
sebagai subjek transindividual, subjek yang berada dalam perkembangan sejarah,
membawa teori resepsi sangat relevan dengan paradigma pascastrukturalis. Berkat
adanya keterlibatan pembacalah hakikat multikultural bisa digali secara
maksimal, bukan penulis. Penerimaan pembaca pada gilirannya merupakan gudang kultural
sekaligus sebagai energi
kreativitas.
Resepsi
dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu resepsi secara sinkronis dan resepsi secara
diakronis. Resepsi sinkronis meneliti karya sastra dalam hubungannya dengan
pembaca se-zaman.
Sekelompok pembaca, misalnya, memberikan tanggapan baik secara sosiologis
maupun psikologis terhadap sebuah novel. Resepsi diakronis meneliti karya
sastra dalam hubungannya dengan pembaca sepanjang sejarah.
Resepsi
sastra memiliki kaitan dengan sosiologi sastra dan interteks. Kaitan dengan
sosiologi sastra terjadi karena keduanya memanfaatkan masyarakat pembaca.
Kaitan resepsi sastra dengan sosiologi sastra terjadi dengan masyarakat biasa,
dengan pembaca konkret, bukan dengan masyarakat yang terkandung dalam karya
sastra (interinsik).
Perbedaannya, resepsi sastra memberikan perhatian pada aspek estetika,
bagaimana karya sastra ditanggapi dan kemudian diolah, sedangkan sosiologi
sastra memberikan perhatian pada sifat hubungan dan saling mempengaruhi antara
sastra dan masyarakat.
Hubungan
resepsi sastra dengan interteks terjadi karena baik resepsi sastra maupun
interteks mempermasalahkan hubungan antara dua teks atau lebih. Penyaduran,
penyalinan, dan tranformasi, dan pengolahan teks berupa inovasi dan parodi,
jelas menilai teks-teks yang berbeda.
Pembaca
yang tidak tahu-menahu tentang proses kreatif diberikan fungsi utama, sebab
pembacalah yang menikmati, menilai, dan memanfaatkannya, sebaliknya penulis
sebagai asal-usul karya terus terpinggirkan, bahkan dianggap sebagai
anonimitas.
Resepsi
sastra, pada dasarnya sudah dimulai oleh Mukarovsky dan Vodicka, dengan konsep
karya seni sebagai objek estetik, bukan artefak. Dengan adanya peranan dan
aktivitas pembacalah, yang disertai dengan peranan masa lampaunya terjadi
pertemuan antara objek dengan subjek, yang dengan sendirinya menimbulkan
kualitas estetis.
2.3.2.2 Teori Interteks
Interteks
yaitu jaringan hubungan
antara satu teks dengan teks lainnya. Penelitian dilakukan dengan cara
menemukan hubungan-hubungan bermakna di
antara dua teks atau lebih. Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata sebagai
persamaan, melainkan juga sebaliknya sebagai pertentangan, baik sebagai parody
maupun negasi (Ratna, 2011:172—173).
Pemahaman
secara intertekstual bertujuan untuk menggali secara maksimal makna-makna yang
terkandung dalam sebuah teks. Barthes menggali kualitas teks dengan cara
menganggap karya sebagai anonimitas. Sedangkan Kristeva menggali kualitas teks
dengan cara mengembalikannya ke dalam semestaan budaya, meskipun tetap sebagai
kebudayaan yang anonim.
Teks-teks
yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan
yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hypogram. Fungsi hypogram merupakan
petunjuk hubungan antarteks yang dimanfaatkan oleh pembaca, bukan penulis,
sehingga memungkinkan terjadinya perkembangan makna.
Dalam
interteks, sesuai hakikat teori postrukturalisme, pembaca bukan lagi merupakan
konsumen, melainkan produsen, teks tidak dapat ditentukan secara pasti sebab
merupakan struktur dari struktur, setiap teks menunjuk kembali secara
berbeda-beda kepada lautan karya yang telah ditulis dan tanpa batas, sebagai
teks jamak. Secara praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara, yaitu
a) membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama, b) hanya
membaca sebuah teks tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks lain yang sudah
pernah dibaca sebelumnya (Ratna, 2011:174).
Hubungan
antarteks tidak sederhana, kompleksitas hubungan dengan sendirinya bergantung
dari kompetensi pembaca, sesuai dengan hakikat postrukturalisme, makin kaya
pemahaman seorang pembaca maka makin kaya pula hubungan-hubungan yang
dihasilkan. Interteks adalah ruang metodologis di mana pembaca mampu untuk
mengadakan asosiasi bebas terhadap pengalaman pembacaan terdahulu yang
memungkinkan untuk memberikan kekayaan bagi teks yang sedang dibaca. Interteks
dalam hubungan ini berfungsi untuk mengevokasi khazanah kultural yang stagnasi,
terlupakan, sehingga menjadi teks yang bermakna. Interteks menghadirkan masa
lampau di tengah-tengah kondisi kontemporer pembaca.
2.3.2.3 Teori Feminis
Dalam
sastra, feminisme dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam
kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi. Analisis feminis merupakan penelitian multidisiplin, melibatkan
berbagai ilmu pengetahuan. Keberagaman dan perbedaan objek dengan teori dan
metodenya merupakan ciri khas studi feminis. Dalam kaitannya dengan studi
sastra, bidang studi yang eleven di antaranya, tradisi literer perempuan,
pengarang perempuan, pembaca perempuan, ciri-ciri khas bahasa perempuan,
tokoh-tokoh perempuan, novel popular dan perempuan.
Perkembangan
terakhir teori feminis didominasi oleh postrukturalis yang didasarkan atas
teori bahasa Saussure, sebagai dikotomi citra bunyi dan konsep, makna
dihasilkan melalui perbedaan, dalam hubungan ini makna perempuan dihasilkan
melalui perbedaannya dengan laki-laki. Sebaliknya, postrukturalis melalui
dekonstruksi Derrida menjelaskan bahwa makna bersifat polisemi. Makna tidak
serupa dengan dirinya, makna merupakan proses artikulasi lambang-lambang.
Makna selalu tergantung dan tertangguh, makna dapat diulang dan dihasilkan
kembali. Dalam dekonstruksi, perempuan dianggap sesuatu yang lain, tetapi selalu
berhubungan dengannya, dan oleh karena itu merupakan hal yang penting, apa yang ada di luar
pada dasarnya juga berada di dalam, apa yang ditolak juga diperlukan, yaitu
untuk memberikan identitas pada dirinya. Dekonstruksi berupaya untuk
menciptakan indikator dalam rangka menghilangkan perbedaan yang tajam dalam
oposisi biner.
2.3.2.4 Teori Postkolonial
Teori
postkolonial identik dengan teori postmodernisme dan postrukturalisme.
Perbedaannya, apabila teori postmodernisme dan postrukturalisme dimanfaatkan
untuk memahami gejala kultural secara universal, teori postkolonial memusatkan
perhatian pada visi dan misi kolonial sebagaimana terkandung dalam unit-unit
wacana kolonial. Ciri penting lainnya adalah kenyataan bahwa secara definitif
teori postkolonial dimanfaatkan untuk menganalisis khazanah kultural yang
menceritakan peristiwa–peristiwa yang terjadi di negara-negara pascakolonial. Pelopor
postmodernisme memandang sejarah tidak berbeda dengan teks. Teks tersebut
memerlukan konteks, dalam hubungan ini penulis, pembaca, dan masyarakat secara
keseluruhan.
