TEORI DEKONSTRUKSI
(Jacques Derrida)
OLEH
Jose DA
Conceicao Verdial
1. Pendahuluan
Sebagaimana
kita ketahui sastra tidak bisa kita lepaskan dari kehidupan kita. Semenjak kita
masih balita, kita telah mengenal yang namanya sastra yaitu berupa
dongeng-dongeng yang diceritakan oleh orang tua kita. Seiring berjalannya waktu sastra
pun semakin kita kenal dan tidak hanya berupa dongeng, melainkan bentuk sastra
lainnya seperti puisi, cerpen, novel ataupun film yang bisa digolongkan pada
jenis karya sastra puisi, prosa, dan drama.
Kita sebagai
mahasiswa apalagi jurusan bahasa dan sastra Indonesia tentunya telah banyak
karya sastra yang telah kita baca ataupun kita buat sendiri. Namun dalam
membaca teks karya sastra, kita masih berpandangan satu arah dengan mengikuti
pendapat atau simpulan yang telah dikonvensionalkan serta cepat menyimpulkan
pemaknaan cerita dengan hanya membaca dan mentelaah teks secara umum saja. Kita
pada saat ini telah berada pada masa postmodernisasi, pandangan-pandangan
seperti diatas tidak diinginkan dalam sastra. Pada masa ini kita dituntut untuk
lebih kritis dalam membaca karya sastra, sehingga muncullah metode-metode
pembacaan teks seperti dekonstruksi.
Dekonstruksi
menolak pandangan bahwa bahasa memiliki makna yang pasti, tertentu, dan konstan sebagaimana halnya pandangan
strukturalisme klasik. Tidak ada ungakapn atau bentuk-bentuk kebahasaan yang
bermkana tertentu dan pasti. Hal ini yang menjadikan paham dekonstruksi sebagai
poststrukturalisme.
Dengan
menggunakan metode dekonstruksi dalam membaca teks diharapkan kita bisa melihat
fakta-fakta lain dalam teks karya sastra. Sehingga tidak ada kemutlakan dalam
memaknai karya sastra dan menghilangkan anggapan-anggapan yang absolut serta
menemukan hal-hal baru yang pada awalnya terabaikan.
2. Dekontruksi
Dalam bidang
filsafat maupun sastra, dekonstruksi termasuk salah satu teori yang sangat
sulit untuk dipahami. Dibandingkan dengan teori-teori postrukturalisme pada
umumnya, secara definitif perbedaan sekaligus ciri khas dekonstruksi
sebagaimana dikemukakan oleh Derrida (1976) adalah penolakannya terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang
secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lainnya yang
bersifat hierarkis dikotomis. Konsep dekontruksi (Selden, 1986:84) mulai
dikenal sejak Derrida membawakan makalahnya yang berjudul “Structure, sign, and play in the discourse of the human sciences
“,di universitas Johns Hopkins tahun 1966.
Dekonstruksi
berasal dari kata de + construktio
(latin). Pada umumnya de berarti ke bawah, pengurangan, atau
terlepas dari. Sedangkan kata Construktio
berarti bentuk, susunan, hal menyusun, hal mengatur. Dekonstruksi dapat
diartikan sebagai pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah
tersusun, sebagai bentuk yang sudah baku. Kristeva (1980:36-37), misalnya,
menjelaskan bahwa dekonstruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan
konstruktif. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi.
Dekonstruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua
pernyataan kultural sebab keseluruhannya pernyataan tersebut adalah teks yang
dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran,
dan tujuan-tujuan tertentu. Dekonstruksi dengan demikian tidak terbatas hanya
melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga
kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat wacana.
Menurut Al-fayyadl (2011: 232) dekonstruksi adalah testimoni terbuka kepada
mereka yang kalah, mereka yang terpinggirkan oleh stabilitas rezim bernama
pengarang. Maka, sebuah dekonstruksi adalah gerak perjalanan menuju hidup itu
sendiri.
Memahami
dekonstruksi bukan sesuatu yang mudah. Ini terkait pengartian yang sering
keliru. Banyak orang mengartikan dekonstruksi sebagai pembongkaran sesuatu yang
sudah mapan. Ini memang tidak dapat dikatakan salah sepenuhnya. Tetapi, ini
juga tidak dapat dikatakan benar. Strategi dekonstruksi dalam membongkar suatu
teks bukan hanya menciptakan makna baru.
Bagi
Derrida, dekonstruksi adalah sebuah strategi filsafat, politik, dan intelektual
untuk membongkar modus membaca dan menginterpretasi yang mendominasi dan
menguatkan fondamen hierarki. Dengan demikian, dekonstruksi merupakan strategi
untuk menguliti lapisan-lapisan makna yang terdapat di dalam teks yang selama
ini sudah mapan.
3. Problematika Dekontruksi
Jacques
Derrida merupakan seorang keturunan Yahudi yang lahir di El-Biar, sekitar
Aljazair, pada tahun 1930. Ia pernah belajar di Ecole Normale Superieure (ENS), hingga akhirnya menjadi dosen tetap
di lembaga tersebut pada 1967-1992. Derrida merupakan seorang pemikir yang
kritis terhadap filsafat modern dan berbagai karya sastra tapi ia sendiri
menolak disebut sebagai filsuf atau sastrawan.
Derrida
tertarik untuk mengkritik filsafat modern karena filsafat modern identik dengan
pandangan metafisika being (kehadiran)
dan Logosentrisme (percaya pada
rasio). Metafisika kehadiran menjelaskan bahwa suatu konsep atau teori akan
dibenarkan jika sudah mewakili “being” (ada). Sesuatu yang “ada” itu bisa
terwakili oleh kata dan tanda. Derrida memiliki penolakan terhadapa pandangan
tersebut, menurutnya kata, tanda, dan konsep bukanlah kenyataan yang
menghadirkan “ada” melainkan hanya berupa “trace” (bekas). Baginya, sesuatu
yang “ada” bersifat majemuk, tak berstruktur, dan tak bersistem, hingga tak
bisa sekonyong-konyong dibenarkan melalui kata, tanda, dan konsep tunggal. Maka
metafisika kehadiran atau biasa disebut metafisika modern tersebut harus
dibongkar (dekonstruksi) untuk menemukan solusi atas permasalahan modernitas.