2.3.2.5 Teori Dekonstruksi
Fungsi
utama postmodernisme dan postrukturalisme adalah mendekonstruksi kekuatan laten
subjek kultural, subjek-subjek hegemonis yang secara terus-menerus
mengkondisikan situasi marginalitas. Salah satu teori postrukturalisme adalah
dekonstruksi. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi.
Dekonstruksi
adalah penolakan terhadap adanya suatu pusat yang sudah diciptakan oleh
strukturalisme yang berpusat pada struktur. Dekonstruksi menolak pemusatan
tersebut dengan cara terus-menerus melepaskan diri. Teks dianalisis bukan
sebagai objek yang tertutup, tetapi selalu mengacu ke luar darinya,
bergantung pada konteks, interaksi antarteks dan pembaca.
Pembacaan
dalam hal ini dibedakan antara pembacaan nondekonstruksi dan dekonstruksi. Pembacaan
nondekonstruksi atau pembacaan konvensional dilakukan dengan cara menemukan
makna yang benar, makna terakhir, yang disebut sebagai makna optimal. Mana yang
benar pada umumnya dilakukan dengan cara memberikan prioritas pada unsur-unsur
pusat, seperti kebenaran, tokoh utama, laki-laki, dan sebagainya. Sebaliknya,
pembacaan dekonstruksi tidak perlu menemukan makna terakhir. Yang diperlukan
adalah pembongkaran secara terus-menerus, sebagai proses. Dekonstruksi
dilakukan dengan cara memberikan perhatian terhadap gejala-gejala yang
tersembunyi, sengaja disembunyikan, seperti ketidakbenaran, tokoh sampingan,
perempuan, dan sebagainya (Ratna,
2011:238).
2.3.3 Teori Postrukturalisme Naratologi
Naratologi
adalah bidang ilmu mengenai narasi, studi mengenai bentuk dan fungsi naratif.
Narasi meliputi narasi lisan dan tulisan, sastra dan nonsastra. Meskipun
demikian dalam hubungan ini yang dibicarakan adalah narasi sastra, baik lisan
maupun tulisan. Struktur naratif fiksional adalah rangkaian peristiwa, yang di
dalamnya terkandung unsur-unsur lain, seperti tokoh-tokoh, latar, sudut
pandang, dan sebagainya, dengan hakikat rekaan. Dengan mengatakan bahwa naratif
merupakan rangkaian peristiwa, maka secara definitif dalam sebuah karya
terkandung lebih dari satu peristiwa.
Secara serius
struktur naratif sastra dibicarakan dalam kelompok formalisme, khususnya
mengenai perbedaan antara fabula dan sjuzet, yang dilanjutkan
dalam strukturalisme, dengan masalah utama peranan struktur itu sendiri, dengan
tokoh-tokoh terpenting Vladimir Propp, Claude Levi-Strauss, Tzvetan Todorov,
A.J. Greimas, Rimmon-Kenan, dan Mieke Bal. Postrukturalisme melanjutkannya
dengan menampilkan masalah utama dekonstruksi dan penolakan terhadap unsur
pusat pada umumnya, dengan tokoh-tokoh Gerard Genette, Gerald Prince, Seymour
Chatman, Jonathan Culler, Roland Barthes, Julis Kristeva, Jacques Derrida,
Edward Said, Hayden White, Mary Louise Pratt, Michel Foucault, Jean-Francois
Lytoard, dan Jean Baudrillard. Dengan
hadirnya strukturalisme dan postrukturalisme Gerald Prince (dalam Ratna, 2011:242), teori
dan analisis wacana naratif menyebar hampir ke seluruh dunia, dibicarakan dalam
berbagai disiplin, seperti: filsafat, psikologi, psikoanalitik, semiotika,
cerita rakyat, antropologi, dan pemahaman Injil, khususnya linguistik dan
sastra.
Salah satu
unsur karya dalam struktur naratif yang selalu menjadi pembicaraan hangat
adalah plot. Plot memiliki kesatuan sebagaimana diintroduksi oleh Gustav Freytag bahwa susunan plot yang
normal berbentuk V terbalik, yang terdiri atas empat unsur, yaitu: eksposisi,
introduksi konflik, konflik itu sendiri, dan penyelesaian. Jadi, dalam struktur
naratif, karya diorganisasikan oleh plot. Oleh karena itulah, seni ruang tidak
memiliki plot. Apabila sebuah karya tidak memiliki plot, seperti puisi lirik
atau puisi-puisi non-naratif yang lain, maka karya tersebut diorganisasikan secara tematik.
Makna karya sastra dapat diungkapkan secara maksimal dengan cara menganalisis
wacana dan teks sebagai reproduksi suatu pementasan.
2.3.3.1
Wacana dan Teks
Dalam
Kamus Linguistik Harimurti
Kridalaksana (dalam Ratna, 2011:243), definisi teks
dan wacana hampir sama, keduanya memiliki ciri-ciri sebagai satuan bahasa
terlengkap, satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Realisasinya berbentuk
karangan yang utuh, seperti: paragraf, kalimat yang membawa makna yang lengkap,
buku, artikel di surat kabar, lelucon, seri ensiklopedia, novel, dan genre
sastra yang lain.
Baik
wacana (discourse, diskursus) maupun teks akan menghasilkan pengertian
yang lebih jelas apabila ditelusuri maknanya melalui tradisi sastra Barat.
Secara etimologis wacana berasal dari vacana (Sansekerta), berarti
kata-kata, cara berkata, ucapan, pembicaraan, perintah, dan nasihat. Discourse,
berasal dari kata discurrere (Latin), berarti gerak maju mundur (dari
dan ke). Secara kasar wacana disejajarkan dengan utterance dan speech,
ujaran atau ucapan, sebagai bahasa yang sedang digunakan, parole menurut
pemahaman Saussure. Teks, seperti telah disinggung di depan, berasal dari kata textum
(Latin), yang berarti tenunan, jalinan, susunan.
Wacana
merupakan konsep kunci dalam teori postmodernisme dan postrukturalisme. Wacana
dimanifestasikan dalam keberagaman aktivitas sosial, baik dalam kehidupan
praktis sehari-hari maupun kehidupan formal. Wacana berfungsi untuk
menyampaikan berbagai bentuk informasi, membangun ilmu pengetahuan, meraih
kekuasaan, alih teknologi, dan sebagainya. Wacana dengan demikian sekaligus
berfungsi untuk membentuk objek dan subjek. Wacana lahir dan dimanfaatkan dalam
masyarakat, ruang dan waktu yang berbeda. Oleh karena itulah, sebagaimana
sejarah, wacana tidak bersifat universal, doktrin yang dimanfaatkan oleh
kelompok postrukturalisme untuk menolak narasi besar. Diduga bahwa dalam
perkembangan berikut istilah wacana akan mendominasi bukan saja dalam
pengertian umum tetapi juga sastra.
Strukturalisme
hanya berhasil mengungkapkan makna secara simbolis, sebagai kualitas
ambiguitas, misalnya, dengan menggali kapasitas dikotomis langue dan parole
menurut proposisi Saussurean, atau menggali kekayaan makna melalui ikon,
indeks, dan simbol menurut proposisi Peircean. Paradigma strukturalisme hanya
berhasil menjelaskan kasus-kasus yang terjadi dalam novel arus kesadaran
sebagai manifestasi ketaksadaran Freudian. Sebaliknya, analisis wacana
postrukturalis memahaminya sebagai kebenaran-kebenaran problematis yang
menunjuk pada sifat-sifat manusia secara umum, tetapi dalam struktur
kategorial. Yusuf dalam Belenggu yang seolah-olah berada pada dua tempat
pada saat yang sama, tidak semata-mata dilihat melalui sudut pandang
psikologis, tetapi juga sebagai pergeseran paradigma postrukturalisme, di mana
peranan tokoh-tokoh berubah-ubah sesuai dengan fungsinya. Tokoh utama pada
tataran tertentu berubah menjadi tokoh kedua, ketiga, dan bahkan tidak berperan
sama sekali. Sebagai tokoh problematis tokoh juga mungkin berada pada dua
tempat yang berbeda, baik sebagai konstruksi kembaran maupun cyborg.
Kemampuan
postrukturalis yang terbesar adalah mengungkap hegemoni pengarang sebagai
pembawa kebenaran tunggal yang selama berabad-abad, khususnya selama abad ke-19
menguasai analisis sastra. Karya sastra sebagai gejala yang dinamis juga
ditunjukkan oleh postrukturalisme sebab karya sastra selalu menunjuk pada
(para) pengarang, bukan sebaliknya. Berbeda dengan strukturalisme yang
melepaskan karya sastra dari kerangka historisnya sebab sangat mementingkan
kerangka struktur itu sendiri, postrukturalisme secara terus-menerus mengaitkannya
pada struktur sosial yang menghasilkannya. Postrukturalisme memandang betapa
pentingnya sejarah dan waktu dalam mempermasalahkan bahasa dalam penggunaannya.
Dengan adanya intensitas pada waktu dan latar belakang masyarakatnya, wacana
tidak bersifat universal. Oleh karena wacana tidak bersifat universal, maka
masyarakat pun bukanlah entitas yang monolitik, melainkan plural, meskipun
cenderung bersatu. Menurut paradigma postrukturalisme, wacana atau teks yang
dilepaskan dari kerangka historisnya juga terlepas dari maknanya. Teks naratif
dihasilkan oleh agen, sebagai narator, bukan oleh penulis, penulis justru
ditentukan oleh tulisan. Teks memerlukan pendengar, sebagai subjek, konstruksi
inilah yang menyebabkan analisis postrukturalis sangat digemari dalam studi
multikultural sebab pusat ada di mana-mana, diciptakan kapan saja, sesuai
dengan kemampuan pembaca. Pembaca sama sekali bebas dari kompetensi penulis.
Teks ditulis oleh pembaca, setiap teks merupakan jaringan baru kutipan masa
lalu (Barthes dalam Ratna, 2011:251)
sebab secara etimologis, teks adalah tenunan.
Dengan
adanya penjelasan mengenai naratologi, wacana, dan teks di atas, baik dalam
rangka struktural maupun postruktural, maka menjadi jelaslah hubungan antara
struktur naratif dengan wacana dan teks. Dalam pengertian yang luas struktur
naratif meliputi lisan dan tulisan, sastra dan nonsastra. Pada dasarnya wacana
dan teks memiliki identitas yang sama. Meskipun demikian, wacana merupakan
bagian dan dengan demikian dibicarakan dalam struktur naratif secara
keseluruhan, sedangkan teks dibicarakan dalam struktur naratif sastra. Secara historis
kultural subjek dibentuk melalui wacana (Weedon dalam Ratna,
2011:252) sekaligus mendekonstruksi subjek cogito ergo sum menurut
pemahaman Cartesian. Wacanalah yang membentuk citra mengenai tokoh-tokoh,
tempat-tempat dan waktu kejadian, topik utama, jalinan integral
peristiwa-peristiwa, dan keindahan bahasa, sehingga pembaca dapat mengenalinya
sebagai penokohan, latar, tema, plot, dan stilistika. Sebagai bagian terpenting
struktur naratif, intensitas pengaturan kembali terjadi dalam plot, oleh karena
itulah, plot disejajarkan dengan wacana.
2.3.3.2
Tokoh-tokoh Postrukturalisme
Naratologi
1)
Gerard Genette
Menurut
Genette, histoire adalah perangkat peristiwa, sebagai isi naratif, recit
adalah wacana atau teks naratif itu sendiri, sedangkan narration adalah
tindak naratif yang menghasilkan teks. Dalam histoire terkandung
peristiwa-peristiwa, temporal dan kasual, sebelum disusun ke dalam kalimat.
Dalam recit, sebagai kata-kata yang sudah tertulis, terkandung wacana
naratif, sedangkan dalam narration terkandung hubungan antara penulis
(suara naratif) dengan pembaca.
Menurut Genette (dalam Ratna, 2011:254), untuk membedakan tiga
macam analisis naratif, yaitu: a) analisis pernyataan naratif, dalam kaitannya
dengan serial peristiwa, baik lisan maupun tulisan, b) analisis isi naratif,
dalam kaitannya dengan urutan atau susunan peristiwa, nyata atau fiksi, sebagai
wacana, c) analisis naratif dalam kaitannya dengan peristiwa-peristiwa dalam
cerita. Cara yang pertama memandang karya sebagai hasil kebudayaan, sehingga
yang diteliti adalah keseluruhan aspek dengan melibatkan penulis dan pembaca,
termasuk latar belakang sosial yang menghasilkannya. Penelitian ini sesuai
untuk kajian budaya, sosiologi sastra, dan antropologi sastra. Cara yang kedua
hanya meneliti wacana dan teks. Model penelitian inilah yang dianggap sebagai
objek naratologi strukturalis, dan dengan demikian penelitian inilah yang
dilakukan oleh Genette. Dalam hubungan ini Genette menunjuk beberapa faktor
yang terlibat, yaitu: a) waktu naratif, b) modus naratif, dan c) suara naratif.
Menurut Genette, waktu naratif memiliki tiga ciri, a) urutan, hubungan antara peristiwa-peristiwa
nyata, peristiwa kronologis, dengan peristiwa-peristiwa yang diatur kembali,
sebagai dekronologisasi, b) durasi, yaitu hubungan antara waktu cerita yang
telah berlalu, sebagai waktu cerita dengan waktu pembacaan, sebagai waktu
penceritaan, dan c) frekuensi, yaitu hubungan potensial antara cerita dan
penceritaan, sebagai repetisi. Waktu naratif dan modus naratif dengan demikian
mempermasalahkan hubungan antara cerita dan penceritaan, sedangkan suara
naratif sekaligus membicarakan cerita, penceritaan, dan latar belakang
sosialnya. Cara yang ketiga disebut sebagai analisis tradisional, sebagimana
dilakukan dalam strukturalisme pada umumnya. Unsur-unsur yang dicari adalah
peristiwa-peristiwa, dihubungkan dengan unsur-unsur lain, seperti: tema, tokoh,
plot, latar, dan sebagainya.