Para filsuf
barat acapakali mengunggulkan “Logosentrisme”.
Tradisi Logosentrisme menonjolkan
kecenderungan berpikir binner dan hirarkis. Logosentrisme
menganggap bahwa yang pertama merupakan sumber (pusat) kebenaran, sedangkan
yang berikutnya adalah kebenaran pinggiran dan selalu menjadi hal marjinal bila
dibandingkan dengan konsep awal (pertama). Apalagi Logosentrisme identik dengan konsep totalitas dan konsep esensi.
Konsep totalitas menyatakan bahwa kebenaran adalah satu. Sedangkan konsep
esensi menyatakan tentang dasar sesuatu pada pengetahuan. Kedua konsep
tersebut, baik totalitas maupun esensi bisa menjadi konsep-konsep yang memaksa
atas adanya sesuatu pengetahuan dan melegitimasi kekuasaan berdasarkan rasio
dan pengetahuan. Logosentrisme
seringkali menjadi pandangan bagi pemikiran modern yang menimbulkan dikotomi
subyek-obyek. Subyek bisa sepuasnya mengeksploitasi obyek dan menentukan
validitas kebenrannya terhadap obyek. Kebenaran ini seringkali dicirikan dengan
kebenaran tunggal, absolut, dan universal.
Derrida
menyatakan bahwa filsafat yang cenderung mencari kebenaran absolut acapkali
meninggalkan pengertian bahasa dalam menyusun konsep dan teori. Filsafat
menyatakan bahwa kebenaran dan teori mampu merepresentasikan kebenaran apa
adanaya. Derrida menginginkana kebenaran tidak mesti tunggal, absolut, dan
universal. Oleh karenanya Derrida selalu bergairah untuk mendekonstruksi
pemikiran modern. Proyek dekonstruksinya diawali dengan memusatkan perhatiannya
pada bahasa karena ide, gagasan, dan konsep diungkapkan melalui bahasa. Dalam
bahasa terdapat prioritas dan kepentingan. Pandangan modern menunjukkan bahwa
kata pertama menjadi fondasi, prinsip, dan dominasi terhadap kata-kata
berikutnya.
Namun
pandangan dekonstruksi Derrida sering disalahpahami sebagai upaya untuk
mengomentari masalah karya sastra, teks-teks bacaan, dan naskah-naskah kuno.
Tapi hal itu dimentahkan oleh Derrida dengan bukti bahwa ia turut aktif dalam
penentangan terhadap apartheid, pelanggaran HAM, dan ia sendiri mendukung
gerakan feminis. Maksud Derrida sendiri ingin menyatakan juga bahwa metode
deskontruksi juga bisa berlaku terkait isu-isu sosial, politik, budaya, dan
lainnya.
Pemikiran
dekonstruktif Derrida berupaya untuk menunujukkan bahwa ada pemikiran lain yang
bisa menjadi pemikiran alternatif disamping pemikiran yang telah “ada”. Konsep
yang ia tawarkan ini bisa menjadi suara lebih bagi pemikiran-pemikiran yang
selama ini terpinggirkan oleh pemikiran tunggal yang menjunjung tinggi Logosentrisme. Dekonstruksi tidak
berarti menjurus pada penghancuran suatu konsep tanpa solusi. Tapi dekonstruksi
juga bisa menawarkan konsep baru untuk menggantikan konsep lama. Inilah yang
membedakan konsep dekonstruksi dengan nihilisme (ketiadaan) Nietzsche.
Kaitannya dengan bahasa, Derrida ingin membiarakan bahasa pada karakter yang
paradoks, polisemi, dan ambigu. Jika karakter tersebut dihidupkan kembalai
dalam bahasa, ia berharap bahwa filsafat tidak akan bisa lagi diklaim sebagai
suatu otoritas kebenaran.
Filsafat
modern (pemikiran) Barat identik dengan kebenaran yang tunggal, mutlak, dan
absolut. Melalui dekonstruksinya, Derrida ingin menyampaikan bahwa kebenaran
lama bisa dibongkar dan hal-hal alternatif lainnya bisa menjadi kebenaran baru.
Derrida juga sepakat dengan Foulcault bahwa kebenaran yang berdasar pada
pengetahuan tidak bisa lepas dari kepentingan kekuasaan. Kelebihan dari
dekonstruksi ini bisa memacu para pemikir lain untuk andil dalam menentukan
kebenaran menurut apa yang mereka butuhkan. Dekonstruksi Derrida tentunya bisa
menjadi jalan untuk menduking pluralitas pemikiran dan penyikapan dalam
berbagai bidang kehidupan.
Namun banyak
yang mencela konsep dekonstrusi ini karena konsep tersebut cenderung dianggap
tidak konsisten dan tidak berprinsip. Karena pandangan dekonstrusinya inilah
Derrida dianggap sebagai salah seorang tokoh posmodernisme yang pluralis. Tapi
walau Derrida memiliki pandangan tersebut, ia tidak mengiyakan bahwa konsep
dekonstruksi merupakan konsep penghancuran tanpa adanya konsep lain. Baginya
konsep ini bisa mengatasi problem masyarakat modern yang terjebak oleh
kebenaran tunggal. Ia sendiri berpendapat bahwa kebenaran tunggal merupakan
produk kapitalis dan dipaksakan secara totaliter ke berbagai aspek kehidupan
dan disusupkan melalui bahasa yang dipakai manusia.
4. Tokoh Dekonstruksi
Tokoh
terpenting didalam teori ini adalah Jacques Derrida (Al-Fayyadl, 2005: 2)
adalah keturuan Yahudi. Ia dilahirkan di El-Biar, salah satu wilayah Aljazair
pada 15 Juli 1930. Pada tahun 1949 ia pindah ke Prancis, tempat ia tinggal
sampai akhir hayatnya. Pada tahun 1952, ia belajar di Ecole normale supérieure,
Prancis, dan pernah juga mangajar di sana sesaat sebelum kematiannya. Derrida pernah
mendapat gelar doctor honoris causa di Universitas Cambridge. Ia meninggal
dunia karena penyakit kanker pada 2004.