2)
Gerald Prince
Tokoh
naratologi postrukturalis berikut adalah Gerald Prince. Gerald Prince (dalam Ratna, 2011:255)
dengan konsepnya yang terpenting adalah narratee, yang pada dasarnya
diambil melalui konsep Gerard Genette. Narratee dianggap sebagai partner
komunikatif narator, individu aktual dalam narasi nonfiksi, tetapi sebagai
konstruk tekstual dalam fiksi. Dalam struktur naratif Princean seolah-olah ada
dua kategori orang pertama, yaitu pengarang dan pencerita. Pasangan pengarang
adalah pembaca (audience), sedangkan pasangan pencerita adalah pendengar
(narratee).
Sebagai
konstruksi orang yang diajak berbicara, sebagai pendengar, narratee
merupakan salah satu cara untuk mendekonstruksi narrator, sekaligus
memberikan fungsi-fungsi yang lebih bermakna terhadap unsur-unsur lain. Menurut
Prince, narasi
yang baik adalah narasi yang terindividualisasikan, artinya berhasil untuk
menampilkan totalitas dari peristiwa-peristiwa yang sebelumnya tak berhubungan.
Narasi yang baik adalah narasi yang terorientasikan sehingga pembaca merasakan prinsip organisasi, dan ingin
membaca sampai selesai. Narasi yang baik dengan sendirinya memiliki kualitas
yang lebih tinggi dari semata-mata sebuah cerita. Dengan diilhami tata bahasa
cerita, dengan menunjukkan tiga ciri-ciri terpenting peristiwa-peristiwa,
yaitu: peristiwa statis yang merepresentasikan suatu keadaan tertentu,
peristiwa aksi yang merepresentasikan aksi tertentu, dan ciri-ciri penghubung
yang meliputi keseluruhan elemen penghubung.
3)
Seymour Chatman
Seymour
Chatman dalam bukunya yang berjudul Story and Discourse: Narrative Structure
in Fiction and Film, yang terbit pertama kali tahun 1978, sesuai dengan
judulnya, bermaksud untuk menjelaskan hakikat struktur naratif dengan dua unsur
pokok yaitu cerita dan wacana. Cerita disebut sebagai isi, sedangkan wacana
disebut sebagai ekspresi. Baik cerita maupun wacana, masing-masing terdiri atas
bentuk dan substansi. Dalam bentuk terkandung motif-motif (events) dan
eksistensi, yang masing-masing berisi aksi dan kejadian (happenings)
serta tokoh dan latar. Dalam substansi terkandung manusia dan benda-benda yang
diekspresikan dengan kode budaya penulis. Demikian juga dalam wacana, terdapat
bentuk dan substansi. Dalam wacana bentuk ekspresi merupakan transmisi struktur
naratif yang dapat dimanifestasikan secara verbal, sinematik, balletik,
pantomimik, dan sebagainya. Sebagai bagian ilmu humaniora dan ilmu sosial,
struktur naratif perlu dipahami melalui konsep struktur seperti dikemukakan
oleh Jean Piaget (dalam Ratna,
2011:257), yaitu kesatuan, transformasi, dan regulasi diri. Naratif perlu
disatukan sebab terdiri atas elemen-elemen yang bersifat tunggal dan diskret.
Sebagai struktur, naratif harus mengalami transformasi sehingga berhasil dalam
mengadakan pengaturan diri.
4)
Jonathan Culler
Menurut Culler (dalam Ratna, 2011:258), secara
umum dapat dikatakan bahwa cerita adalah urutan aksi atau peristiwa, sifatnya
relatif independen terhadap wacana, sedangkan penceritaan, yaitu wacana itu
sendiri adalah peristiwa yang telah disusun kembali, sebagai presentasi atau
narasi diskursif peristiwa-peristiwa.
Culler
memperluas makna kompetensi linguistik ke dalam kompetensi sastra, perangkat
konvensi untuk memahami sastra, genre, dan hukum-hukum untuk memahami
sastra. Konvensi dan tradisi sastra sangat beragam, dari yang paling umum,
seperti perbedaan antara puisi dan prosa, hingga yang paling khusus, seperti
perbedaan antara novel sosiologis dengan novel historis. Sebagai hakikat karya
sastra, keberagaman konvensi, tradisi, dan penampilan sarana-sarana sastra yang
lain harus dipahami oleh pembaca. Penerapan terhadap konvensi yang sama tidak
harus menghasilkan makna yang sama sebab pembacanya berbeda-beda. Konvensi
pemahaman terhadap satu genre tidak dapat diterapkan pada genre yang
lain. Menurut Culler, pemahaman dilakukan dengan cara mengembalikan ciri-ciri
karya ke dalam wilayah pengetahuan pembaca, yang disebut sebagai naturalisasi.
5)
Roland Barthes
Tokoh
naratologi postruktural Perancis yang lain adalah Roland Barthes, lahir di
Perancis (1915-1980). Barthes dikenal sebagai semiolog yang sangat aktif dalam
memanfaatkan teori struktural Saussurean sekitar tahun 1960-an sejajar dengan
Levi-Strauss, Michel Foucault, dan Jacques Lacan. Pada akhirnya Barthes
mengakui bahwa proses pemaknaan tidak terbatas pada bahasa tetapi meliputi
seluruh kehidupan ini, tetapi tetap atas dasar konsep-konsep linguistik,
sebagaimana dilakukannya dalam analisis berbagai gejala masyarakat dalam
bukunya yang berjudul Mythologies.
Menurut
Barthes teks tidak semata-mata untuk dibaca tetapi untuk ditulis. Teks pertama
disebut readerly (lisible) sedangkan teks kedua disebut writterly
(scriptible/rewritten). Meskipun demikian untuk memahaminya harus
secara dialektis. Tujuan karya sastra adalah menjadikan pembaca bukan sebagai
konsumen melainkan sebagai produsen teks. Teks readerly dikategorikan
sebagai teks klasik, tertutup, objek yang selesai. Hanya penulis yang aktif
sedangkan pembaca bersifat pasif. Writterly adalah aktivitas menulis
yang dilakukan oleh pembaca sebab penulis dianggap sebagai anonimitas. Jadi,
menurut Barthes, analisis naratif adalah memahami makna karya dengan menyusun
kembali makna-makna yang tersebar dengan menggunakan suatu cara tertentu.
6)
Mikhail Mikhailovich Bakhtin
Sebagai
salah seorang tokoh postrukturalisme, Mikhail Bakhtin (1895-1975) menolak
strukturalisme Saussurean yang menganggap bahasa sebagai objek penelitian yang
statis, monologis, dan terisolasi. Menurut Bakhtin (dalam Selden dalam Ratna, 2011:262)
bahasa adalah gejala sosial, kata-kata merupakan tanda-tanda kemasyarakatan
yang aktif dan dinamis sehingga dapat menampilkan arti dan konotasi yang
bermacam-macam untuk kelas-kelas yang berbeda-beda. Bakhtin tidak memandang karya
sastra sebagai refleksi masyarakat secara langsung, melainkan bagaimana
dinamika bahasa dinyatakan dalam tradisi sastra tertentu. Ia tidak semata-mata
membicarakan cara-cara teks dalam merefleksikan masyarakat, tetapi bagaimana
bahasa mengganggu otoritas sosiokultural sehingga perkembanganbiakan makna
dapat dipertahankan.