Derrida muda
dibesarkan dalam lingkungan yang agak bersikap diskriminatif. Ia mundur atau
dipaksa mundur dari sedikitnya dua sekolah, ketika ia masih anak-anak,
semata-mata karena ia seorang Yahudi. Ia dipaksa keluar dari sebuah sekolah,
karena ada batas kuota 7 persen bagi warga Yahudi. Meskipun Derrida mungkin
tidak akan suka, jika dikatakan bahwa karyanya diwarnai oleh latar belakang kehidupannya
ini, pengalaman kehidupan ini tampaknya berperan besar pada sikap Derrida yang
begitu menekankan pentingnya kaum marginal dan yang lain, dalam pemikirannya
kemudian.
Derrida dua
kali menolak posisi bergengsi di Ecole Normale Superieure, di mana Sartre,
Simone de Beauvoir, dan mayoritas kaum intelektual serta akademisi Perancis
memulai karirnya. Namun, akhirnya ia menerima posisi itu pada usia 19.Sejak
tahun 1974 (Bertens, 2001: 327) Derrida ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan
dosen filsafat yang memperjuangkan tempat yang wajar untuk filsafat pada taraf
sekolah menengah.
Karya awal
Derrida di bidang filsafat sebagian besar berkaitan dengan fenomenologi.
Latihan awalnya sebagai filsuf dilakukan melalui kacamata Edmund Husserl.
Inspirasi penting lain bagi pemikiran awalnya berasal dari Nietzsche,
Heidegger, De Saussure, Levinas dan Freud. Derrida mengakui utang budinya
kepada para pemikir itu dalam pengembangan pendekatannya terhadap teks, yang
kemudian dikenal sebagai 'dekonstruksi'.
5. Sejarah Teori Dekonstruksi
Aliran
dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh
besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Pada
dasarnya, menurut Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar
tradisi metafisika barat seperti fenomenologi Husserlian, strukturalisme
Saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya, psikoanalisis Freudian dan
Psikoanalisis Lacanian. Tugas dekonstruksi, mengungkap hakikat problematika
wacana-wacana yang dipusatkan, dipihak yang lain membongkar metafisika dengan
megubah batas-batasnya secara konseptual. Dekonstruksi juga berkembang di
Amerika, sebagai aliran yale. Model dekonstruksi dalam sejarah dikemukakan oleh
Hayden White dalam bukunya Tropics of Discourse (1987). Menurut White, sejarah
tidak seratus persen objektif sebab bagaimanapun sejarahwan menyusun cerita kedalam suatu
struktur, menceritakan kembali dalam suatu plot.
Perbedaan
antara pembaca non dekonstruksi dan dekonstruksi dapat dijelaskan sebagai
berikut. Pembaca non dekonstruksi atau pembaca konvensional dilakukan dengan
cara menemukan makna yang benar, makna terakhir, yang disebut sebagai makna
optimal. Sebaliknya, pembaca dekonstruksi tidak perlu menemukan makna terakhir.
Yang diperlukan adalah pembongkaran secara terus menerus, sebagai proses.
Dekonstruksi dilakukan dengan cara pemberian perhatian terhadap gejala-gelaja
yang tersembunyi, sengaja disembunyikan, seperti ketidakbenaran, tokoh
sampingan, perempuan, dan sebagainya. Umar Junus (1996:109-109) memandang dekonstruksi
sebagai persepektif baru dalam penelitian sastra. Dekonstruksi justru
memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak
memperoleh perhatian. Memungkinkan untuk melakukan penjelajahan intelektual
dengan apa saja, tanpa terikat dengan sutu aturan yang dianggap telah berlaku
universal.
6. Konsep Teori Dekonstruksi
6.1
Tujuan
Menurut
Sarup (2003:51) dekonstruksi bertujuan untuk membongkar tradisi Metafisika Barat
seperti fenomenologi Husserlin, strukturalisme saussurean, strukturalisme
Perancis pada umumnya, psikoanalisi Freudian, dan psikoanalisis Lacanian. Tugas
dekonstruksi, disatu pihak mengungkap problematika wacana-wacana yang
dipusatkan, di pihak lain membongkar metafisika dengan mengubah batas-batasnya
secara konseptual. Sedangkan tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan
ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi
agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpamgan di balik
teks-teks.
6.2
Prinsip-prinsip
Teori Dekonstruksi
Prinsip-
prinsip yang terdapat dalam teori dekonstruksi adalah:
1.
Melacak unsur-unsur aporia (makna
paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi)
2.
Membalikkan atau merubah makna-makna
yang sudah dikonvensionalkan.
Pada dasarnya dekonstruksi yang
sudah dilakukan oleh Nietzsche (Culler, 1983:86-87) dalam kaitannya dengan
usaha-usaha untuk memberikan makna baru terhadap prinsip sebab-akibat. Prinsip
sebab-akibat selalu memberikan perhatian terhadap sebab, sedangkan akibatnya sebagai
gejala minor. Nietzsche menjelaskan bahwa prinsip sebab akibat bukanlah hukum
universal melainkan merupakan retorika bahasa, sebagai gejala metonimi, gejala
bahasa dengan cara melekatkan nama orang atau benda-benda pada pusat objek yang
lain.
Saussure menjelaskan bahwa makna
yang diperoleh melalui pembagian lambang-lambang menjadi penanda dan petanda.
Dekonstruksi menolak keputusan tersebut dengan cara terus menerus berusaha
melepaskan diri, sekligus mencoba menemukan pusat-pusat yang baru. Menurut Saussure
(Eagleton, 1983:128), hubungan penanda dengan petanda bersifat pasti.
Derrida (Spivak, 1976:xliii)
menjelaskan peristiwa diatas dengan istilah difference
dan differance, dua kata yang
ucapannya hampir sama tetapi penulisannya berbeda, dibedakan melalui huruf
ke-7. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa latin, differe, yang sekaligus berarti to differ
(membedakan) yang berkonotasi spasial, dan to defer (menunda) yang berkonotasi
temporal. Derrida (Norris, 1983:32) menghubungkan kerangka ruang dan waktu
dengan tanda dan bendanya, tanda sebagai wakil dari bendanya. Tanda sekaligus
menunjukkan kehadiran yang tertunda. Makna kata difference berada dalam posisi yang mengambang antara to differ dan
to defer, keduanya berpengaruh terhadap kekuatan tekstual, tetapi tidak secara
utuh mewakili kata difference
tersebut. Oleh karena tanda-tanda mengimplikasikan makna, maka makna karya pun
selalu berbeda dan tertunda, sesuai dengan ruang dan waktu. Artinya, antara
konsep dan kenyataan selalu mempunyai jarak sekaligus perbedaan. Derrida
menjdai terkenal karena konsep dekonstruksi, logosentrisme, fonosentrisme, difference / differance, trace, dan
dencentering.
Differance
(Derrida, 2002:45,61) adalah istilah yang diciptakan oleh Derrida tahun 1968
dalam kaitannya dengan pemahamannya mengenai ilmu bahasa Saussure dan
antropologi Levi-Strauss. Menurut Derrida, perbedaaan difference
dan differance, bahasa kamus baik
bahasa Inggris maupun bahasa Perancis dan bahasa dekonstruksi Derrida, tidak
dapat diketahui melalui ucapan, melainkan melalui tulisan. Menurutnya, tulisan
lebih utama dibandingkan dengan ucapan. Menurut Derrida (Eagleton,
1983:127-128) makna tidak dengan sendirinya hadir dalam suatu lambang. Lambang
mempersoalkan sesuatu yang bukan dirinya, lambang mewakili sesuatu yang lain.
Makna hadir dalam rangkaian penanda.
Pemikiran akan différance merupakan jalan kemungkinan
berpikir yang membebaskan tulisan dari interpretasi metafisis, di mana bahasa
ditujukkan untuk mengekspresikan makna atau kebenaran kehadiran pada
dirinya. Différance itu memiliki perbedaan dengan différence atau différer.
Dalam kamus Prancis kata différer mengandung arti berbeda, bertolak belakang,
tidak mempunyai kesamaan (kata kerja intransitif) dan menunda, menangguhkan,
mengundurkan waktu (kata kerja transitif) . Kata differance diciptakan Derrida untuk menunjuk bagaimana makna
ditirunkan dari penundaan dan tidak pernah hadir sepenuhnya, melainkan selalu
tertunda (postponed). Karena itu, différance
tidak pernah dapat dijadikan objek ilmu pengetahuan sebab itu tidak tertangkap
dengan kehadiran.
Dekonstruksi Derrida bermula dari
huruf. Dan hal ini kita saksikan bagaimana Derrida memanipulasi huruf a pada difference untuk memperlihatkan betapa ambigunya sebuah kata yang
tampak tunggal dan sederhana. Adanya pemikiran tentang différance merupakan suatu keinginan untuk tidak berada dalam
metafisika. Dengan kata lain, Derrida berusaha untuk melebihi metafisika,
melampaui pemikiran yang ditandai kehadiran. Maka différance sebenarnya tidak ada, untuk tidak menguraikannya dalam
suasana atau kerangka metafisis.
Istilah Différance, dapat dibeakan dalam empat arti yaitu: pertama, différance menunjuk kepada apa yang
menunda kehadiran. Différance adalah
proses penundaan yang tidak didahului oleh suatu kesatuan asli. Kedua, différance adalah gerak yang
mendiferensiasikan karena différance
bergerak dalam oposisi terhadap konsep-konsep. Ketiga, différance adalah produksi semua perbedaan yang merupakan syarat
untuk timbulnya setiap makna dalam setiap struktur. Keempat, différance juga dapat menunjukan
berlangsungnya perbedaan antara
Différance bagi
Derrida juga bukan merupakan suatu asal usul. Bila demikian, ia akan jatuh pada
metafisika. Ia jatuh pada identitas terakhir yang melebihi semua perbedaan
tekstual. Dengan pemikiran ini Derrida menolak penjadian différance sebagai suatu makna transendental. Différance juga menganut tekstualitas, menunjuk pada yang lain.
Bagi Derrida, tak ada identitas terakhir. Maka bisa dikatakan bahwa realitas
itu menunjuk pada yang lain dan tidak pernah berhenti atau berakhir. Di sinilah
keradikalan Derrida dalam filsafatnya. Bagi Derrida, tak ada ruang lagi untuk
suatu dimensi tak berhingga.
Konsep Saussure yang juga
didekonstruksi oleh Derrida adalah doktrin hierarki ucapan-tulisan, yang pada
dasarnya memandang ucapan sebagai pusat, sedangkan tulisan sebagai non pusat.
Menurut Saussure, ucapan lebih dekat dengan pikiran dan perasaan sebab ucapan
mengimplikasikan subjek yang berbicara, subjek yang hadir secara serta merta,
sedangkan tulisan yang bersifat sekunder, termediasi, grafis dan mewakili.
Menurut Derrida konsep
ucapan-tulisan dapat saja dibalik menjadi tulisan-ucapan. Ujaran pun adalah
sejenis tulisan, ujaran selalu sudah tertulis, dan dengan demikian bahasa pun
sudah tertulis. Menurut Rousseau, ucapan merupakan bentuk asal, tulisan
merupakan pelengkap bahasa lisan. Di pihak yang lain, Levi-Strauss melukiskan
hubungan antara alam dan kebudayaan yang dengan sendirinya sudah tertulis.
6.3 Metode Penelitian Dekonstruksi
Karya sastra adalah cipta seni
yang bermediumkan bahasa yang dominan Unsur estetiknya. Bahasa yang dipakai
sebagai medium di dalam karya sastra menggunakan bahasa tingkat kedua (significance)
atau konvensi tambahan (Preminger via Pradopo, 1995: 121). Penggunaan bahasa
tingkat kedua dalam karya sastra memungkinkan lahirnya penafsiran yang banyak
terhadap karya sastra tersebut. Oleh karena itu, upaya untuk menemukan makna
tunggal dari sebuah karya sastra adalah sesuatu yang mustahil. Sebab setiap
penemuan jejak makna dalam sebuah teks, akan melahirkan jejak baru dibalik
makna tersebut (Derrida dalam Norris, 2003: 12).