7)
Hayden White
Berbeda
dengan tokoh-tokoh lain, White memahami teks melalui perspektif sejarah.
Bukunya yang sangat representatif dalam hubungan ini berjudul Tropics of
Discourse: Essays in Cultural Criticism, terbit pertama kali tahun 1978.
Hubungan antara sastra dan sejarah sangat dekat. Hubungan yang dimaksudkan
lebih banyak bersifat interdependensi, bukan berlawanan secara diametral,
sebagai semata-mata fiksi dan fakta, seperti diduga banyak orang. Dalam
teori-teori postrukturalisme, sebagaimana akan tampak melalui pemahaman White,
batas pemisah antara kedua disiplin justru menjadi makin kabur. Kedekatan
hubungan yang dimaksud paling sedikit dapat diidentifikasi melalui lima faktor,
yaitu: a) medium utama sastra dan sejarah adalah bahasa, b) sastra ternyata
menampilkan genre yang berkaitan dengan sejarah, seperti sastra sejarah,
novel sejarah, c) sastra dan sejarah memanfaatkan cerita dan tokoh-tokoh
sebagai unsur utama, d) validitas sastra dan sejarah terkandung dalam keyakinan
validitas fakta masa lampau, dan e) sama dengan sejarah, visi sastra
kontemporer memandang masa lampau, misalnya, struktur arketipe, sebagai energi
kreativitas.
Menurut
White, plot dalam sejarah berbeda dengan plot dalam karya sastra. Meskipun
demikian, plot telah diinvestasikan sedemikian rupa dalam suatu struktur
naratif, dan dengan demikian telah berpengaruh terhadap keseluruhan wacana.
8)
Mary Louise Pratt
Mary
Louise Pratt dimasukkan sebagai tokoh postrukturalisme naratologi dalam
kaitannya dengan teori-teori tindak kata (speech act theory). Teori
tindak kata sesungguhnya sudah berkembang pada periode 1930-an, melalui J.L.
Austin, yang kemudian diikuti oleh Searle. Pratt mengemukakan argumentasinya melalui
sudut pandang sosiolinguistik, melalui bukunya yang berjudul Toward a Speech
Act Theory of Literary Discourse, terbit pertama kali tahun 1977. Seperti
tokoh-tokoh postrukturalisme yang lain Pratt (dalam Ratna, 2011:269) menolak
strukturalisme, khususnya fungsi puitika Jakobson yang dianggap terlalu berat
sebelah. Atas dasar sosiolinguistik, maka wacana harus dipahami sebagai
pemakaian bahasa tertentu, bukan ragam bahasa tertentu. Sesuai dengan definisi
wacana yang telah disepakati secara umum, maka tidak ada bahasa yang khas, yang
ada adalah pemakaian bahasa yang khas.
Ciri
khas Pratt adalah teori sastra yang ‘tergantung pada konteks’, pemahaman
terhadap karya sastra dengan cara mengaitkannya dengan struktur sosial secara
luas. Pratt (dalam Ratna, 2011:270)
menunjukkan empat ciri terpenting komunikasi kesastraan, yaitu: a) pembaca
sebagai audiensi, pembaca yang sudah diberikan hak untuk bertanya dan menjawab,
b) pembaca sebagai konvensi definitif, pembaca tahu bahwa yang dibaca adalah
sastra, c) prinsip-prinsip koperatif dan aturan-aturannya dalam percakapan, dan
d) karya sastra sebagai assertability dan tellability,
popularitas karya sastra sebagai akibat daya tarik pesan-pesan yang terkandung
di dalamnya.
9)
Jacques-Marie Emile Lacan
Atas
dasar teori struktur ketaksadaran psikologis Freudian dan strukturalisme bahasa
Saussurean, Lacan (1901-1981) membangun teori psikologi dalam kaitannya dengan
bahasa dan sastra, sekaligus mengembangkannya dalam paradigma postrukturalisme.
Oleh karena itulah, dikatakan bahwa di satu pihak, perbedaan pokok antara teori
Freud dengan Lacan adalah Freud memandang Ego sebagai unsur yang
terpenting, sedangkan menurut Lacan unsur yang terpenting adalah bahasa. Di
pihak yang lain perbedaan pokok antara teori Saussure dengan Lacan, seperti
halnya ciri-ciri umum teori postrukturalisme terletak dalam hubungan antara
penanda dan petanda.
Menurut
Lacan, pada fase pra-Oedipal atau imajinerlah terbentuk bahasa. Lacan
menyebutkan sebagai fase cermin, di mana Ego menemukan dirinya sekaligus
bukan dirinya sehingga terjadi kekaburan di antara subjek dan objek. Menurut
Lacan (dalam Eagleton dalam Ratna, 2011:273)
fase cermin juga dapat diidentifikasi sebagai perbedaan antara penanda dan
petanda, atau sebagai metafora, objek yang serupa dengan dirinya. Kesadaran
akan adanya perbedaan seksual (phallus) juga terjadi pada fase imajiner sebab
perbedaan terjadi sebagai akibat hakikat bahasa. Menurut Lacan (dalam Sarup dalam Ratna, 2011:273) tidak ada pemahaman biologis sebelum adanya bahasa. Lacan dengan
demikian juga menolak argumentasi psikolog-ego Amerika seperti Pavlov dan
Skinner, demikian juga psikolog-ego Amerika seperti Fromm dan Horney. Atas
dasar pemahaman di ataslah maka Lacan dimasukkan sebagai tokoh naratologi
postrukturalis dengan pertimbangan bahwa psikoanalitik, dalam hubungan ini
ketaksadaran merupakan wilayah kunci baik terhadap bahasa sebagai model pertama
maupun sastra sebagai model kedua.
Postrukturalisme
tidak bermaksud untuk melibatkan diri dalam memecahkan masalah-masalah hegemoni
politik tetapi dapat menyumbangkan pikiran dalam memecahkan struktur bahasa.
Menurut Lacan, individu, demikian juga bahasa tidak terpisah dengan masyarakat,
manusia memperoleh sifat-sifat sosial melalui bahasa sebab bahasalah yang membentuk
manusia menjadi subjek. Seperti halnya teori postrukturalisme yang dibangun
dengan menemukan kelemahan-kelemahan strukturalisme, psikologi Lacan dibangun
atas dasar kelemahan-kelemahan teori Freud. Sebagai salah seorang pelopor
postrukturalis Lacan juga berjasa dalam memberikan nilai baru terhadap kualitas
subjektivitas. Dalam hubungan ini Lacan menggabungkan antara fenomenologi
Husserlian dengan strukturalisme Saussurean. Fenomenologi menyediakan konsep
diri, subjek yang bebas, segala sesuatu yang menampakkan diri dalam dirinya
sendiri, sedangkan strukturalisme menyediakan determinisme bahasa. Oleh karena
itulah, meskipun Lacan (dalam Sarup dalam Ratna, 2011:274) menggunakan
prinsip strukturalisme tetapi Lacan tidak menyangkal kehadiran subjek. Menurut Lacan, yang dimaksudkan
dengan subjek adalah subjek dari penanda-penanda. Penanda selalu terpisah dari
petanda, dan memiliki otonomi yang nyata, maka tidak ada penanda yang sampai
pada yang ditandakan. Realitas penanda adalah simbol, makna, representasi, dan
segala macam citra yang lain. Dalam hubungan inilah terbentuk (para) subjek.