Dekonstruksi menolak adanya
gagasan makna pusat. Pusat itu relatif. Ia mengingkari makna monosemi (Selden,
1985:88). Jadi untuk pemaknaan ini sangat longgar. Oleh karena itulah banyak
tafsir terhadap objek. Menurut Norris (2003:24) dekonstruksi merupakan strategi
untuk membuktikan bahwa sastra bukanlah bahasa yang sederhana.
Hakekat dekonstruksi adalah
penerapan pola analisis teks yang dikehendaki oleh peneliti dan menjaga teks
agar tetap bermakna polisemi. Di dalam penafsirannya selalu terjadi proses
membedakan dan menangguhkan (difference).
Istilah difference ini diungkapkan
pertama oleh Derrida untuk menyatakan ciri tanda yang terpecah. Di sini dipilih
unit wacana yang mampu menimbulkan kebuntuan makna atau satu figur yang
menimbulkan satu kesulitan untuk dijabarkan. Bagian ini disebut titik aphoria
(Norris, 1982:49). Titik aphoria selanjutnya akan menimbulkan alusi. Ketika
ditemukan sebuah inti wacana yang mengalami kebuntuan maka akan timbul asosiasi
dengan teks lain atau peristiwa yang senada dengan yang dihadapi. Hal ini bisa
dilakukan dengan cara mempertentangkan atau menyejajarkan dengan unit wacana
yang dihadapi. Penyejajaran atau pertentangan bisa dihubungkan dengan unit
wacana lain di dalam teks yang sama (retrospektif) atau bisa dengan melacaknya
di luar obyek (prospektif). Jadi cara ini seperti bermain bebas (free play).
Dekonstruksi sangat percaya
kepada teks. Teks mempunyai otonomi yang luar biasa, segalanya hanya
dimungkinkan oleh teks (Junus, 1985:98). Lebih lanjut Umar Junus mengatakan
bahwa sebuah teks punya banyak kemungkinan makna sehingga teks sangat berbeda.
Seorang pembaca tak akan mengkonkretkan satu makna saja, tetapi akan membiarkan
segala kemungkinan makna hidup, sehingga teks itu ambigu. Dekonstruksi lebih
menumpukan kepada unsur bahasa. Bahkan dapat dikatakan dekonstruksi bertolak
dari unsur bahasa yang kecil untuk kemudian bergerak maju kepada keseluruhan
teks. (1985:99).
Metode dekonstruksi yang
dilakukan Derrida lebih dikenal dengan istilah dekonstruksi metaforik. Metafora
di sini bukan dipahami sebagai suatu aspek dari fungsi ekspresif bahasa tapi
sebagai suatu kondisi yang esensial tentang tuturan (Sarup, 2003:77-79).
Metafora mewakili salah satu cara dari penyusunan wacana dan secara kuat
mempengaruhi pemahaman teks berbagai hal. Dekonstruksi dilakukan terhadap teks
metaforis yang disusun oleh penulis. Dekonstruksi bisa terjadi pada teks itu
sendiri atau sebaliknya kita yang mendekonstruksi sebuah teks.
Kata-kata yang dipakai dalam
bahasa karya sastra bersifat denotatif sekaligus konotatif. Pengalaman batin
bisa muncul dari asosiasi pikiran dengan arti kata-kata, tetapi sering juga
lewat bunyi kata. Pertalian pikiran yang timbul dari kata bisa melayang,
meledak, suci, murni, hitam, legam dan seterusnya. Hal ini bukan hanya terjadi
dari katanya tetapi bisa juga dari bunyi katanya. Kesadaran akan adanya
asosiasi itu melahirkan kecenderungan kepada simbolisme
Sebagai langkah dalam menyikapi
karya sastra melalui dekonstruksi Derrida pun kemudian menggunakan istilah
“trace” sebagai konsep dalam menelusuri makna. Trace (jejak) bersifat misterius dan tidak terungkap, muncul
sebagai kekuatan dan pembentuk tulisan, menembus dan memberi energi pada
aktivitasnya yang menyeluruh. Hal ini berarti bahwa makna akan bergerak, harus
dilacak terus menerus dan meloncat-loncat.
Pengarang di dalam mengemukakan
perasaannya sering tidak secara langsung. Kadang-kadang lewat
peristiwa-peristiwa maupun simbol-simbol. Di sinilah letak pentingnya
pengalaman dan pengetahuan pembaca untuk bisa menangkap pesan tersebut. Bekal
pengetahuan yang Jausz disebut sebagai horizon harapan ini sangat penting dalam
upaya mencari jejak (trace) sebagai metode pemaknaan dekonstruksi. Dengan bekal
itu pembaca akan bisa mengisi tempat kosong dalam teks, karena memang sifat
karya sastra itu multiinterpretable (Pradopo, 1985:185). Inilah penggambaran
dari metode penelitian dekonstruksi tersebut
6.4 Sistematika Penerapan Dekonstruksi.
Pada
awalnya, dekonstruksi adalah cara atau metode membaca teks. Dekonstruksi
berfungsi dengan cara masuk ke dalam analisis berkelanjutan, yang terus
berlangsung, terhadap teks-teks tertentu. Ia berkomitmen pada analisis
habis-habisan terhadap makna literal teks, dan juga untuk menemukan
problem-problem internal di dalam makna tersebut, yang mungkin bisa mengarahkan
ke makna-makna alternatif, di pojok-pojok teks (termasuk catatan kaki) yang
diabaikan.
Dekonstruksi
menyatakan bahwa di dalam setiap teks terdapat titik-titik ekuivokasi
(pengelakan) dan kemampuan untuk tidak memutuskan (undecidability), yang
mengkhianati setiap stabilitas makna yang mungkin dimaksudkan oleh si pengarang
dalam teks yang ditulisnya.
Proses
penulisan selalu mengungkapkan hal yang diredam, menutupi hal yang diungkapkan,
dan secara lebih umum menerobos oposisi-oposisi yang dipikirkan untuk
kesinambungannya. Inilah sebabnya mengapa “filsafat” Derrida begitu
berlandaskan pada teks, dan mengapa term-term kuncinya selalu berubah, karena
selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk didekonstruksi,
sehingga titik pengelakan selalu dilokasikan di tempat yang berbeda. Ini juga
memastikan bahwa setiap upaya untuk menjelaskan apa itu dekonstruksi harus
dilakukan dengan hati-hati.
Ada
suatu paradoks dalam upaya membatasi atau mengurung dekonstruksi pada satu
maksud menyeluruh tertentu, mengingat dekonstruksi justru berlandaskan pada
hasrat untuk mengekspos kita terhadap keseluruhan yang lain (tout autre), dan
untuk membuka diri terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan alternatif.
Penjelasan ini berisiko membuat kita semakin sulit memahami pemikiran Derrida.
Adanya perbedaan yang lebar dan diakui meluas, antara karya-karya awal dan
karya-karya terakhir Derrida, juga menjadi contoh yang jelas bagi kesulitan
yang akan muncul, jika kita menyatakan bahwa “dekonstruksi mengatakan ini” atau
“dekonstruksi melarang itu.”
Namun,
ada ciri tertentu dari dekonstruksi yang bisa kita lihat. Misalnya, keseluruhan
upaya Derrida dilandaskan pada keyakinannya tentang adanya dualisme, yang hadir
dan tak bisa dicabut lagi pada berbagai pemikiran filsafat Barat. Kekhasan cara
baca dekonstruktif, yang dalam proses selanjutnya membuatnya sangat bermuatan
filosofis, adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya untuk kemudian dibongkar
bukanlah sekadar inkonsistensi logis, argumen yang lemah, atau premis tidak
akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya dilakukan pemikiran
modernisme. Melainkan, unsur yang secara filosofis menjadi penentu atau unsur
yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis. Singkatnya, kemungkinan
filsafat itu sendirilah yang dipersoalkan.
Oleh
karena itu, dalam metode dekonstruksi, atau lebih tepatnya pembacaan
dekonstruktif, filsafat diartikan sebagai tulisan, dan oleh karenanya, filsafat
tidak pernah berupa ungkapan transparan pemikiran langsung. Sebab, setiap
pemikiran filosofis tentu disampaikan melalui sistem tanda yang berkarakter
material, baik grafis maupun fonetis. Dan sistem tanda itu tentu juga tak hanya
digunakan untuk kepentingan filosofis. Filsafat yang pada dasarnya adalah
tulisan, ingin melepaskan statusnya sebagai tulisan, dan keluar dari kerangka
fisik kebahasaan yang digunakannya. Bahasa ingin digunakan sebagai sarana
transparan untuk menghadirkan makna dan kebenaran riil yang ekstra-linguistik,
atau dalam istilah kita tadi, kebenaran absolut, kebenaran yang betul-betul
benar.
Sedangkan
tujuan metode dekonstruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya
penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang
mengandung banyak kelemahan dan ketimpangan di balik teks-teks. Sistematika
penerapan dekonstruksi dalam berhadapan dengan teks, adalah:
1. Mengidentifikasi
hirarki oposisional dalam teks, biasanya terlihat peristilahan mana yang
diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak.
2. Oposisi-oposisi
itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang
saling bertentangan atau privilesenya dibalik.
3. Memperkenalkan
sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam
kategori oposisional lama.
Dengan
langkah-langkah semacam ini, pembacaan dekonstruktif berbeda dari pembacaan
biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna sebenarnya dari teks, atau bahkan
terkadang berusaha menemukan makna yang lebih benar, yang teks itu sendiri
barangkali tidak pernah memuatnya. Sedangkan pembacaan dekonstruktif ingin
mencari ketidakutuhan atau kegagalan setiap upaya teks menutup diri dengan
makna atau kebenaran tunggal.
7.
Analisis
Dekonstruksi Novel Siti Nurbaya
Novel SN berlatar di Padang. Novel
ini menceritakan jalinan asmara antara Nurbaya dan Samsul Bahri. Sejak kecil,
mereka tumbuh dan sekolah bersama. Kedua orang tua mereka pun sudah saling
mengenal dan memiliki hubungan yang baik. Karena mereka selalu bersama itulah
terjalin hubungan cinta kasih antara keduanya. Kepergian Samsul Bahri untuk
sekolah dokter di Batavia merupakan kesedihan bagi Nurbaya, seperti terlihat
pada data berikut.
“Tatkala
Nurbaya tiada dapat lagi membedakan kekasihnya, daripada orang lain, di atas
kapal, berjalanlah ia perlahan-lahan ke ujung suatu tanjung, akan mengikuti
kapal itu dengan matanya. Makin lama makin sunyilah rasanya padanya alam ini”
(Rusli, 1994:81).
Datuk Maringgih yang licik, mengubur
cita-cita Nurbaya menikah bersama kekasihnya. Awalnya, Baginda Sulaiman
terlibat hutang kepada Datuk Maringgih. Dengan kelicikannya, Datuk Maringgih
berhasil memperdaya Baginda Sulaiman sehingga tidak mampu membayar hutang pada
waktu yang telah ditentukan. Datuk Maringgih tidak akan menjebloskan Baginda
Sulaiman ke penjara tetapi dengan satu syarat: menyerahkan Nurbaya. Nurbaya
tidak sampai hati dan merasa kasihan apabila ayahnya harus masuk penjara. Oleh
sebab itu, Nurbaya memutuskan untuk ‘menyelamatkan ayahnya’ dari penjara dan
bersedia menjadi istri Datuk Maringgih, seperti tampak pada data berikut.
“Tatkala kulihat ayahku akan dibawa ke dalam penjara, sebagai seorang penjahat yang bersalah besar, gelaplah mataku dan hilanglah pikiranku dan dengan tiada kuketahui, keluarlah aku, lalu berteriak, jangan dipenjarakan ayahku! Biarlah aku jadi istri Datuk Meringgih!” (Rusli, 1994:119).