10)
Michel Foucault
Menurut
Foucault (dalam Ratna, 2011:280),
kajian wacana disebut ‘arkeologi’, bukan sejarah. Arkeologi adalah prinsip
tentang arsip itu sendiri, yaitu sebagai kumpulan peristiwa yang diucapkan,
disusun, diulang, dimanfaatkan kembali, ditransformasikan di dalam kebudayaan.
Arsip terdiri atas peristiwa, pernyataan, peggunaan ruang, arsip juga memiliki
aturan, kondisi, fungsi, dan akibat-akibat tersendiri.
Berbeda
dengan paradigma modernis, subjek dan wacana berada dalam kualitas
interdependensi. Subjek berada dalam posisi sosial wacana, subjek sebagai agen
sosial, tetapi bukan dalam pengertian subjek Cartesian. Sebaliknya, wacana
maupun subjek bebas dari dominasi narasi-narasi besar. Wacana jelas memiliki
relevansi dalam seluruh kehidupan manusia baik kehidupan praktis sehari-hari,
maupun kehidupan formal, misalnya, dalam tradisi ilmu pengetahuan. Wacana
dengan demikian merupakan pusat aktivitas tetapi tidak bersifat universal.
Karya sastra, sesuai dengan entitasnya, khususnya kritik sastra, adalah ilmu
pengetahuan. Wacana dapat dianalisis dalam kaitannya dengan posisi subjek,
seperti pengarang, penerbit, pembaca sebagai konsumen, dan audiens pada
umumnya. Menurut Foucault, objek kajian sastra bukan lagi bahasa formal, sebab
bahasa merupakan wilayah kajian ilmu bahasa, melainkan arsip, yang
dideskripsikan secara arkeologis. Dalam hubungan inilah, penelitian dibedakan
menjadi dua bagian, yaitu: a) arsip itu sendiri, misalnya: naskah atau karya
dalam berbagai jenisnya, penerbit, badan sensor, patron, iklan, pasar,
perpustakaan, media massa, dan sebagainya, dan b) kandungan naskah, kritik dan
esai, dan berbagai jenis penilaian lain. Dalam hubungan ini pulalah tampak peranan
kritik sastra dalam studi kultural, misalnya, mengapa pada periode tertentu
yang lahir adalah jenis karya tertentu.
Sebagai
analisis postrukturalis, Foucault (dalam Sarup dalam Ratna, 2011:281)
tidak mengkaji objek dalam kerangka struktur tanda tetapi genealogi realsi
kekuasaan. Foucault juga tidak memusatkan perhatian pada pencarian asal-usul
sebagaimana dipahami dalam tradisi intelektual konvensional, pada penelusuran
fakta-fakta tertentu, tetapi hubungan-hubungan kekuasaan yang ada di balik gejala
yang menjadi objeknya. Konsekuensi logis yang ditimbulkannya adalah penemuan
pada wacana marginal, bukan pusat.
Genealogi
postrukturalisme menolak asal-usul menurut pemahaman konvensional sebab
asal-usul muncul dari keyakinan bahwa yang esensial adalah pada saat
dilahirkan. Apabila wacana
dianggap sebagai ruang multidimensi dan multipersimpangan, maka tugas arkeologi
adalah memetakannya, mengkomparasikan kontradiksi-kontradiksi. Jadi, secara
inheren arkeologi adalah interdiskursif. Wacana dalam membentuk suatu sains dan
disiplin, bukan berdasarkan subjek manusia atau pengarang tetapi dari aturan
diskursif dasar dan praktik yang masih ada pada saat itu. Hal ini sejajar
dengan postrukturalisme pada umumnya yang menolak subjek modernitas dan subjek
antropologis, khususnya subjek abad ke-19. Foucault (dalam Ritzer dalam Ratna, 2011:283) menggambarkan
lima tahap proses untuk menganalisis peristiwa diskursif, sebagai berikut.
1.
Memahami pernyataan menurut kejadian yang sangat khas.
2.
Menentukan kondisi keberadaannya.
3.
Menentukan sekurang-kurangnya limitnya.
4.
Membuat korelasinya dengan pernyataan yang lain yang mungkin
terkait dengannya.
5.
Menunjukkan apa bentuk lain pernyataan yang ia keluarkan.
Selain
kekuasaan, konsep penting Foucault adalah seksualitas dan kegilaan. Sesuai
dengan dominasi ideologis Foucault terhadap kekuasaan, maka seksualitas dan
kegilaan pun dibicarakannya dalam kaitannya dengan pencapaian kekuasaan.
Kekuasaan tidak semata-mata berkaitan dengan represi, melainkan juga dengan
kesenangan. Artinya, ada hubungan saling menguntungkan antara dua mekanisme
wacana, yaitu wacana kekuasaan dengan wacana kenikmatan. Wilayah penelitian
Foucault sangat luas, yaitu: a) abad ke-17 dan sesudah Masehi.
11)
Jean-Francois Lyotard
Di
antara tokoh-tokoh postrukturalisme, Lyotard-lah yang paling serius menampilkan
argumentasi mengenai narasi-narasi besar. Seperti diketahui, Lyotard dan
kelompok postmodernisme pada umumnya, di satu pihak sangat mencurigai Hegel dan
Marx karena Hegel berusaha menciptakan rasio subjek absolut, sedangkan Marxisme
berusaha menciptakan masyarakat homogen, masyarakat yang hanya diwujudkan
melalui kekerasan. Di pihak lain Lyotard juga menolak definisi masyarakat
sebagai kesatuan organis (Durkheim), kesatuan fungsional (Parsons), dan dengan sendirinya kesatuan yang tersusun atas kekuatan
kontradiktif (Marx). Secara ringkas, menurut Lyotard (dalam Sarup dalam Ratna, 2011:285) narasai besar
buruk, narasi kecil baik. Narasi menjadi buruk apabila berubah menjadi filsafat
sejarah, dikaitkan dengan kepentingan politik, termasuk kepentingan manusia
dengan dalih universal, bahkan agama, sehingga mengurbankan kepentingan
kelompok minoritas. Narasi kecil mengembalikan politik pada individu, sekaligus
membebaskan manusia dari hegemoni ideologi. Dalam hubungan inilah postmodern
menjadi identik dengan kritik terhadap ilmu pengetahuan modern yang bersifat
universal, yang ada adalah berbagai macam penalaran.