Dari gambaran parsial itu, juga
mewakili pandangan umum pembaca Samsul Bahri merupakan tokoh protagonis yang
hero, putih, tegar sedang Datuk Maringgih, di pihak lain, merupakan tokoh
antagonis yang licik, dan jahat.
Sesuai dengan konsep dekonstruksi di
atas, ada pemaknaan teks lain terhadap dua karakter tokoh itu. Tampak adanya
pertukaran dua karakter yang didapat. Datuk Maringgih merupakan tokoh
protagonis, sedang Samsul Bahri, di pihak lain, merupakan tokoh antagonis.
Namun, pada tulisan ini hanya penokohan Samsul Bahri yang dikaji
Samsul Bahri bukanlah seorang pemuda
hero, melainkan seorang pemua cengeng dan berperasaan nasionalisme sempit. Ia
menangis tersedu-sedu semalaman setelah mendapat surat dari Nurbaya. /Setelah
Samsu membaca surat ini, direbahkannyalah dirinya di tempat tidurnya, lalu
menelungkup manangis tersedu-sedu semalam-malaman itu/ (Rusli, 1994:123). Itu
bukan karakter pria yang tegar. Pria tegar bisa kuat ketika dilanda cobaan,
bukan cengeng yang identik dengan wanita.
Yang menjadi kajian dekonstruksi
utama adalah etika dan nasionalisme. Dalam SN, Bahri melakukan tindakan patut,
yaitu menemui Nurbaya tanpa izin suaminya. Meski Nurbaya adalah mantan
kekasihnya, tapi Bahri tidak patut menemui istri orang. Itu sangat bertentangan
dengan adat Padang. Adat padang cukup jelas memberikan batasan pergaulan antara
laki-laki dan perempuan. Apalagi pertemuan dengan istri orang sangat ditentang
dalam adat Padang.
Dari pertemuan itu, Datuk Maringgih
cemburu dan menuduh Samsul Bahri berbuat tidak senonoh pada Nurbaya. Datuk
Maringgih dan Samsul Bahri berkelahi. Melihat perkelahian itu, ayah Nurbaya
jatuh terguling-guling hingga akhirnya meninggal. Karena malu atas perbuatan
anaknya, maka Sutan Mahmud mengusir Samsul Bahri seperti apa yang dikatakan
pada data berikut.
“Perbuatanmu ini sangat memberi malu aku, sebab tak patut sekali-kali. Kemanakah akan kusembunyikan mukaku? Bagaimanakah aku akan menghapus arang yang telah kau corengkan pada mukaku ini? Perbuatan yang demikian bukanlah perbuatan orang yang berbangsa, anak orang yang berpangkat tinggi, orang yang terpelajar, melainkan pekerjaan orang yang hina, yang tak tahu adat dan kelakuan yang baik.”
....
Kesalahanmu tak dapat kuampuni, karena sangat memberi aib. Pergilah engkau dari sini! Sebab aku tak hendak mengakui engkau lagi. Yang berbuat demikian, bukan anakku”(Rusli,1994:156).
Kesalahanmu tak dapat kuampuni, karena sangat memberi aib. Pergilah engkau dari sini! Sebab aku tak hendak mengakui engkau lagi. Yang berbuat demikian, bukan anakku”(Rusli,1994:156).
Aduhai! Di situlah putus pengharapan, habis sabar dan hilang akal ananda. Sekaranglah ananda menjadi yatim piatu, tiada beribu, tiada berbapa, tiada bersanak atau saudara, tiada kaum kerabat,,kampung halaman dan tanah air lagi. Oleh sebab itu, apalah gunanya ananda hidup juga? Daripada hidup bercermin bangkai lebih baik mati berkalang tanah.” (Rusli, 1994: 222).
Tindakan Bahri menemui Nurbaya
merupakan tindakan yang tidak terpuji dan jauh dari tokoh putih yang
diasumsikan banyak orang. Tindakan Samsul Bahri setidaknya mencoreng tipikalnya
sebagai pemuda asli Padang.
Sepuluh tahun kemudian, Samsul Bahri
diceritakan telah menjadi seorang tentara KNIL di Bandung dengan nama Letnan
Mas. Letnan Mas digambarkan sebagai seorang opsir bumiputra yang pendiam, tidak
seriang teman-temannya, air mukanya bagai seorang yang telah banyak menanggung
azab dan sengsara. Keikutsertaan Samsul Bahri dalam KNIL kian meneguhkan
penokohannya sebagai tokoh antagonis. Dia telah berkomplot dengan
penjajah. Itu berarti Samsul Bahri
memiliki nasionalisme yang sempit sebagaimana dalam data berikut ini.
Setelah berhadap-hadapan mereka, nyatalah pada Letnan Mas, bahwa persangkaannya tadi benar, karena sesungguhnya Datuk Meringgih, algojo Nurbaya, yang berdiri di mukanya, lalu berkatalah ia, “Datuk Meringgih! Benarkah engkau ini?”. “Ya, akulah Datuk Meringgih, saudagar yang kaya di Padang ini,“ jawab kepala perusuh itu, “Engkau ini siapa, maka kenal padaku?“ Setelah diamat-amatinya Letnan Mas ini, terperanjatlah ia lalu surut beberapa langkah ke belakang, seraya berteriak, “Samsul Bahri! Engkau tiada mati? Atau setannyakah ini?”(Rusli,1994:260).
8.
Kelebihan
dan Kelemahan dari Teori Dekonstruksi
Dekonstruksi membuka ruang kreatif seluas-luasnya
dalam proses pemaknaan dan penafsiran. Itulah kelebihan dekonstruksi, yang
membuat setiap orang bebas memberi makna dan menafsiri suatu objek tanpa batas.
Ruangan makna terbuka luas, penafsiran bertumbuh biak. Ibarat pepatah, mati
satu tumbuh seribu. Penghancuran terhadap suatu makna oleh makna baru
melahirkan makna-makna lain.
Demikian bebas, banyaknya makna dan tafsiran, membuat
era dekonstruktivisme dianggap era matinya makna. Makna menjadi tak berarti
lagi. Inilah kelemahan dekonstruksi. Kelemahan lainnya adalah:
1. Kebebasan
tanpa batas menjadikan makna kehilangan ‘roh’. Yang ada adalah massalisasi
makna, retailisme makna. Menjadikan makna sebuah produk massal yang dapat
mengurangi nilai obyek tidak lagi memiliki kemewahan ruang pemaknaan untuk
ditelaah.
2. Ketidakbernilaian
makna, ke-chaos-an atau asumsi ‘pesimis’ matinya makna dapat menimbulkan
apatisme dan ketidakberdayaan terhadap makna.
3. Dekonstruksi
tidak menyediakan shelter-shelter untuk persinggahan khusus dalam proses
perjalanan pemaknaan. Titik-titik peristirahatan tertentu diperlukan untuk
revitalisasi makna sebelum membuka ruang makna baru bagi perjalanan penafsiran
yang lebih bugar. Dengan demikian, kejenuhan dan kebiasaan-kebiasaan pemaknaan
dapat dicegah.
4. Tidak adanya
upaya untuk menghargai puing-puing hasil pengahancuran makna karena makna-makna
baru dianggap lebih bernilai. Padahal, makna-makna lama bukan tidak mungkin
justru memberi nilai tambah abgi makna-makna baru. Karena itu, diperlukan
sebuah model semiotika baru untuk menjawab kekurangan-kekurangan tersebut.
Kelemahan lain dari teori dekonstruksi ini adalah
banyaknya peluang bagi spekulatif subjektif. Selain itu, dengan terus-menerus
melacak bekas-bekas teks lama, maka setiap bentuk asosiasi dapat digunakan dan
lama kelamaan bentuk kritik sangat terikat pada pengetahuan dan pribadi
kritikus (van Luxemburg, dkk. 1982: 53-60).
9.
Simpulan
Konsep
Derrida tentang dekonstruksi, secara implisit meramalkan suatu kekuatan
superfisialitas dalam filsafat. Ramalan ini tersingkap dalam pendiriannya yang
secara radikal menolak “logosentrisme ”, yaitu pemikiran tentang “ada sebagai
kehadiran”.
Kehadiran dalam konsep dekonstruksi Derrida dimengerti sebagai sistem tanda.
Dengan memahami postmodernisme sebagai iklim baru yang
diwarnai oleh rekonstruksi dan dekonstruksi realitas, penulis mencoba mendalami
salah satu konsep pemikiran postmodern yakni teori dokonstruksi dari Jaques
Derrida, seorang filsuf Prancis yang lahir pada tahun 1930 di Alegeria. Derrida
datang ke dunia filsafat dengan mempertanyakan metafisika kehadiran-nya para
filsuf sebelumnya dan ia membangun konsep dekonstruksi. Melalui teori
dekonstruksinya, Derrida menyakini suatu kenyatan bahwa dibalik teks-teks filosofis
bukanlah kekosongan, melainkan terdapat sebuah teks lain sebagai suatu jaringan
keragaman kekuatan-kekuatan yang tidak jelas pusat referensinya.
Oleh karena itu, dengan lahirnya konsep dekonstruksi tidak berarti
bahwa filsafat kehilangan identitasnya, sebab metafor dapat dipakai sebagai
paradigma untuk mengkaji persolan filsafat, irasonalitas dan kebenaran sebagai
yang berkarakter tegangan (tensional). Dalam hal ini karakter tensionalitas itu
perlu dilihat sebagai tegangan kreatif yang perlu dikaji untuk melihat
relevansi filsafat secara baru.
Hidup adalah teks, dan kita di dalamnya, bergulat di
dalamnya dan menjadi bagian tak terpisahkan darinya. Kita menulis kehidupan ini
dan mendekonstruksinya bersama imajinasi. Maka bersama Gunawan Muhamad dalam
pengantar buku berjudul Derrida karya Muhammad Al-Fayyadl, kita sepakat bahwa
teori dekonstruksi sesungguhnya mengajarkan satu nilai kebijaksanan bagi kita
untuk selalu bersikap rendah hati untuk tidak memagari diri dengan sebuah
kemapanan konsep atau ideologi. Dekonstruksi mengajak kita untuk tidak cepat
’berpuas diri’ dengan sebuah kemapanan tetapi untuk selalu terbuka terhadap
segala kenyataan dunia yang tidak pernah absolut. Realitas selalu ambigu dan
imajinasi membuka banyak kemungkinan.
10.
Daftar Pustaka
(http://staff.undip.ac.id/sastra/fauzan/2009/07/22/dekonstruksi-terhadap-figur-keturunan-darah-biru/)
Adian, Donny Gahral. 2005.
Percik Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.
Al-Fayadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKiS.
Champagne, Roland A. 1995. Jacques
Derrida. New York, Twayne’s World Authors Series.
Derrida, Jacques. 1978. Writing and Difference, Translated, with an
Introduction and Additional Notes by Alan Bass. Chicago: The University of
Chicago Press.
Eagleton, Terry. 1983. Literary Theory: An Introduction.
Oxford: Basil Blackwell.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta:
Gramedia.
Kristeva, Julia. 1980. Desire in Language: a Semeotic Approach to
Literatur and Art. Columbia: Colombia University Press.
Norris, Christopher. 2003.
Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Yogyakarta: Ar-Ruzz.
Rusli, Marah. 1994. Cetakan ke-24. Siti Nurbaya. Jakarta: Balai Pustaka.
Sarup, Madan. 2003. Postrukturalisme dan Postmodernisme: Sebuah
Pengantar
Kritis. Yogyakarta:
Jendela.
Saussure, Ferdinand de. 1988. Course de Linguistique Generale (Linguistik
Umum). Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Selden, Raman. 1986. A Reader’s Guide to Contemporary Literary
Theory.
Sussex:
The Harvester Press.
Sugiharto, I. Bambang. 1996. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat,
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Suseno, Franz Magnis.
1992. Filsafat sebgai Ilmu Kritis. Yogyakarta:
Kanisius.
Tedjoworo, H. 2001. Imaji
dan Imajinasi: Suatu Telaah Filsafat Postmodern. Yogyakarta: Kanisius.
White, Hayden. 1993. Semeotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan
Apa Yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
Bahasanya sulit mengerti Bro
BalasHapus