Sebagai
tokoh postmodernisme, pokok aliran Lyotard adalah hilangnya kepercayaan
terhadap metanarasi, narasi besar, ilmu pengetahuan yang diukur berdasarkan
narasi di luar kompetensinya. Lyotard (dalam Ritzer ; Sarup dalam Ratna, 2011:286) mengidentifikasi dua metanarasi, yaitu: a) metanarasi saintifik
spekulatif, pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri, semacam ‘seni untuk seni
dalam sastra’, dan b) metanarasi emansipasi, pengetahuan bagi subjek manusia
yang berupaya menemukan kebebasan. Menurut paradigma postmodernisme kedua
metanarasi belum berhasil membawa manusia pada kebahagiaan sebagaimana dijanjikan.
Oleh karena itulah, menurut Lyotard prefiks ‘post’ baik dalam postmodernisme
maupun postrukturalisme diisyaratkan memiliki paling sedikit tiga fungsi,
yaitu: a) mengingatkan kembali terhadap kekeliruan masa lampau (anamnesis),
b) menciptakan citra yang terdistorsi (anamorfosis), c) melakukan
interpretasi mistis (anagogi).
Konsep
yang dikemukakan oleh Lyotard adalah differend, sesuai dengan judul
bukunya, The Different: Phrases in Dispute (Lechte dalam Ratna, 2011:287). Sesuai dengan ciri umum postrukturalisme, yaitu perbedaan,
sebagaimana Derrida dengan konsepnya yang terkenal yaitu difference/differance, Lyotard menjelaskan differend sebagai
manifestasi rezim frase dan genre wacana, di mana setiap rezim memiliki aturan
tersendiri, mewakili semesta masing-masing, sehingga tidak dimungkinkan
terjadinya semesta tunggal. Argumentasi Lyotard tidak berhenti sebagai bahan
kajian wacana dalam kaitannya dengan bahasa, melainkan memiliki implikasi yang
jauh lebih luas.
Konsep yang juga sering dikemukakan oleh Lyotard
adalah fragmensi. Dengan menolak totalitas, maka secara tidak langsung Lyotard
(dalam Sarup dalam Ratna, 2011:288) mengintroduksi konsep fragmentasi, yaitu
permainan bahasa, waktu, subjek manusia, dan masyarakat itu sendiri.
12)
Jean Baudrillard
Sebagai
salah seorang tokoh postrukturalisme, konsep-konsep dasar Baudrillard (dalam Ritzer dalam Ratna, 2011:290)
dipengaruhi oleh semiotika, psikoanalitik, dan Marxisme. Baudrillard menjadi
terkenal karena ia mengembangkan teorinya dalam kaitannya dengan komunikasi
massa. Dalam kaitannya dengan masyarakat konsumen, misalnya, Baudrillard
bertolak dari pendapat Marx yang menyatakan bahwa metafora kapitalisme,
masyrakat yang didominasi oleh produksi, perbedaan nilai guna dan nilai tukar
dianggap sangat menetukan. Nilai guna berhubungan dengan pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan tertentu, sedangkan nilai tukar berhubungan dengan produksi
di pasar atau harga objek yang bersangkutan. Kekhasan Baudrillard (dalam Sarup dalam Ratna, 2011:281)
adalah usahanya dalam mengembangkan teori produksi dengan memusatkan perhatian
pada masalah konsumsi yang didasarkan atas semiotika (Ratna, 2011:240—290).
2.4 Cara Penerapan Teori
Ada
dua tahap dalam menelaah karya sastra dengan menggunakan teori postrukturalisme.
Berikut tahap-tahap dalam menerapkan teori tersebut.
1.
Mendaftar semua (struktur) yang terdapat pada karya yang ditelaah
dan meletakkan semua unsur tersebut pada kedudukan yang sama. Setiap unsur
dipahami secara terpisah. Dengan demikian, tidak ada satu unsur pun yang
dianggap tidak penting atau tidak mempunyai peranan.
2.
Unsur-unsur yang telah
dipahami dihubungkan dengan unsur lainnya dalam upaya untuk mengetahui apakah
unsur-unsur tersebut merupakan satu jaringan, baik jaringan antar semua unsur
(jaringan X) atau merupakan satu jaringan dengan unsur lainnya (jaringan X
dengan Y).
Berdasarkan
dua tahap tersebut, jelaslah bahwa esensi pemaknaan sebuah karya sastra data
muncul dari hubungan antarstruktur dan unsur di luar struktur. Unsur di luar
struktur yang dimaksud seperti kode budaya dan juga hal-hal lainnya yang
mempengaruhi penciptaan karya sastra tersebut.
Selain
menghubungkan dengan unsur di luar struktur, menurut postrukturalisme, memahami
sebuah karya sastra itu bebas, boleh dari sisi mana saja, karena tidak terikat
dengan struktur. Dengan demikian, kajian postrukturalisme ini juga akan
melupakan struktur sebuah karya sastra dengan melakukan dekonstruksi terhadap
karya sastra tersebut. Karena tidak menghiraukan
struktur, bahkan melupakan struktur dengan melakukan dekonstruksi terhadap
sebuah karya, maka ciri khas dari postrukturalisme adalah ketidakmantapan teks.
Artinya, makna karya ditentukan oleh apa yang dilakukan oleh teks,
bukan apa yang dimaksudkan teks tersebut. Dengan demikian, terjadi pergeseran
dari penerima menjadi pencipta. Makna teks bergantung pada konteks, interaksi
pada pembaca, teks tidak tertutup, tetapi terbuka secara terus-menerus
berinteraksi ke luar dirinya.
2.5 Contoh Kajian
Contoh pencarian esensi makna pada
karya sastra Indonesia dengan teori postrukturalisme dapat dilihat pada puisi-puisi
Goenawan Mohamad yang terkumpul dalam buku Sajak-sajak Lengkap 1961-2001,
seperti “Parikesit, Dongeng Sebelum Tidur, Asmaradana, Gatoloco”. Dalam
memahami puisi-puisi Goenawan Mohamad tersebut, tidak mungkin dapat diketahui
esensi puisinya jika hanya melihat struktur bahasa yang dituangkan. Bahwa dalam
mengetahui esensi makna puisi Goenawan Mohamad paling tidak diperlukan
pemahaman kode budaya, khususnya yang berkaitan dengan dunia pewayangan ataupun
tembang Macapat. Salah satunya ada dalam puisi “Asmaradana” berikut.
Asmaradana
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan
dari daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah
pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Tapi di
antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.
Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia
melihat peta, nasib,
perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.
perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.
Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab
bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan
mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani
lagi.
mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani
lagi.
Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.
1971
Dalam memahami esensi makna pada puisi tersebut tentu saja perlu kita
kaitkan dengan unsur lainnya di luar unsur struktur teks (unsur X) yaitu unsur
di luar teks seperti kode budaya ataupun hubungan antar teks (unsur Y). Terry
Eagleton (2010:199) menyatakan bahwa semua teks sastra dirajut dari teks-teks
sastra lain, bukan dalam pengertian konvensional yang di dalamnya terkandung
jejak “pengaruh” teks-teks lain, tetapi dalam pengertian yang lebih radikal
bahwa setiap kata, frasa, atau segmen merupakan pengerjaan ulang dari
tulisan-tulisan lain yang mendahului atau mengelilingi karya individual. Tidak ada yang namanya “keaslian”
sastra, tidak ada karya sastra “pertama”: semua kesusastraan bersifat
“intertekstual”.
Puisi tersebut tentu tidak dapat
dilepaskan dengan tembang Asmaradana, tembang macapat dari Jawa yang biasanya
ditujukan untuk pemuda atau pemudi dalam masa pertumbuhan. Untuk sampai pada
pengertian tersebut, kita tentu harus mengetahui tentang tembang Asmaradana
yang dalam tembang macapat Jawa ini mengisahkan tentang cinta Damarwulan dan
Anjasmara (unsur Y). Jika unsur X tersebut dikaitkan dengan unsur Y, barulah
dapat dimengerti bahwa puisi ini bercerita tentang kisah asmara Damarwulan dan
Anjasmara. Goenawan Mohamad memang tidak mengambil keseluruhan cerita dalam
puisi tersebut. Ia bahkan tidak menyebut-nyebut nama Damarwulan di dalam
puisinya. Ia hanya mengambil satu momen yang dianggap penting dalam cerita itu, momen tentang
perpisahan Damarwulan dan Anjasmara. Dalam cerita rakyat Jawa dikisahkan bahwa
Damarwulan harus pergi meninggalkan Anjasmara karena mendapat perintah dari
Ratu Kencana Wungu untuk mengalahkan Menak Jinggo yang dianggap memberontak
kepada Majapahit. Di situlah awal
perpisahan Damarwulan dengan Anjasmara, Putri Patih Loh Gender yang begitu
mencintainya. Damarwulan berhasil mengalahkan Menak Jinggo dan sekaligus
memboyong Waeta dan Puyengan, selir Menak Jinggo. Dan pada akhirnya Damarwulan
mempersunting Ratu Kencana Wungu. Goenawan Mohamad menggambarkan perpisahan
tersebut secara tegas dan dengan nuansa yang sedikit melankoli seperti dalam
kutipan berikut.
...
Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.
1971
Dengan model telaah postrukturalisme
dapat disimpulkan bahwa dalam proses pemahaman dan pemaknaan unsur struktur (X)
ternyata tidak mampu mewadahi konsep secara menyeluruh. Unsur tersebut masih
harus dihubungkan dengan unsur lain yang terdapat di luar teks. Model inilah
yang dikembangkan aliran postrukturalisme sebagai bagian dari kritiknya terhadap
srukturalisme. Contoh kajian karya sastra lainnya dengan menggunakan teori
postrukturalisme sebagai berikut.
Pada Suatu Pagi Hari
Karya: Sapardi Djoko Damono
Maka pada suatu pagi hari
ia ingin
sekali menangis
sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu
Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong
sepi
agar ia bisa berjalan sendiri saja
sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa
Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak
mengamuk
memecahkan cermin membakar tempat tidur
Ia hanya ingin menangis lirih saja
sambil berjalan sendiri
dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu
pagi.
1973
Dengan menggunakan teori postrukturalisme
berdasarkan analisis sudut pandang pembaca, puisi “Pada Suatu Pagi Hari” karya
Sapardi Djoko Damono sangat menyentuh hati dan menarik pembaca untuk membaca
puisi tersebut. Dalam puisi ini seolah-olah penyair menggambarkan seseorang
yang terlihat sedih dan ingin menumpahkan kesedihannya dalam tangisan di bawah rintikan hujan agar tidak ada
satupun yang tau.
Bagi pembaca, hal yang menarik dalam puisi tersebut terdapat dalam petikan “ia hanya ingin menangis lirih
saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada
suatu pagi”. Petikan tersebut bagi pembaca sangat menarik karena, penyair
menggambarkan seseorang yang sangat tegar, ia merasakan sedih, ingin menangis.
Namun, ia juga masih mempedulikan harga dirinya agar ketika
ia menangis tidak ada orang lain yang mengetahuinya sehingga ia menunggu
rintikan hujan.
Nilai positif dari puisi tersebut
menurut pembaca adalah tentang ketegaran karena pada puisi ini mengajarkan kita
untuk tetap tegar ketika kita menghadapi suatu masalah bahkan dalam puisi ini
sebisa mungkin penulis menutupi masalah itu kepada orang banyak.
Setelah pembaca membaca dan
menganalisis puisi tersebut. Pembaca berpendapat bahwa puisi tersebut dapat
direkomendasikan untuk dibaca oleh semua kalangan khususnya pelajar dan mahasiswa.
Karena dalam puisi tersebut mengandung amanat yang disampaikan oleh penyair
untuk pembaca yang dapat dijadikan sebuah pembelajaran hidup bagi pembacanya.
Dan puisi tersebut dapat menjadi sebuah pembelajaran agar dapat mengkritik
karya sastra dengan baik berdasarkan unsur-unsur puisi yang ada.
3.
PENUTUP
3.1 Simpulan
Postrukturalisme
berkembang sejajar dengan postmodernisme, dengan tujuan yang relatif sama,
tetapi dengan tradisi dan latar belakang sosial yang berbeda. Postrukturalisme lahir
sebagai akibat stagnasi strukturalisme, sedangkan postmodernisme lahir sebagai
akibat jalan buntu modernisme. Postrukturalisme dan postmodernisme adalah
kelanjutan strukturalisme dan modernisme.
Kondisi
sosial yang dianggap sebagai pemicu lahirnya postmodernisme dan
postrukturalisme adalah gerakan mahasiswa yang terjadi di Perancis tahun 1968.
Postrukturalisme merupakan produk dari pencampuran euforia dan
ketidakpercayaan, pembebasan dan pembubaran, karnaval dan bencana, pada tahun
1968.
Ciri-ciri teori
postmodernisme dan postrukturalisme adalah penolakan terhadap adanya satu
pusat, kemutlakan, narasi-narasi besar, metanarasi, dan gerak sejarah yang
monolinier. Postrukturalisme menolak sistem pemikiran tunggal, sedangkan postmodernisme mensubversi univormitas, homogenitas, dan
totalitas dengan memberikan intensitas pada perbedaan-perbedaan, relativitas,
dan pluralisme. Di dalam teori postukturalisme terdapat teori-teori yang masuk
ke dalam ranah kelompok postrukturalisme. Teori-teori tersebut yaitu teori
resepsi, teori interteks, teori feminis, teori postkolonial, dan dekonstruksi.
Ada dua tahap
dalam menelaah karya sastra dengan menggunakan teori postrukturalisme. Pertama, mendaftar semua (struktur) yang terdapat
pada karya yang ditelaah dan meletakkan unsur tersebut pada kedudukan yang
sama. Kedua, unsur-unsur yang telah
dipahami dihubungkan dengan unsur lainnya.
DAFTAR
RUJUKAN
Eagleton, T. 2010. Teori
Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.
Harland, R. 2006. Superstrukturalisme:
Pengantar Komprehensif kepada Semiotika, Strukturalisme, dan Postrukturalisme.
Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.
Luxemburg, J. V.,
Bal, M. & Weststijn, W. G. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta:
Gramedia.
Luxemburg, J. V.,
Bal, M. & Weststijn, W. G. 1989. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa.
Ratna, N. K. 2005. Sastra
dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ratna, N. K. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiharto, Bambang. 1996. Postmodenisme : Tantangan Bagi Filsafat. Jakarta: Kanisius.
Teeuw, A. 1984. Sastra
dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar