Selasa, 14 November 2017

NEW HISTORICISM



NEW HISTORICISM
OLEH
Jose Da Conceicao Verdial

       Pengantar
Teks yang bermunculan di sekitar kita memang tidak terlahir dari suatu budaya yang kosong, karena selalu ada yang melatar belakangi teciptanya teks, baik itu teks sastra ataupun teks non sastra dan tidak bisa dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi, politik karena itu merupakan bagian yang terinternalisasi. Dengan asumsi tersebut pemisahan antara luar dan dalam, intrinsik dan ekstrinsik tidak dapat diberlakukan lagi, dan menembus dari dikotomi yang melingkupinya. Semua teks, baik sastra maupun non sastra yang terlahir merupakan produk dari zaman yang sama dengan berbagai pergulatan dialektika manusia. Di dalam teks sastra juga merefleksikan tentang apa yang menjadi persoalan didalamnya pada masa teks itu tercipta, tentunya ada persoalan baik ekonomi, politik maupun sosial  yang ikut mendasarinya.
Teks memang merupakan produk dari kekuatan sosial historis pada zamannya, tetapi pada saat yang sama teks juga menghasilkan dampak sosial, Greenblatt menyatakan sebagai berikut: Dalam perspektif yang ‘baru’ karya sastra ikut membangun, mengartikulasikan dan mereproduksi kovensi, norma, dan nilai-nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinasi kreatifnya (Greenblatt dalam Budianta 2006:4). Pada perkembangan sastra Greenblatt memberikan pandangan keterkaitan antara teks sastra dengan teks non sastra mempunyai lintasan hubungan yang pararel dengan cara membaca berbagai kekuatan sosial, ekonomi dan politik yang terinternalisasi dalam teks, untuk memunculkan pemahaman ‘baru’ dalam melihat sejarah atau new historicism. New Historicism adalah salah satu dari sekian banyak pendekatan dalam ilmu sastra yang berkembang dan muncul dalam  dua dekade terakhir abad ke-20, seperti yang diungkapkan Budianta sebagai berikut:
Kata New historicism pertama kali digunakan oleh Stephen Greenblatt dalam sebuah pengantar edisi jurnal Genre di tahun 1982, untuk menawarkan perspektif baru dalam kajian Renaisance, yakni dengan menekankan keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi dan politik yang melingkupinya. (Budianta, 2006:2).
Artinya sejarah ataupun dunia yang diacu oleh karya sastra, bukan hanya menjadi latar belakang yang integral dan menyatu dalam teks tersebut, akan tetapi sejarah itu sendiri merupakan terdiri dari berbagai macam teks yang menyusun suatau kenyataan menurut versi masing-masing dari penulisnya. New Historicism  memandang laporan sejarah sebagai naratif, sebagai cerita, yang biasanya tidak biasa dihindari menurut sudut pandang mereka yang menulisnya. Dalam pemikiran new historicism, fakta sejarah bukanlah sesuatu yang mutlak tak terbantahkan, karena sejarah sendiri terdiri dari berbagai macam versi yang penuh kontradiksi, pluralitas dan sangat bermacam motif yang mendasarinya. Berdasarkan kutipan di atas keterkaitan antara karya sastra dan sejarah merupakan keterkaitan intertekstualitas antara berbagai macam teks baik fiksi maupun faktual yang diproduksi pada waktu yang sama maupun pada kurun waktu yang berbeda.
A.    Problematika New Historicism
Definisi sederhana New Historicism adalah metodenya berdasar pada proses penelaahan secara paralel teks sastra dan non-sastra. Artinya New Historicism membandingkan antara teks sastra dengan teks non-sastra. Dalam konvensi secara tradisional, suatu karya baik prosa maupun puisi dipahami sebagai teks sastra yang dipahami sebagai teks sastra yang memuat peristiwa dan juga kehidupan tomoh sejarah. Sedangkan maksud sejarah dalam pandangan umum tertuju pada masa lampau yang ditulis oleh sejarahwan (Fatoni, 2013).
Menekankan keterkaitan antara teks sastra dengan non-sastra. Sastra, menurut New Historicism tidak terlepas dari praksis-praksis sosial, politik, dan ekonomi karena hal tersebut merupakan bagian yang ada dalam karya sastra. Dari hal tersebut maka pemisahan antara ekstrinsik dan intrinsik, tidak dapat dipertahankan lagi. Karena semua teks sama, baik sastra maupun non sastra, merupakan pertarungan kuasa dari ideologi (Budianta, 2: 2006).
Sejarah sebagai sebuah pengetahuan sangat bergantung pada wacana dan bentuk representasi antar teks baik dengan konteks sosial dan intruksional yang lebih luas didalam atau melalui bahasa. Realitas objektif masa lalu telah berjarak dengan sejarah sebagai ilmu telah berjarak dalam konteks ini. Sejarah tidak dapat disebut sebagai representai langsung dari objektivitas masa lalu dan tidak akan berulang kembali. Sedangkan sejarah sebagai rekontruksi tertulis dan lisan merupakan produk dari bahasa wacana dan pengalaman sesuai dengan konteksnya (Purwanto, 30: 2007).
Ketika kita mengatakan dan melihat bahwa New Historicism meliputi kajian parallel antara teks sastra dan teks non sastra, mengonsepsikan perbedaan hakiki antara New Historicism dengan pendekatan sebelumnya yang menggunakan sejarah sebagai bandingannya. Pendekatan sebelumnya membentuk pemisahan hirarkis antara teks sastra yang merupakan objek nilai utama, dengan “latar belakang” sejarah yang  hanya merupakan latar dan kurang bernilai, berdasarkan definisinya (Barry, 203: 209).
Berarti suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dari aspek sosial didalamnya, baik dari segi ekonomi, sosial, dan politik. Baik teks sastra atau non sastra yakni sejarah, merupakan hasil pertarungan kuasa dari ideologi. New Historisme melihat kontruksi kemudian merekonstruksi apakah keterkaitan antara teks sastra dengan sejarah sebenarnya tersebut sejalan atau saling berkaitan.
Oleh karena hal tersebut, batas antara sastra adiluhung dan picisan tidak diterima begitu saja, bukan dengan tujuan mengevaluasi produk budaya tersebut, melainkan untuk menunjukkan ragam teks saling terkait dengan persoalan pada zamannya dengan memperlibatkan bagaimana teks sastrra maupun non sastra sama-sama memiliki paparan dan membentuk nilai yang ada pada zamannya. Bukti semacam itu membantu mematahkan pernyataan orang yang menganggap sastra hanya memiliki sifat ambigu, lebih merupakan permasalahan keyakinan bukan fakta. Dengan sejarah kita dapat lebih bertanggung jawab pada suatu kebenaran.
Dari hal tersebut akan menggalih suatu karya sastra dengan relevansi sejarah. Menurut Aloysius Indratno (2010: 6) berpendapat bahwa terdapat empat komponen yang saling berhubungan dalam karya sastra. Empat komponen tersebut terdiri dari karya sastra, penulis, pembaca, dan realitas. Dikarenakan argument tentang makna teks sastra seringkali mudah diuraikan dengan melihat sejarah, karena sejarah merupakan rujukan paling kuat. Sejarah diibaratkan sebuah pisau analisa yang kuat, karena seringkali memberikan dasar yang kokoh untuk memancangkan pernyataan berkenaan dengan makna yang terdapat dalam teks sastra.
Berbagai macam pandangan dan argument tentang teks sastra sering kali diuraikan dengan melihat sejarah. Menurut Ryan ( 2011; 217) menuturkan sesungguhnya sejarah merupakan pisau analisa yang kuat untuk menganalisis teks sastra, karen amemiliki dasar yang kokoh untuk memancangkan pernyataan yang berkenaan dengan makna. Menurutnya sebuah karya sastra sejarah bukan sekedar teks dengan nilai-nilai universal melainkan memiliki unsur politik atau beberapa polemik terselubung yang maknanya diberikan oleh dunia kesejarahan pada masa teks karya sastra tersebut ditulis.
Pernyataan diatas menunjukan bahwa dalam diskursus histiografi dan sastra tentang persoalan kebenaran sejarah atau objektivitas perlu dipertanyakan kembali baik posisi, fungsi, maupun legitimasinya. Dengan demikian, dalam analisis interprestasi suatu karya sastra yang memiliki nilai sejarah pada masa lampau yang dipandang sebagai jalinan diskursus yang saling berkaitan satu sama lain. Dalam hal demikian New Historism Grenblatt mendapat relevansinya (Fathoni, 2013: 4).
Sebagai suatu diskursus yang memiliki jalinan dengan kekuasaan, baik sejarah, sastra, politik,  maupun budaya, satu diantaranya tidak dapat dilibatkan. Dari aspek teresebut kemudian muncul anggapan bahwa praktik analisis, pembacaan dan penulisan suatu teks sastra merupakan tindakan politis.demikian pula dengan budaya, sebagai salah suatu diskursus yang pada umumnya dipahami berkenaan engan kepercaayaan, kebiasaan, moral, seni dan hukum yang dianut oleh masyarakat. Budaya tidak mempunyai arti apa-apa, hanya secara samar menunjuk pada ragam dari keampuan dan kebiasaan yang diadopsi oleh manusia. Lebih lanjut Grenblatt meredifinisikonsep budaya dalam suatu kontruksi “fashion”, yang secara ironis dan satire menunjukkan bahwa dalam perilaku dan praktiknya dikondisikan, dibentuk, yakni masyarakat menyesuaikann diri dengan ukuran atau standar nilai yang mengandung ketidak leluasan dan mobilitas (Grenblatt, 1995: 478).
Lebih lanjut menurut Grenblatt mengenai teks dalam suatu teks diskursus merupakan produk dan komponen fungsional dari formasi sosial dan politis. Teks sastra sebagai produk material dari kondisi historis tertentu, baik sastra ataupun sejarah merupakan hasil dari interprestasi pengarang atau penulisnya yang tidak dapat dilepaskan dari kondisi di dalam lingkup kehidupannya. Maka dari itu, suatu kajian baik teks sastra maupun teks sejarah menjadi suatu agen dalam pengkonstruksian suatu pengertian alias realitas budaya, atau dengan kata lain sebagai suatu kendaraan yang memiliki potensi bagi kekuasaan dan perlawanan. Dengan demikian, objek kajian Grenblatt adalah bukan teks atau konteksnya, bukan sastra atau sejarahnya, tetapi lebih pada sastra ‘dalam’ sejarah (Brannigan, 1998: 3-6).
Perlu dicatat, bahwa asumsi pokok tentang sastra sebagian dari kekuatan budaya yang dikemukakan oleh para penggagas New Historicism tidak sepenuhnya baru. Di Inggris pendekatam Cultural Matrealisme yag dipelopori oleh Raymond Williams, telah menekankan pada betapa pentingnya menganalisis berbagai jenis pemandangan dan pemaknaan termasuk sastra, dengan menempatkannya pada masanya (Budianta, 5: 2006).
Latar belakang munculnya New Historisme adalah kekurang bermanfaatan ilmu sastra dalam kehidupan masyarakat. Ilmu sastra hanya mengkaji teks yang terkandung dalam karya sastra, baik puisi, prosa maupun novel. Krisis itu kemudian melahirkan gerakan pengembangan dengan menempatkan karya sastra sebagai hasil budaya masyarakat, sehingga memiliki kaitan historis yang kompleks dengan dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Salah satu tokoh utamanya adalah Foulcaut. Dua karya utamanya yaitu, The Archeology of Knowledge dan History of Madness menjelaskan bahwa kebenaran pengetahuan secara cultural merupakan kebenaran subyektif. Selain itu, eksplorasinya tentang konsep kegilaan sampai pada kesimpulan bahwa kebenaran memiliki kaitan erat dengan kekuasaan (Sastro, 2015).
New Historisme telah memunculkan pola analisis yang khas, yakni memulai telaah dengan anekdot, peristiwa atau teks pada zaman yang dipelajari, yang remeh-temeh atau luput dari perhatian dan mengupasnya secara rinci untuk mengangkat isu penting yang akan ditunjukkan dari zaman tersebut serta keterkaitannya dengan teks sastra yang akan dibahas (Budianta,13: 2006).

B.     Sejarah Munculnya New Historicism
Selama tahun 1940-1960an, new kritisme mendominasi pendekatan analisis sastra. Pada masa itu buku Theory of Literature (1942) Rene Wellek dan Austin Warren seperti menjadi kitab suci yang hanya memfokuskan pada orientasi teks itu sendiri daripada memperhatikan relasi dengan pembaca, pengarang, dan persoalan historisnya. Pada tahun 1970an dan awal 1980an muncul pendekatan alternatif pada interprestasi tekstual yang melawan dominasi pendekatan sebelumnya. Dalam tradisi lama baik new kritisme atau formalisme mengasumsikan bahwa teks bersifat historis dan terisolir dari relasi dengan yang lain termasuk konteks historisnya. Asumsi demikian mengikuti pandangan dari tradisi old historisme (Fathoni, 10: 2013).
Kata New Historisme pertama kali diperkenalkan oleh Stephen Grenblatt dalam sebuah edisi jurnal Genre di tahub 1982, menawarkan perspektif baru dalam kajian budaya, yakni dengan mengenalkan keterkaitan antara teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, politik yang melingkupinya (Budianta, 2: 2006).
Kelahiran New Historisme tidak dapat dilepaskan dari dinamika ilmu pengetahuan, khususnya kajian sastra. Sejak perang dunia II, kajian sastra menjadi disiplin yang eksklusif. Mereka membahas berbagai karya sastra dari aspek keindahan, struktur kebahasaan dan pesan-pesan tekstual yang terkandung didalamnya. Pada tahun 1960an diantara para profesor sastra Eropa daratan muncul keinginan untuk menjadikan disiplin sastra memiliki peran dalam memahami dan memecahkan problem sosial aktual. Untuk itu, karya sastra perlu dilihat tidak lagi hanya secara eksklusif dari aspek estetika, tetapi ditempatkan sebagai representasi atau produk budaya dari zamannya.
Perubahan paradigma dalam memandang karya sastra melahirkan gerakan “kembali ke sejarah” dalam arti mengkaji historitas dari teks karya sejarah (the historicity of the and textuality of history). Kajian historisitas teks karya sastra menjadikan penelitian tentang kondisi masyarakat yang melingkupi (istilah Sartono Kartodjo: konteks) kehidupan sastrawan penulisny, baik melalui sumber primer maupun histiografi, merupakan keharusan untuk dilakukan. Dalam konteks ini, karya sastra secara tidak langsung diuji keasihan interprestasinya (tektualitas sejarah) (Sastro, 3: 2015).
Lebih lanjut menurut Grenblatt, teks dalam suatu diskursus merupakan sebagai produk dan komponen fungsional dari formasi sosial dan politis. Teks sastra sebagai produk material dari kondisi historis tertentu. Sebagai suatu teks yang dituliskan, baik sastra ataupun sejarah merupakan hasil dari interprestasi pengarang atau penulisnya yang tidak dapat dilepaskan dari kondisi yang melingkupinya. Maka, suatu teks baik sastra maupun teks sastra maupun teks sejarah menjadi suatu agen dalam pengkonstruksian suatu pengetian atas realitas budaya, atau dengan kata lain sebagai suatu kendaraan yang membonceng potensi bagi kekuasaan dan sekaligus perlawanan terhadapnya. Dengan demikian, objek kajian Grenblatt adalah bukan teks atau konteksnya, bukan sastra atau sejarahnya, tetapi lebih pada sastra ‘dalam’ sejarah (Brannigan, 1998: 3-6).
Demikian pula pembacaan (baik yang dilakukan oleh pengarang maupun pembaca) mengenai masa lampau diinformasikan oleh keadaan historis yang memuat nilai politik (kekuasaan). Pembacaan yang menekankan kesadaran diri atau 9keberadaan subjek) dalam pencarian makna masa lampau akan menghadapi kesulitan, kecuali dengan melalui kaca mata dan kontruksi kultural masa kini (Blesser, 2002: 88-89). Dengan demikian, budaya memiliki batasan-batasan sekaligus budaya sebagai suatu keseluruhan yang kompleks (Grenblatt, 1995: 480).
Maka tugas penting kritik sastra adalah merekonstrukisi batasan-batasan itu yang didasarkan pada kehidupan, yang dinyatakan melalui suatu teks (Grenblatt, 1995: 478).pembacaan suatu teks merupakan praktik kritis dalam menyjikan adanya relasi-relasi kekuasaan agar tampak (visible), bahkan relasi tersebut sampai pada diri subjek (Brannigan, 1998: 7).
Gerakan “kembali ke sejarah” yang dimunculkan para ahli sastra di daratan Eropa dan berkembang meluas ke Inggris dan Amerika Serikat dan dalam taraf tertentu dapa dikatakan sebagai mencapai kematangan. Istilah New Historisme sendiri diperkenalkan oleh Stephen Jay Grenblatt pada awal tahun 1980-an dalam kajian-kajiannya tentang puisi kultural. Menurutnya, New Historisme bukanlah doktrin, tetapi lebih merupakan model kerja atau best practice. Secara sederhana New Historisme adalah metode penilitian tentang masa lampau berdasar penempatan dokumen historis dan non historis (karya sastra, dll), antara sumber tertulis dengan non tertulis (gambar, anekdot, dll) sebagai sumber yang sama-sama penting. Oleh karena kajian yang dilakukan lintas disiplin, new historisme lebih dikenal sebagai bagian dari Cultural Studies atau kajian budaya (Sastro, 2: 2015).

C.    Konsep dan Penerapan Teori New Historicism
Berbeda dengan New Critisism yang membedakan karya sastra canon dan yang picisan dengan suatu standart estetika yang dianggap universal dan baku. New Historisme melihat perbedaan semacam itu sebagai contoh bagaimana kekuatan sosial berperan dalam ruang estetik. Dalam hal ini merevisi asumsi New Criticisism dengan menunjukkan bahwa yang dianggap universal tak terjamah waktu, dan alami hanya bersifat lokal, terbentuk oleh sejarah dan merupakan sosial. Selain menggugat formalism, Grenbaltt juga menawarkan pembaharuan atas pendekatan sejarah. Pembaharuan terhadap dominannya kritik sastra di Amerika yang cenderung melihat karya sastra hanya sebagai cermin yang transparan dan pasif merefleksikan budaya masyarakatnya. Perspektif baru, karya sastra membangun, mengartikulasikan dan memproduk konvensi, norma dan nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinasi kreatifnya (Grenbaltt dalam Keesey, 1994). Teks merupakan produk historis pada zamannya, pada saat yang sama teks juga menghasilkan dampak sosial (Budianta, 4: 2006).
Dalam konvensi sastra tradisional, novel sejarah dipahami sebagai teks sastra yang di dalamnya memuat peristiwa dan kehidupan tokoh sejarah. Sedangkan sejarah, dalam pandangan ini, dimaksudkan sebagai masa lampau yang ditulis oleh sejarahwan yang memiliki kemampuan tertentu dalam menulis sejarah. Dengan demikian, kebenaran mengenai masa lampau dapat ditemukan dan bersifat objektif dan pasti didalam sejarah. Sementara teks sastra yang ditulis bukan dengan struktur ilmiah hanya menjumput sejarah untuk dijadikan sebagai background dari narasinya.
Namun, pandangan yang terakhir belakangan ini terloihat diragukan dan secara luas kebenaran sejarah tampak dipertanyakan; benarkah kenyataan masa lampau dapat diketahui secara lengkap, dan benarkah masa lampau yang ditulis dalam sejarah yang sampai pada masa kini benar-benar bersih subjektivitas penulisnya dan kepentingan tertentu. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini mengemuka kembali terutamasetelah berakhirnya dominasi otoritas orde baru.lebih-lebih tampak dipersoalkan kebenaran peristiwa sejarah G 30 September. Kaitannya dalam sastra mengenai hak ini, diantaranya tulisan Adi Wicaksono dan Yosep Yapi Taum (UGM, 2012) cukup memberikan gambaran mengenai perbedaan perspektif ideologis karya sastra pada masa tersebut, bahwa sejarah yang ditulis tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kekuasaan. Dengan demikian, objektivitas sejarah diragukan kebenarannya (Fathoni, 10: 2013).
Aspek politis dan ideologis bermain dalam produk budaya, hal tersebut terkait dengan persoalan relasi kuasa dalam tatanan masyarakat. Kajian-kajian New Historisism banyak bertumpu pada konsep kekuasaan Michae Foucoult. Menurut Foucoult, kekuasaan tidak dilihat sebagai suatu hal yang negatif, melainkan suatu keniscahyaan yang adil dalam setiap interaksi sosial, termasuk dalam bahasa. Relasi kuasa dalam hal ini tidak dilihat secara satu arah yang linier atau vertical, sebagai entitas yang diperebutkan atau dipakai untuk menindas atau memberontak, melainkan berpotensi untuk bersirkulasi tanpa henti, mendorong kreativitas dan produktivitas budaya. Relasi kuasa hadir dalam setiap tindak bahasa, maka karya sastra dengan sendirinya menghadiri relasi kuasa tersebut melalui bahasanya sendiri. Sejumlah persoalan tentang prose produksi, reproduksi, apropriasi nilai budaya yang relevan dilontarkan sebagai permasalahan dalam menganalisis teks, menurut Grenbaltt antara lain:
1.      Perilaku atau praktik budaya apa yang didukung atau dikukuhkan oleh teks?
2.      Mengapa pembaca pada zaman tersebut menanggap karya tersebut bermakna?
3.      Adakah perbedaan antara nilai-nilai kritikikus dengan nilai karya yang diamati?
4.      Permasalahan sosial apa yang mendasari karya tersebut?
5.      Kebebasan berfikir atau bergerak siapa yang secara implisit dan eksplisit dibayangkan oleh karya tersebut?
6.      Apakah struktur sosial yang lebih luas terkait dengan apa yang disanjung atau dipermasalahkan oleh teks? (Grenbaltt dalam Kessey, 1994: 446).
Dalam kajiannya, New Historism menyandingkan teks sastra canon dengan karya sastra marjinal, atau dengan berbagai praksis budayayang terkait dengan suatu titik tertentu dalam sejarah secara kebetulan. Berbeda dengan pendekatan sejarah yang memakai teks dan produk budaya, New Historism cenderung memilih, nyaris secara acak, hal-hal yang tampak remeh dan tersiksa dari sejarah kemudian menyandingkannya dengan teks sastra yang telah dimaknai untuk mengetahui bagaimana suatu ideologi beroprasi di dalam suatu karya sastra.   
Dengan demikian sejarah sebanding sebagaimana halnya dengan sosiologi, politik, budaya, seni, sains, dan disiplin lainnya sebagaimana halnya dengan sosiologi, politik, budaya, seni dan sains dan disiplin lainnya sebagai diskursus dalam interprestasi suatu teks. Hal ini oleh New Historisme dipandang seperti halnya dengan praktik analisis teks sastra yang mengangkat inter-relasi antara aktivitas manusia. Sebagai suatu diskursus yang memiliki jalinandengan kekuasaan (power), baik sejarah, politik, maupun budaya, satu diantaranya tidak dapat dilibatkan. Hal inilah yang kemudian muncul anggapan bahwa praktik analisis, pembacaan dan penulisan suatu teks merupakan tindakan politis.
Hubungannya dengan individu dan masyarakatnya sebagai bagian darinya dan budaya yang melingkupinya, bagi Grenbaltt keduanya saling berjalin. Bahkab seluruh aktivitas manusia saling pengaruh-mempengaruhi (interconected) secara kompleks (Bressler, 2002: 2002: 185). Subjektivitas (individual atau self), menurut Grenbaltt (1988: 88) dikontruksi oleh kode kultural, oleh kontruksi sosial dan oleh bahasa sebagaimana yang diciptakan oleh diskursus yang beragam sehingga posisi atau keadaan sunjek tidak otonom dan terisolasi (Fathoni, 10: 2013).
Sastra dalam hal tersebut dilihat sebagai bagian dari sistem yang membentuk sebuah budaya tertentu. Dalam penerapannya New Historism tidak dimualai dari teori atau pendekatan, tetapi dari teks, lalu melihatnya sebagai permasalahan yang ditawarkan oleh teks untuk diangkat sebagai bahan penelitian. Pada saat yang sama, berbagai kosep, teori, model pengkajian yang dibaca dan di telaahmngalami proses internalisasi, sehingga memberikan gambaran yang memungkinkan menangkap permasalahan tertentu dalam teks.
Sejak kemunculanya New Historism telah banyak memberikan sumbangan bagi pengembangan wawasan. New Historism memunculkan pola analisis yang khas, yakni memulai telaah dengan peristiwa atau teks pada zaman yang dipelajari, yang remeh temeh luput dari perhatian, dianalisis dan dikupasnya secara rinci untuk menunjukkan isu penting yang akan ditunjukkan dari zaman tersebut serta keterkaitannya dengan teks sastra yang akan dibahas. Dengan kata lain sumbangan New Historism adalah mempelopori penjelajahan sejarah dibidang sastra dengan memakai wawasan dan konsep-konsep postruktural (Budianta, 13-14: 2006).
Dalam kajiannya baik secara teoritis dan preaktik, Grendbaltt lebih fokus pada persoalan sejarah dan sastra. Perluasan disipliner yang meliputi kajian tekstualitas, bahasa, dan representasi pada dasarnya berbasis pada analisis historis. Hal ini merupakan efek dari krititisme sastra terhadap sejarah, yakni dengan membaca sejarah sebagai sebuah teks (Brannigan, 1998: 9).
Relasi kedua disiplin Grendbaltt ini oleh Montrose disebut dengan “tektualitas sejarah dan historisitas teks” (Brannigan, 1998: 84). Maka tekstualitas sejarah mengasumsikan adanya perbedaan historis, sedangkan historisitas teks mengacu pada pembacaan suatu teks. Kemudian Grendbaltt menyebutnya dengan puitika kultural. Puitika kultural pertama kali dipublikasikan pada tahun 1988 dalam Shakespearean Negosiation dimana dalam bab pertamanya memuat deklarasi “puitika kultural” (Grenbaltt, 1998: 5).
Puitika kultural meyakini bahwa makna berkembang atau disusun dari interaksi diskursus sosial yang berjejalin dan beragam, dan tidak ada hierarki diskursus diperlukan dan mesti diperiksa dalam proses analisis tekstual. Kemudian, dalam proses interpetasi juga memasukkan pertanyaan-pertanyaan mengenai asumsi metodelogis untuk membedakan makna disetiap diskursus dan setiap praktisi, tidak ada satu diskursus atau metode ataupun triktik yang dapat mengungkap suatu kebenaran dengan pengisolasian dari diskursus lainnya (Bressler, 2001: 189).
Tulisan Grendbaltt ini kemudian dipublikasikan kembali dalam practicing New Historism pada bagian pertama, sedangkan ada bagian kedua Gallagher melalui tulisan “Counterhistory and the Anecdote” menambahkan pandangannya mengenai konsep anecdote. Gallagher mencoba menjelaskan komitmen pada particularitas dan anecdot dalam kontek historiografi. Menurut Callagher (2000:49-50), anekdot merupakan efek atau respon dari bentuk totalisasi dan generalisasi sejarah atau nerasi historis. Baik Grendbaltt maupun Gallagher dalam hal ini lebih memperhatikan New Historism pada lima aspek yakni pada:
1.      penggunaan anekdote,
2.      penggunaan representasi,
3.      tertarik dengan sejarah dari rangkaian atau gugusan,
4.      memperhatikan pada hal-hal kecil yang diabaikan,
5.      analisis idiologis secara skematis.



D.    Contoh Kajian New Historism

KEKERASAN NEGARA ORDE BARU TERHADAP RAKYAT DALAM TEKS SASTRA INDONESIA: STUDI NEW HISTORICISM
Oleh: Akhmad Taufiq
(Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember)

Sumber data dalam kajian ini yakni teks sastra Indonesia yang mencakup tiga karya, yaitu Penembahan Reso drama karya W.S. Rendra, Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah drama karya Ratna Sarumpaet dan Novel Laskar Pelangi novel karya Andrea Hirata. Teks sastra tersebut dipandang memiliki relevansi yang kuat dalam merekam dan memotret kekuasaan OrdeBaru.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bagian ini, dijelaskan beberapa hal penting yang berkenaan langsung dengan kekerasan negara Orde Baru terhadap rakyat yang terdapat dalam teks sastra Indonesia. Berikut Struktur Represif Kekuasaan oleh Orde Baru;
Struktur Represif Kekuasaan Orde Baru
Struktur represif dalam konteks ini, yakni seluruh bentuk suprastruktur Negara yang memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan paksa atas warga negara. Oleh karenanya, negara dalam konteks demikian kerap terjerumus untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama negara terhadap warga negaranya sendiri. Kekuatan suprastruktur negara itu tidak digunakan untuk memberikan kemanfaatan secara menyeluruh terhadap warga negaranya; sebaliknya, kekuatan suprastruktur ini digunakan untuk memberikan tindakan represif terhadap warga negara.
Foucault (1997:162) mengemukakan bahwa dalam rangka untuk melakukan tindakan represif itu, negara membangun teknologi kuasa dalam rengka melakukan pendisiplinan tubuh warga negaranya. Penghukuman dalam konteks itu dipandang sebagai strategi yang efektif untuk melakukan penaklukan atas tubuh-tubuh warga negara itu. Bahkan, dalam konteks represivitas negara terhadap warga negara, negara tidak jarang berada dalam bangunan panoptikon, yakni melakukan seluruh daya untuk melakukan kontrol terhadap warga negaranya.
Dibawah ini teks sastra yang dapat menggambarkan terjadinya tindakan represif atas kekuasaan Orde Baru.
Lelaki II                      : Hari ini kita menikmati buah dari kesabaran kita selama ini. Kita rasakan pahit getirnya tertindas oleh ketabahan dan keikhlasan yang kita berikan sendiri. Mereka todongkan senapan kehidung kita, kita surut. Mereka gilas rumah-rumah kita dengan traktor, kita bungkam. Mereka menyutut api memusnahkan kampung-kampung, kita terdiam. Hari ini kita akan membacakan dosa-dosa kita, lalu merayakannya dengan air mata kita sebagai saksinya. Kita dosa membiarkan orang-orang mengira mereka bisa berbuat sesukanya. Kita dosa tidak mempertahankan hak kita atas tanah yang diberikan leluhur kita kepada kita. Kita dosa membiarkan tanah ini, yang diperolehdari tanah penjajah dengan keringat dan darah, dikangkangi penjajah-penjajah baru…
Ibu                               : dia telah pergi, tergusur ke tempat dimana suaranya akan teredam… (Sarumpaet, 1997: 50-51).
            Dalam teks Marsinah Nyanyian dari Bawah Tanah  karya Ratna Sarumpaet digambarkan betapa represifnya kekuasaan Orde Baru. Penggusuran yang terjadi dalam teks merupakan represifnya dari fenomena penggusuran dalam realitas yang sebenarnya. Represivitas seperti itu jelas menyisakan kepedihan yang teramat dalam bagi rakyat. Terdapat dua kemanusiaan yang dirasakan oleh rakyat sebagai tindakan dari kekerasan represif seperti itu. Negara Orde Baru dalam konteks demikian menjadi kekuatan yang sangat menakutkan bagi rakyatnya melalui instrukmen suprastruktur yang dimilikinya. Pelaksana penggusuran yang terjadi itu jelas merupakan tindakan kekerasan negara yang dilakukan melalui instrumen suprastrukturnya. Instrumen negara itulah bertindak atas nama negara; yang seolah-olah rakyat dalam posisinya tidak dikategorikan sebagai bagian negara. Rakyat merupakan bagian lain atau bahkan di luar negara. Karena rakyat menjadi bagian lain dan di luar negara, maka kekuasaan negara–dalam hal ini negara Orde Baru–merasasah untuk memperlakukannya secara semena-mena. Kesemena-menaan itulah merupakan manifestasi dari kekuasaan negara yang sewenang-wenang. Kedaulatan rakyat dibangun bukan atas nama kedaulatan rakyat; melainkan dibangun atas dasar pendekatan kekuasaan semata-mata. Dalam kondisi seperti itu, maka fenomena seperti yang terjadi dalam kutipa data di atas menjadi tidak terhindarkan. Artinya, dapat dipastikan negara akan terjebak atau tergelincir menggunakan kekuasaan secara sewenang-wenang. Tindakan represif merupakan wujud daru kesewenang-wenangan negara Orde Baru.
            Lebih lugas dinyatakan dalam novel Laskar Pelangi, yang mendeskripsikan tentang bentuk kesewenang-wenangan aparatur negara yang merepresi rakyatnya. Dibawah ini kutipan data yang menunjukkan hal demikian itu. Gedong lebih seperti sebuah kota satelit yang dijaga ketat oleh aparat polsus (Polisi Khusus) Timah. Jika ada yang lancang masuk maka koboi-koboi tengik itu akan menyergap., mengintrogasi, lalu introgasi akan ditutup dengan mengingatkan sang tangkapan pada tulisan;
            “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” yang bertaburan secara mencolok pada berbagai akses dan fasilitas di sana, sebuah  power statement tipikal kompeni (Hirata, 2008: 43).
Hal yang serupa digambarkan pula dalam teks novel Laskar Pelangi. Dalan teks Laskar Pelangi wujud kesewenang-wenangan itu lebih tampak sebagai diskriminasi. Terdapat diskriminasi yang tajam yang dilakukan oleh kekuasaan Orde Baru, yang membelah masyarakan menjadi dua kelompok ekstrim secara ekonomi. Satu sisi, kelompok yang mewakili orang kaya, yang digambarkan dengan membangun kota satelit dan gedongan. Disis lain, kelompok masyarakat yang miskin dan serba kekurangan.
Kekuasaan orde baru melihat seperti ini tidak berusaha membangun kebijakan ekonomi untuk mendorong terjadinya pemerataan. Sebaliknya, terhadap Orde Baru membuat garis dekramasi yang sangat tegas dan disertai ancaman. Teks yang menyebutkan “DILARANG MASUK BAGI YANG TIDAK MEMILIKI HAK” merupakan bentuk penegasan dari kekuasaan dan sekaligus ancaman. Disebut demikian, karena terdapat konsekuensi hukum yang akan diterima oleh rakyat kecil (miskin) yang hidup diperkampungan bila berani melewati batas teritorial. Instrumen represif negaralah yang akan bertindak; yakni, polisi khusus perusahaan timah di Belitong yang sekaligus menggambarkan betapa efektifnya kekuatan didalam membangun jejaring kuasanya. Kekuasaan tidak jarang menjadi kekuatan panoktik yang senantiasa mengawasi gerak-gerik rakyat. Rakyat tidak lepas dari pengawasan negara. Negara dalam konteks itu dikategorikan sebagai kekuasaan negara panoktik, yakni negara yang selalu berupaya untukk mengawasi dan mengontrol rakyat melalui instrumen yang dimilikinya. Oleh karena itu, negara Orde Baru dalam konteks tersebut disebut negana panoktik atau negara panoktikon. Negara dalam konteks demikian menjadi kekuatan dan pihak yang menjadi serba tahu terhadap yang dilakukan oleh warga negaranya (Foucault, 1997: 162-165).
            Oleh sebab itu, negara kerap menjadi kekuatan yang senantiasa melakukan tindakan kekerasan; pengawasan dan kontrol negara terhadap rakyat yang dilakukan dengan cara menerapkan pembatasan-pembatasan itu juga merupakan manifestasi kekerasan.    
E.     Simpulan 
Latar belakang munculnya New Historisme adalah kekurang bermanfaatan ilmu sastra dalam kehidupan masyarakat. Ilmu sastra hanya mengkaji teks yang terkandung dalam karya sastra, baik puisi, prosa maupun novel. Krisis itu kemudian melahirkan gerakan pengembangan dengan menempatkan karya sastra sebagai hasil budaya masyarakat, sehingga memiliki kaitan historis yang kompleks dengan dinamika yang terjadi dalam masyarakat.
Sastra dalam hal ini dilihat sebagai bagian dari sistem yang membentuk sebuah budaya tertentu. Dalam penerapannya New Historism tidak dimualai dari teori atau pendekatan, tetapi dari teks, lalu melihatnya sebagai permasalahan yang ditawarkan oleh teks untuk diangkat sebagai bahan penelitian. Pada saat yang sama, berbagai kosep, teori, model pengkajian yang dibaca dan di telaahmngalami proses internalisasi, sehingga memberikan gambaran yang memungkinkan menangkap permasalahan tertentu dalam teks.





Daftar Pustaka
Budianta, Melani. 2006. SUSASTRA 3: Jurnal ilmu Sastra dan Buday. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Budianta, Melani. 2002. In the Margin of the capital: From Tjerita Boedjang Bingung to Si Doel Anak Sekolahan” dalam Keith Foulcher dan Tony Day (ed), Clearing a space: postcolonial Readings of Modern Indonesian Literature. Leiden: KITLV
Fathoni. 2013. New Historisme Grenblatt: Identifikasi dan Relevansi dalam Kritik Sastra dalam blog Fathoni
Grenblatt. 1994. “Culture” dalam Context for Criticsm. Mountain View. California: Mayfield Publishing Company.
Kessey, Donald. 1994. Historical Critism II: Culture as Context” dalam Context for Critiscm. California: Mayfield Publishing Company.

TEORI POSTRUKTURALIS (POSTMODERN) SASTRA



TEORI POSTRUKTURALIS (POSTMODERN) SASTRA
OLEH
Jose Da Conceicao Verdial

1. PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Sejalan dengan berkembangnya karya sastra, berkembang pula teori-teori dalam mengkaji karya sastra tersebut. Banyaknya teori sastra yang hadir merupakan bukti bahwa tidak ada satu teori yang dianggap sempurna. Meskipun demikian, tidak dapat diingkari bahwa teori baru penyempurna teori yang sebelumnya. Yang termasuk di antara teori-teori yang berkembang tersebut adalah postmodernisme dan postrukturalisme.
Postmodernisme, berasal dari kata post + modern + isme, yang berarti paham sebuah modern, dan postrukturalisme, dari kata post + struktur + isme, yang berarti paham sebuah struktur, baik secara historis pragmatis maupun intelektual akademis memiliki kaitan yang sangat erat. Prefiks “post” dengan padanannya, seperti “para” dan “akhir”, sudah digunakan jauh sebelumnya, seperti postindustri, para-Marxis, akhir manusia, akhir sejarah, dan sebagainya. Dalam tradisi kebudayaan Barat, istilah postmodernisme pada dasarnya telah muncul sekitar tahun 1870-an, digunakan oleh seniman Inggris John Watkins Chapman. Menurut Kohler dan Hasa (dalam Ratna, 2011:146) istilah postmodernisme baru muncul kembali tahun 1930-an, melalui Federico de Onis, sebagai salah satu reaksi stagnasi modernisme.
Postrukturalisme adalah teori-teori sastra sesudah strukturalisme. Teori strukturalisme yang berkembang sejak tahun 1930-an, setelah dievaluasi selama kurang lebih setengah abad, maka sekitar tahun 1980-an direvisi oleh teori postrukturalisme, dengan mempersempit pretense-pretensi ilmiahnya.
Adapun hal yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain, (a) problematika teori postmodernisme dan postrukturalisme sastra, (b) sejarah teori postmodernisme dan postrukturalisme sastra, (c) konsep teori postmodernisme dan postrukturalisme sastra, (d) cara penerapan teori postrukturalisme sastra, dan (e) contoh analisis karya sastra dengan teori postrukturalisme sastra.

1.2    Rumusan Masalah
Berikut rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini.
1.    Bagaimana problematika teori postmodernisme dan postrukturalisme?
2.    Bagaimana sejarah teori postmodernisme dan postrukturalisme?
3.    Bagaimana konsep teori postmodernisme dan postrukturalisme?
4.    Bagaimana penerapan teori postmodernisme dan postrukturalisme?
5.    Bagaimana contoh kajian karya sastra dengan teori postrukturalisme (postmodernisme)?

1.3    Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.    Untuk mengetahui problematika teori postmodernisme dan postrukturalisme.
2.    Untuk mengetahui sejarah teori postmodernisme dan postrukturalisme.
3.    Untuk mengetahui konsep teori postmodernisme dan postrukturalisme.
4.    Untuk mengetahui penerapan teori postmodernisme dan postrukturalisme.
5.    Untuk mengetahui contoh kajian karya sastra dengan teori postrukturalisme (postmodernisme).















2.      PEMBAHASAN
2.1    Problematika Teori
Sejalan dengan berkembangnya karya sastra, berkembang pula teori-teori dalam mengkaji karya sastra tersebut. Banyaknya teori sastra yang hadir merupakan bukti bahwa tidak ada satu teori pun yang dianggap sempurna. Meskipun demikian, tidak dapat diingkari bahwa teori baru yang muncul baik secara langsung maupun tidak langsung tidak dapat dilepaskan dari teori-teori sebelumnya. Yang termasuk di antara teori-teori yang berkembang tersebut adalah postmodernisme dan postrukturalisme.
Postrukturalisme berkembang sejajar dengan postmodernisme, dengan tujuan yang relatif sama, tetapi dengan tradisi dan latar belakang sosial yang berbeda. Postrukturalisme lahir sebagai akibat stagnasi strukturalisme, sedangkan postmodernisme lahir sebagai akibat jalan buntu modernisme. Secara historis zaman modernisme berkembang sejak abad ke-17 hingga abad ke-20, bersamaan dengan munculnya zaman Renaissance, dengan ciri-ciri utama pemujaan terhadap dunia teknologi. Sebagai gejala kultural, postrukturalisme dianggap bagian dari postmodernisme. Dengan kata lain, postrukturalisme merupakan tradisi intelektual postmodernisme.
Perlu dipahami sebelumnya bahwa dengan lahirnya postrukturalisme dan postmodernisme tidak berarti bahwa teori-teori terdahulu, yaitu strukturalisme dan modernisme itu sendiri tidak bermanfaat dan harus ditinggalkan. Postrukturalisme dan postmodernisme adalah kelanjutan strukturalisme dan modernisme. Teori dan metode yang sudah membawa manusia pada suatu tingkatan peradaban yang sangat canggih. Dua alasan kuat yang dapat dikemukakan untuk menunjukkan bahwa postrukturalisme dan postmodernisme merupakan kelanjutan strukturalisme dan modernisme, yaitu:
1.    ciri-ciri terpenting yang dikemukakan dalam postrukturalisme dan postmodernisme pada dasarnya sudah terkandung dalam strukturalisme dan modernisme, tetapi pada saat itu ciri-ciri tersebut belum berhasil untuk didefinisikan secara akurat. Jadi, postrukturalisme dan postmodernisme hanya membangkitkan kembali segala sesuatu yang laten, tersembunyi, terlalaikan dan terlupakan, dan
2.    sebagai tokoh-tokoh postrukturalisme dan postmodernisme pada dasarnya adalah juga tokoh-tokoh strukturalisme dan modernisme (Ratna, 2005:142—143).
Teori postmodernisme dan postrukturalisme dikembangkan oleh beberapa tokoh. Teori postrukturalisme terdiri atas beberapa teori, yaitu teori resepsi sastra, interteks, feminis, postkolonial, dan dekonstruksi. Makalah ini akan menjelaskan lebih mendalam tentang konsep teori postmodernisme dan postrukturalisme.
2.2    Sejarah Teori
Postmodern itu sendiri muncul sebagai bagian era modern. Ketika postmodern mulai memasuki ranah filsafat, maka kata “post” dalam postmodern tidak dimaksudkan lagi sebagai sebuah periode atau waktu semata, tetapi lebih merupakan sebuah konsep yang hendak melampaui segala hal yang berbau modern (Sugiharto, 1996:121) Istilah ini pun dipakai secara leluasa dan otomatis membingungkan sebagai akibat dari dua sikap, yakni resistensi sekaligus pengaburan makna modernisme dan implikasi dari pengetahuan luas ikhwal modernisme yang kini sudah terlampaui era baru. Aliran ini mulai dikenal secara luas dalam dunia filsafat pada tahun 1960-an.
Filsafat modern yang dibawa oleh Descartes dianggap melahirkan berbagai dampak buruk untuk dunia di kemudian hari. Filsafat modern, bagaimanapun telah membawa dunia kepada perubahan yang sangat besar. Namun, di sisi lain ia juga mendapat kecaman dari berbagai pihak, khususnya aliran postmodernisme. Pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subyek dan obyek, spiritual-material, manusia-dunia, dan sebagainya, telah mengakibatkan objektisasi alam dan eksploitasi alam secara besar-besaran dan semena-mena. Akibatnya banyak pihak yang mengecam tindakan ini. Zaman modern yang selalu diasumsikan dengan kemajuan, ilmu pengetahuan, Hi-Tech, eksploitasi, rasionalitas dan lain sebagainya, ternyata tidak dapat diterima begitu saja oleh sebagian yang lain.
Pada tahun 1930-an, Arnold Toynbeelah yang memperkenalkan istilah postmodernisme. Postmodern merupakan reaksi dari modernism. Toynbee memperkenalkan postmodernisme atas dasar pertimbangan terjadinya pergeseran kebudayaan Barat ke arah irasionalitas dan relativisme. Secara definitif, pada dasarnya postmodernisme lahir 15 Juli 1972 pukul 3.32 sore, di St. Louis Missouri, dengan dihancurkannya bangunan perumahan Pruitt-Igoe. Menurut Charles Jencks, bangunan tersebut merupakan simbol modernisme sebab dibangun atas dasar teknologi modern dengan tujuan menciptakan masyarakat utopis. Sebagai gejala kebudayaan yang relative luas, postmodernisme muncul antara tahun 1960 hingga 1990 (Ratna, 2011:146).  Mulai tahun-tahun itulah prefiks “post” digunakan dalam berbagai bidang, seperti seni visual, musik, tari, film, filsafat, kritik, historiografi, teologi, dan sastra.
Kondisi sosial yang dianggap sebagai pemicu lahirnya postmodernisme dan postrukturalisme adalah gerakan mahasiswa yang terjadi di Perancis tahun 1968. Penolakan terhadap teori-teori Marxis yang dianggap tidak sesuai terhadap tradisi intelektual, khususnya dalam mengantisipasi kondisi masyarakat pasca Perang Dunia II, penolakan terhadap eksistensialisme Sartre yang juga mendukung Marxisme, dalam memenuhi subjektivitas manusia modern, dianggap sebagai sebab-sebab pokok timbulnya gerakan. 
Postrukturalisme merupakan produk dari pencampuran euforia dan ketidakpercayaan, pembebasan dan pembubaran, karnaval dan bencana, di tahun 1968. Karena tidak mampu mendobrak struktur kekuasaan negara, sebagai gantinya postrukturalisme melihat bahwa ia dapat menghancurkan struktur bahasa (Eagleton, 2010:205).
Tokoh terkemuka dan pelopor di kalangan pascastrukturalis Amerika adalah “Kelompok Yale” yaitu peneliti-peneliti di Yale University seperti Paul de Man, Geoffrey Haftman, dan lain-lain yang sangat dipengaruhi oleh dua ahli Prancis, yaitu Jacques Derrida dan Michel Foucault, yang keduanya sangat populer di kalangan ilmuan tertentu di Amerika Serikat (Teeuw, 1984:144). Tokoh postrukturalisme lainnya adalah Gerard Genette, Gerald Prince, Seymour Chatmann, Jonathan Culler, Hayden White, Mary Louis Pratt, Roland Barthes, Julia Kristeva, Umberto Eco, Jeans-Francois Lyotard, dan Jean Baudrillard (Ratna, 2011:163).
Semenjak tahun enam puluhan kedudukan new criticism di Amerika Serikat sangat digoncangkan. Terpengaruh juga oleh Nouvelle Critique dan penelitian di Eropa mengenai resepsi (cara seorang pembaca menerima sebuah teks). Kaum postrukturalis, sekelompok kritikus di Universitas Yale, dengan lebih tegas menolak pandangan New Criticism. Mereka ingin mendekonstruksikan teks lalu merekonstruksikan sebuah teks baru. Beberapa tokoh dari kelompok Yale itu adalah Paul de Man dan J. Hillis Miller. Maka di Amerika pun perhatian bergeser dari teks ke arah pembaca. Stanley Fish, seorang ahli estetika resepsi yang sangat berpengaruh, menerangkan pengalaman apa yang dirasakan pembaca bila ia membaca sastra. Perbedaan interpretasi dalam proses membaca akan timbul bila pembaca memiliki perbedaan pengetahuan bahasa, pengalaman literer, dan pandangan hidup. Arti sebuah teks tidak terdapat dalam teks itu sendiri atau dalam strukturnya, arti merupakan sebuah proses, sesuatu yang terjadi bila pembaca membaca teks tertentu. Inilah yang melatarbelakangi munculnya aliran postrukturalisme atau postmodernisme (Luxemburg, 1984:59—60).
Tokoh utama dalam pembangunan postrukturalisme adalah Jacques Derrida. Gilles Deleuza sebenarnya berkembang ke arah posisi postrukturalis kurang lebih bersamaan dengan Derrida, namun pengaruh Deleuze baru terasa setelah Derrida membuka jalan untuk pertama kalinya. Datangnya postrukturalisme ditandai oleh pengaruh besar ketiga buku Derrida yang muncul di tahun 1967: Writing and Difference, Speech and Phenomena, dan Of Grammatology. Derrida membangun teori bahasa postrukturalisnya setelah melakukan dekonstruksi atas teori bahasa fenomenologisnya Edmund Husserl (Harland, 2006:176).
Postrukturalisme memandang bahwa teori terdahulu ternyata memiliki sejumlah kelemahan dan dipandang sangat perlu untuk diperbaiki. Pada umumnya kelemahan strukturalisme dapat diidentifikasi sebagai berikut.
1.    Model analisis strukturalisme, terutama pada awal perkembangannya dianggap terlalu kaku sebab semata-mata didasarkan atas struktur dan sistem tertentu.
2.    Strukturalisme terlalu banyak memberikan perhatian terhadap karya sastra sebagai kualitas otonom, dengan struktur dan sistemnya, sehingga melupakan subjek manusianya, yaitu pengarang dan pembaca.
3.    Hasil analisis dengan demikian seolah-olah demi karya sastra itu sendiri, bukan untuk kepentingan masyarakat secara luas (Ratna, 2011:143—144).
4.    Karya seni tidak bisa diteliti secara terpisah dari struktur sosial.
5.    Adanya keraguan terhadap struktur objektif karya.
6.    Karya dilepaskan dari relevansi pembacanya.
7.    Karya sastra juga dilepaskan dari relevansi sosial budaya yang melatarbelakanginya.
Oleh karena itulah, strukturalisme  perlu disempurnakan, yang secara keseluruhan dilengkapi oleh postrukturalisme.  Kelahiran postrukturalisme dimaksudkan dapat mengantisipasi berbagai distorsi sistem semantis sehingga karya seni, khususnya karya sastra benar-benar berfungsi dalam kehidupan masyarakat.
Dalam sastra, postrukturlisme memperoleh posisinya yang lebih kuat tahun 1970-an, dengan adanya penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Jean-Francois Lyotard, Jaccques Derrida, dan Jean Baudrillard. Sementara di Indonesia, postrukturalisme diterima sekitar tahun 1980.

2.3    Konsep dalam Teori
2.3.1   Postmodernisme
Pascamodernisme dapat kita lihat sebagai kelanjutan modernisme, jadi kelanjutan realisme. Keraguan yang disajikan oleh pascamodernisme bersumber pada anggapan bahwa kenyataan adalah tidak pasti. Jadi penggambaran “realistis” tentang kenyataan tak-pasti tidak mungkin berbentuk realistis dalam arti tradisional. Maka di sini pun ada paradoks yang menghasilkan pandangan baru tentang gagasan mengenai kenyataan dan suatu aliran baru sastra (Luxemburg, 1989:204). Tak ada alasan untuk menganggap bahwa kita semua hidup dalam kenyataan yang sama, kita tak dapat membuktikan hal itu karena realitas tak mungkin dikenal. Mungkin saja ada lebih dari satu dunia yang berada berdampingan, tetapi tidak mungkin sejalan. Di segi lain keraguan tersebut berarti bahwa dunia-dunia tersebut hanya “ada” atau dapat dimasuki melalui bahasa. Menurut pascamodernis bahasa mendahului pembentukan dunia yang kita alami. Kekerasan atau cinta adalah pengalaman yang pernah kita dengar atau kita baca, sebelum kita jumpai sendiri. Pengalaman tersebut pertama kali dibentuk oleh cerita mengenai pengalaman itu. Hal ini tidak mengurangi intensitas pengalaman tersebut, tetapi memperbesar peranan cerita dan bahasa dalam pengalaman itu (Luxemburg, 1989:192—193).
Masalah yang dikemukanan oleh pengarang pascamodernis adalah masalah yang bertalian dengan status keberadaan dunia dan kemungkinannya untuk diungkapkan dalam bahasa. Keraguan para modernis merupakan suatu ketidakpastian epistomologis, tetapi para pascamodernis menyorot masalah-masalah ontologis. Istilah ini berasal dari kata dasar Yunani ont—yang berarti berada. Pengarang pascamodernistik cenderung menggambarkan unsur-unsur science fiction atau ciri-ciri novel sejarah. Dalam kedua ragam ini batas-batas antardunia dilintasi. Bahwa science fiction melintasi batas antardunia tak akan diingkari oleh siapa pun. Di dalamnya makhluk dari masa depan, dari planet luar, dari perut bumi bersentuhan dengan manusia “biasa”. Novel historis, bahkan dalam bentuk tradisional juga mencakup pelintasan batas. Hal ini paling jelas terlihat apabila tokoh historis digambarkan, misalnya Lenin, yang pikirannya diungkapkan, padahal tak mungkin ada orang yang mengetahuinya. Dalam roman sejarah yang lain pengarang berusaha sekuat tenaga untuk menyamarkan pelintasan semacam itu. Untuk itu digunakan sarana realistik. Sebaliknya dalam roman sejarah pascamodernistik pelintasan batas justru disorot. Latar belakang sejarah digunakan untuk menciptakan dan menonjolkan pertentangan. Pelintasan batas seperti itu sebagai sarana utama oleh pengarang pascamodernisme dipakai untuk menggambarkan keraguan ontologis yang mereka hadapi. Anggapan bahwa dunia nyata adalah sesuatu yang dihasilkan oleh bahwa di sini diketengahkan secara eksplisit (Luxemburg, 1989:197—198).
Pascamodernisme tidak mengingkari fakta-fakta dan kenyataan, justru sebaliknya, akan tetapi fakta tersebut ditimbulkan karena pandangan-pandangan yang melalui bahasa dan budaya telah mempersiapkan kita untuk menerima kejadian yang tak mungkin diterima. Berdasarkan konsep pascamodernisme, bahasa kita anggap bertanggung jawab atas apa yang terjadi, dan dengan demikian kita dapat mempradugakan dan mempengaruhi perkembangan yang membahayakan dalam taraf ini. Dampak dari strategi kesastraan bertujuan pengasingan yang dikembangkan oleh pascamodernisme ialah menyadarkan pembaca akan kekuatan bahasa dalam sejarah (Luxemburg, 1989:203).
Timbulnya postmodernisme jelas merupakan akibat ketidakmampuan modernisme dalam menanggulangi kepuasan masyarakat, yaitu berbagai kebutuhan yang berkaitan dengan masalah sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan pada umumnya. Pada masa ini, konsumerisme merupakan perkembangan mutakhir kapitalisme, sebagaimana pembaca dianggap sebagai komponen pokok dalam perkembangan teori sastra kontemporer.
Postmodernisme muncul untuk mengoreksi linearitas modernisme. Tujuannya jelas untuk mengembalikan kesadaran bahwa ada yang lain, the other, di luarnya, di luar wacana hegemoni. Motto dari postmoderisme adalah berpikir secara global, bertindak secara lokal, universe telah tergantikan oleh multiverse.
Menurut konsep postmodernisme, kehadiran wacana baru tidak dengan sendirinya menghancurkan wacana yang lama, sebaliknya, melihat sebagai hubungan dialogis, dengan mekanisme interaksi yang saling menguntungkan. Apabila dalam modernisme manusia hidup dalam sistem, sebagai struktur, maka dalam postmodernisme manusia dimungkinkan hidup secara lebih bebas, sebagai destruktur.
Menurut Robert Dunn (dalam Ratna, 2011:151) yang membedakan ciri-ciri modernisme dengan postmodernisme, di antaranya:
a.    pergeseran nilai yang menyertai budaya massa dari produksi ke konsumsi, dari pencipta ke penerima, dari karya ke teks, dari seniman ke penikmat,
b.    pergeseran dari keseriusan (intelektualitas) ke nilai-nilai permainan (populer), dari ke dalaman ke permukaan, dari universal ke particular,
c.    kebangkitan kembali nilai-nilai estetis periode 1960-an,
d.   munculnya politik representasi periode 1970-an yang menentang struktur otoritas, dan
e.    kebangkitan kembali tradisi, primordial, dan nilai-nilai masyarakat lama lainnya.
Menurut Hutcheon (dalam Ratna, 2011:154) ciri-ciri teori postmodernisme dan postrukturalisme adalah penolakan terhadap adanya satu pusat, kemutlakan, narasi-narasi besar, metanarasi, gerak sejarah yang monolinier. Postrukturalisme menolak sistem pemikiran tunggal (homologi), seperti ras, agama, laki-laki dan sebagainya, dengan menawarkan sistem pemikiran plural (paralogi). Narasi besar haya satu sedangkan narasi kecil merupakan hasil setiap orang yang bersikap demokratis, aktif, partisipatif, dan kreatif. Postmodernisme mensubversi uniformitas, homogenitas, dan totalisasi, dengan memberikan intensitas pada perbedaan-perbedaan, relativitas, dan pluralisme. Postmodernisme mengakui identitas lain, sebagai relativisme budaya.

2.3.2   Postrukturalisme
Postrukturalisme Derrida merupakan versi postrukturalisme yang paling awal dan sangat penting; namun meski demikian bukanlah versi satu-satunya. Versi lain yang bobotnya nyaris serupa adalah versi yang diasosiasikan dengan periode “genelogis”nya Foucault di tahun 1970-an. Dalam berbagai segi, “genealogi” Foucault bertolak dari titik mana periode “erkeologi”nya berhenti, dan kemudian meluas ke wilayah-wilayah diskursus baru yang berkampanye melawan sains dan humanisme. Dengan demikian, “genealogi-genealogi ... tepatnya merupakan ‘antisains’”; dan “genealogi (merupakan) sebentuk sejarah yang menerangkan konstitusi ilmu-ilmu pengetahuan, diskursus, ranah objek-objek, dan lain-lain, tanpa merujuk pada suatu subjek.” Akan tetapi, dalam segi-segi lainnya, ada perbedaan filosofis yang menentukan antara “arkeologi” dan “genealogi”. Dan walaupun Foucault tampaknya tidak dipengaruhi secara langsung oleh Derrida—dan bahkan memperlihatkan rasa benci yang mendalam terhadap Derrida—namun perbedaan ini akhirnya analog dengan perbedaan antara teori “langue” Saussure dengan teori “Tulisan” Derrida (Harland, 2006:220—221).
Saat Foucoult bergeser dari strukturalisme menuju postrukturalisme, begitu pula halnya dengan Kristeva dan Barthes. Kristeva dan Barthes lebih memusatkan perhatiannya pada bahasa ketimbang dengan politik. Postrukturalisme mereka adalah filsafat makna yang sebagian besar berasal dari Derrida. Kristeva misalnya sejak awal menghendaki terbentuknya semacam pemahaman tanda-tanda yang matematis-universal, sedangkan Barthes membayangkan suatu ilmu tentang kultur dan masyarakat yang sifatnya menyeluruh (Harland, 2006:238).
Kristeva dan Barthes lebih dekat secara khusus dengan versi Postrukturalisme Derrida, sedangkan Deleuze dan Guattari lebih dekat dengan versi postrukturalisme Foucault. Dalam perkembangan terakhir, Deleuze dan Guattari agaknya juga telah memengaruhi Foucault sekurangnya dalam taraf yang sama sebagaimana ia memengaruhi mereka. Khususnya, ciri khas Nietzschean-isme dari versi postrukturalisme ini tampaknya pertama kali diperkenalkan oleh Deleuze dalam karya-karya tunggalnya yang muncul lebih dulu, Nietzsche et la phiosophie (P.U.F., 1962) dan Difference et repetition (P.U.F.,1968). Sedangkan ketika berpasangan, Deleuze dan Guattari lebih banyak berbagi sikap pendirian politis dan filosofis yang sama dengan Foucault, namun menerapkan pendekatan analisis mereka sendiri yang khusus—yakni, psikoanalis (Harland, 2006:242).
Versi postrukturalis lainnya dapat dilihat dalam karya pemikiran Baudrillard. Sama seperti Foucault dan Deleuze dan Guattari, Baudrillard menggunakan suatu pendekatan politis terhadap sejumlah hal, namun pendekatan politisnya agak berbeda. Bahkan ketika ia mengkritik Foucault dan Deleuze dan Guattari, ia menekankan perbedaan tersebut sehingga kesannya perbedaan itu tidak mungkin terjembatani. Namun, pada dasarnya ini sekedar merupakan perselisihan antarfraksi di antara Foucault dan Derrida, dan tidak semestinya sampai membutakan kita pada kenyataan bahwa posisi teoritis umum yang ditempati Baudrillard juga sama-sama ditempati oleh para pemikir postrukturalis lainnya (Harland, 2006:252). 
Dasar pendekatan kelompok pascastrukturalis adalah ketakpercayaan terhadap bahasa: bahasa tidak mungkin mencerminkan kenyataan, atau tidak mungkin dicek berdasarkan kenyataan. Pemakaian bahasa dalam teks menciptakan sebuah kenyataan yang hanya terdiri dari dan dalam bentuk bahasa, sebagai dunia tanda. Bagi mereka tidak ada “arti” dalam arti biasa, yaitu sesuatu yang dapat kita verifikasi atau ukur dengan norma kenyataan. Setiap teks merupakan semacam tenunan yang tidak mungkin kita tentukan atau telusuri artinya yang definitif. Kalau kita tidak menelusuri seutas benang tertentu dari tenunan itu arti yang kita peroleh lain dengan arti yang kita temukan dalam menelusuri benang lain. Maka dari itu kritik teks menghasilkan apori, jalan buntu, karena tidak pernah ada kepastian. Setiap tindak pemberian arti memanfaatkan tanda yang sendiri perlu diberi arti, setiap tanda berdasarkan pertentangan, oposisi, tetapi setiap pertentangan sendiri berdasarkan tanda. Setiap kasus pemakaian bahasa berdasarkan pemakaian kasus-kasus lain, dan tidak dapat luput dari paradoks atau lingkaran itu (Teeuw, 1984:144—145).
Ciri khas postrukturalisme adalah ketidakmantapan teks. Makna karya ditentukan oleh apa yang dilakukan oleh teks, bukan apa yang dimaksudkan, sehingga terjadi pergeseran dari estetika produksi ke estetika konsumsi, penerima menjadi pencipta. Makna teks tidak diproduksi melalui kontemplasi pasif, tetapi partisipasi aktif. Karya bukan milik pengarang, melainkan milik pembaca, karya sebagai anonimitas, tidak ada karya pertama, semua intertekstual. Makna teks bergantung pada konteks, interaksi pada pembaca, teks tidak tertutup, tetapi terbuka sebab secara terus-menerus berinteraksi ke luar dirinya.
Postrukturalisme mencoba mengantisipasi berbagai keterbatasan analisis struktural yang sebagian besar diakibatkan oleh intensitas otonomi dan alienasi karya. Benar, melalui analisis objektif berhasil dibongkar unsur-unsur, antarhubungan, dan totalitas karya, tetapi hasil maksimal yang dicapai terbatas sebagai kualitas internal, bahkan cenderung bersifat involusi. Sebaliknya, dengan tidak melupakan ciri-ciri khas strukturalisme di atas, paradigma pascastrukturalisme justru membawa karya sastra ke luar, ke struktur sosial, ke struktur kebudayaan yang menjadi latar belakangnya. Di sinilah paradigma pascastrukturalisme mempersatukan sosiologi sastra, psikologi sastra, antropologi sastra, dan studi kultural pada umumnya, dengan cara masing-masing memandang karya sastra sekaligus sebagai struktur yang otonom dan kontekstual. Semua pendekatan pada dasarnya dimediasi oleh faktor yang sama, yaitu pembaca. Perbedaannya, apabila studi literer pada umumnya memberikan perhatian lebih banyak pada pembaca imajiner, studi kultural lebih banyak memberikan perhatian pada pembaca faktual (Ratna, 2005:143—144).
Menurut paradigma postrukturalisme, seperti telah disinggung di atas, pembaca menduduki posisi utama. Langkah pertama yang harus dilakukan untuk mengetahui manfaat karya sastra adalah membaca. Langkah kedua adalah mendengarkan, atau mendengarkan sambil membaca yang dapat dilakukan melalui media pementasan, penampilan, pembebasan, macapatan, dan tayangan televisi. Karya sastra hanya menyediakan saluran, instalasi, yang kemudian harus diakses oleh pembaca. Pembaca yang baik dan berhasil adalah pembaca yang dapat diarahkan oleh teks. Kualitas estetis, kenikmatan, dan dengan demikian makna, di satu pihak timbul justru pada saat pembaca dievokasi dan ‘dipermain-mainkan’ oleh teks (Ratna, 2005:144).
Sebagai salah satu ciri teori–teori postrukturalisme, dialogis dan interteks dengan demikian merupakan indikator perubahan sosiokultural sebab, di satu pihak postrukturalisme berhasil membongkar doktrin dikotomis yang menandai cara-cara pemahaman terhadap ilmu kemanusiaan sebagaimana dilakukan dalam strukturalisme. Oposisi biner, kaitan unsur-unsur dengan totalitas, misalnya, hanya berhasil membongkar karya pada tataran arti, bukan makna. Di pihak lain, postrukturalisme selalu memperhatikan yang lain, yang dulu dilupakan atau sengaja dilupakan (Ratna, 2005:146—147).
Apabila dalam model penelitian tradisional perhatian dipusatkan pada pengarang, tokoh-tokoh utama, tokoh pria, novel serius, sastra kota, maka dalam model penelitian postrukturalisme kancah perhatian bergeser pada pembaca, tokoh-tokoh komplementer, tokoh wanita, novel populer, sastra lokal. Karya sastra adalah objek, sedangkan metode dan teori adalah alat. Dalam bentuk fisik, sebagai naskah, karya sastra bersifat relatif tetap. Perubahannya terbatas dalam bentuk komposisi, penyuntingan, alih aksara, dan alih bahasa, yang pada umumnya merupakan objek studi filologi. Studi sastra yang sesungguhnya berkaitan dengan bentuk mental, baik sebagai wacana maupun teks. Bentuk mental bersifat dinamis dan cair sebab hadir melalui bahasa. Visi kontemporer, yang dirintis sejak lahirnya teori resepsi memandang karya, yaitu teks itu sendiri sebagai milik pembaca. Teori-teori postrukturalis secara keseluruhan bertumpu pada peranan pembaca seperti di atas. Dengan kalimat lain, melalui intensitas kompetensi pembaca, teori postrukturalisme menyediakan pemahaman terhadap studi multikultural (Ratna, 2005:150—151).
Di dalam teori postrukturalisme terdapat teori-teori yang masuk ke dalam ranah kelompok postrukturalisme. Teori-teori tersebut, yaitu teori resepsi, teori interteks, teori feminis, teori postkolonial, dan dekonstruksi.
2.3.2.1       Teori Resepsi Sastra
Secara definitif resepsi sastra, berasal dari kata recepire (Latin), reseption (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara penerimaan makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan antara karya dengan pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna, 2011:165).
Pembaca sebagai subjek transindividual, subjek yang berada dalam perkembangan sejarah, membawa teori resepsi sangat relevan dengan paradigma pascastrukturalis. Berkat adanya keterlibatan pembacalah hakikat multikultural bisa digali secara maksimal, bukan penulis. Penerimaan pembaca pada gilirannya merupakan gudang kultural sekaligus sebagai energi kreativitas.
Resepsi dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu resepsi secara sinkronis dan resepsi secara diakronis. Resepsi sinkronis meneliti karya sastra dalam hubungannya dengan pembaca se-zaman. Sekelompok pembaca, misalnya, memberikan tanggapan baik secara sosiologis maupun psikologis terhadap sebuah novel. Resepsi diakronis meneliti karya sastra dalam hubungannya dengan pembaca sepanjang sejarah.
Resepsi sastra memiliki kaitan dengan sosiologi sastra dan interteks. Kaitan dengan sosiologi sastra terjadi karena keduanya memanfaatkan masyarakat pembaca. Kaitan resepsi sastra dengan sosiologi sastra terjadi dengan masyarakat biasa, dengan pembaca konkret, bukan dengan masyarakat yang terkandung dalam karya sastra (interinsik). Perbedaannya, resepsi sastra memberikan perhatian pada aspek estetika, bagaimana karya sastra ditanggapi dan kemudian diolah, sedangkan sosiologi sastra memberikan perhatian pada sifat hubungan dan saling mempengaruhi antara sastra dan masyarakat.
Hubungan resepsi sastra dengan interteks terjadi karena baik resepsi sastra maupun interteks mempermasalahkan hubungan antara dua teks atau lebih. Penyaduran, penyalinan, dan tranformasi, dan pengolahan teks berupa inovasi dan parodi, jelas menilai teks-teks yang berbeda.
Pembaca yang tidak tahu-menahu tentang proses kreatif diberikan fungsi utama, sebab pembacalah yang menikmati, menilai, dan memanfaatkannya, sebaliknya penulis sebagai asal-usul karya terus terpinggirkan, bahkan dianggap sebagai anonimitas.
Resepsi sastra, pada dasarnya sudah dimulai oleh Mukarovsky dan Vodicka, dengan konsep karya seni sebagai objek estetik, bukan artefak. Dengan adanya peranan dan aktivitas pembacalah, yang disertai dengan peranan masa lampaunya terjadi pertemuan antara objek dengan subjek, yang dengan sendirinya menimbulkan kualitas estetis.

2.3.2.2  Teori Interteks
Interteks yaitu jaringan hubungan antara satu teks dengan teks lainnya. Penelitian dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna  di antara dua teks atau lebih. Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya sebagai pertentangan, baik sebagai parody maupun negasi (Ratna, 2011:172—173).
Pemahaman secara intertekstual bertujuan untuk menggali secara maksimal makna-makna yang terkandung dalam sebuah teks. Barthes menggali kualitas teks dengan cara menganggap karya sebagai anonimitas. Sedangkan Kristeva menggali kualitas teks dengan cara mengembalikannya ke dalam semestaan budaya, meskipun tetap sebagai kebudayaan yang anonim.
Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hypogram. Fungsi hypogram merupakan petunjuk hubungan antarteks yang dimanfaatkan oleh pembaca, bukan penulis, sehingga memungkinkan terjadinya perkembangan makna.
Dalam interteks, sesuai hakikat teori postrukturalisme, pembaca bukan lagi merupakan konsumen, melainkan produsen, teks tidak dapat ditentukan secara pasti sebab merupakan struktur dari struktur, setiap teks menunjuk kembali secara berbeda-beda kepada lautan karya yang telah ditulis dan tanpa batas, sebagai teks jamak. Secara praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara, yaitu a) membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama, b) hanya membaca sebuah teks tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya (Ratna, 2011:174).
Hubungan antarteks tidak sederhana, kompleksitas hubungan dengan sendirinya bergantung dari kompetensi pembaca, sesuai dengan hakikat postrukturalisme, makin kaya pemahaman seorang pembaca maka makin kaya pula hubungan-hubungan yang dihasilkan. Interteks adalah ruang metodologis di mana pembaca mampu untuk mengadakan asosiasi bebas terhadap pengalaman pembacaan terdahulu yang memungkinkan untuk memberikan kekayaan bagi teks yang sedang dibaca. Interteks dalam hubungan ini berfungsi untuk mengevokasi khazanah kultural yang stagnasi, terlupakan, sehingga menjadi teks yang bermakna. Interteks menghadirkan masa lampau di tengah-tengah kondisi kontemporer pembaca.
2.3.2.3  Teori Feminis
Dalam sastra, feminisme dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi. Analisis feminis merupakan penelitian multidisiplin, melibatkan berbagai ilmu pengetahuan. Keberagaman dan perbedaan objek dengan teori dan metodenya merupakan ciri khas studi feminis. Dalam kaitannya dengan studi sastra, bidang studi yang eleven di antaranya, tradisi literer perempuan, pengarang perempuan, pembaca perempuan, ciri-ciri khas bahasa perempuan, tokoh-tokoh perempuan, novel popular dan perempuan.
Perkembangan terakhir teori feminis didominasi oleh postrukturalis yang didasarkan atas teori bahasa Saussure, sebagai dikotomi citra bunyi dan konsep, makna dihasilkan melalui perbedaan, dalam hubungan ini makna perempuan dihasilkan melalui perbedaannya dengan laki-laki. Sebaliknya, postrukturalis melalui dekonstruksi Derrida menjelaskan bahwa makna bersifat polisemi. Makna tidak serupa dengan dirinya, makna merupakan proses artikulasi lambang-lambang. Makna selalu tergantung dan tertangguh, makna dapat diulang dan dihasilkan kembali. Dalam dekonstruksi, perempuan dianggap sesuatu yang lain, tetapi selalu berhubungan dengannya, dan oleh karena itu merupakan hal yang penting, apa yang ada di luar pada dasarnya juga berada di dalam, apa yang ditolak juga diperlukan, yaitu untuk memberikan identitas pada dirinya. Dekonstruksi berupaya untuk menciptakan indikator dalam rangka menghilangkan perbedaan yang tajam dalam oposisi biner.

2.3.2.4  Teori Postkolonial
Teori postkolonial identik dengan teori postmodernisme dan postrukturalisme. Perbedaannya, apabila teori postmodernisme dan postrukturalisme dimanfaatkan untuk memahami gejala kultural secara universal, teori postkolonial memusatkan perhatian pada visi dan misi kolonial sebagaimana terkandung dalam unit-unit wacana kolonial. Ciri penting lainnya adalah kenyataan bahwa secara definitif teori postkolonial dimanfaatkan untuk menganalisis khazanah kultural yang menceritakan peristiwa–peristiwa yang terjadi di negara-negara pascakolonial. Pelopor postmodernisme memandang sejarah tidak berbeda dengan teks. Teks tersebut memerlukan konteks, dalam hubungan ini penulis, pembaca, dan masyarakat secara keseluruhan.
2.3.2.5  Teori Dekonstruksi
Fungsi utama postmodernisme dan postrukturalisme adalah mendekonstruksi kekuatan laten subjek kultural, subjek-subjek hegemonis yang secara terus-menerus mengkondisikan situasi marginalitas. Salah satu teori postrukturalisme adalah dekonstruksi. Dekonstruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi.
Dekonstruksi adalah penolakan terhadap adanya suatu pusat yang sudah diciptakan oleh strukturalisme yang berpusat pada struktur. Dekonstruksi menolak pemusatan tersebut dengan cara terus-menerus melepaskan diri. Teks dianalisis bukan sebagai objek yang tertutup, tetapi selalu mengacu ke luar darinya, bergantung pada konteks, interaksi antarteks dan pembaca.
Pembacaan dalam hal ini dibedakan antara pembacaan nondekonstruksi dan dekonstruksi. Pembacaan nondekonstruksi atau pembacaan konvensional dilakukan dengan cara menemukan makna yang benar, makna terakhir, yang disebut sebagai makna optimal. Mana yang benar pada umumnya dilakukan dengan cara memberikan prioritas pada unsur-unsur pusat, seperti kebenaran, tokoh utama, laki-laki, dan sebagainya. Sebaliknya, pembacaan dekonstruksi tidak perlu menemukan makna terakhir. Yang diperlukan adalah pembongkaran secara terus-menerus, sebagai proses. Dekonstruksi dilakukan dengan cara memberikan perhatian terhadap gejala-gejala yang tersembunyi, sengaja disembunyikan, seperti ketidakbenaran, tokoh sampingan, perempuan, dan sebagainya (Ratna,  2011:238).
2.3.3 Teori Postrukturalisme Naratologi
Naratologi adalah bidang ilmu mengenai narasi, studi mengenai bentuk dan fungsi naratif. Narasi meliputi narasi lisan dan tulisan, sastra dan nonsastra. Meskipun demikian dalam hubungan ini yang dibicarakan adalah narasi sastra, baik lisan maupun tulisan. Struktur naratif fiksional adalah rangkaian peristiwa, yang di dalamnya terkandung unsur-unsur lain, seperti tokoh-tokoh, latar, sudut pandang, dan sebagainya, dengan hakikat rekaan. Dengan mengatakan bahwa naratif merupakan rangkaian peristiwa, maka secara definitif dalam sebuah karya terkandung lebih dari satu peristiwa.
Secara serius struktur naratif sastra dibicarakan dalam kelompok formalisme, khususnya mengenai perbedaan antara fabula dan sjuzet, yang dilanjutkan dalam strukturalisme, dengan masalah utama peranan struktur itu sendiri, dengan tokoh-tokoh terpenting Vladimir Propp, Claude Levi-Strauss, Tzvetan Todorov, A.J. Greimas, Rimmon-Kenan, dan Mieke Bal. Postrukturalisme melanjutkannya dengan menampilkan masalah utama dekonstruksi dan penolakan terhadap unsur pusat pada umumnya, dengan tokoh-tokoh Gerard Genette, Gerald Prince, Seymour Chatman, Jonathan Culler, Roland Barthes, Julis Kristeva, Jacques Derrida, Edward Said, Hayden White, Mary Louise Pratt, Michel Foucault, Jean-Francois Lytoard, dan Jean Baudrillard. Dengan hadirnya strukturalisme dan postrukturalisme Gerald Prince (dalam Ratna, 2011:242), teori dan analisis wacana naratif menyebar hampir ke seluruh dunia, dibicarakan dalam berbagai disiplin, seperti: filsafat, psikologi, psikoanalitik, semiotika, cerita rakyat, antropologi, dan pemahaman Injil, khususnya linguistik dan sastra.
Salah satu unsur karya dalam struktur naratif yang selalu menjadi pembicaraan hangat adalah plot. Plot memiliki kesatuan sebagaimana diintroduksi  oleh Gustav Freytag bahwa susunan plot yang normal berbentuk V terbalik, yang terdiri atas empat unsur, yaitu: eksposisi, introduksi konflik, konflik itu sendiri, dan penyelesaian. Jadi, dalam struktur naratif, karya diorganisasikan oleh plot. Oleh karena itulah, seni ruang tidak memiliki plot. Apabila sebuah karya tidak memiliki plot, seperti puisi lirik atau puisi-puisi non-naratif yang lain, maka karya tersebut diorganisasikan secara tematik. Makna karya sastra dapat diungkapkan secara maksimal dengan cara menganalisis wacana dan teks sebagai reproduksi suatu pementasan.
2.3.3.1  Wacana dan Teks
Dalam Kamus Linguistik Harimurti Kridalaksana (dalam Ratna, 2011:243), definisi teks dan wacana hampir sama, keduanya memiliki ciri-ciri sebagai satuan bahasa terlengkap, satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Realisasinya berbentuk karangan yang utuh, seperti: paragraf, kalimat yang membawa makna yang lengkap, buku, artikel di surat kabar, lelucon, seri ensiklopedia, novel, dan genre sastra yang lain.
Baik wacana (discourse, diskursus) maupun teks akan menghasilkan pengertian yang lebih jelas apabila ditelusuri maknanya melalui tradisi sastra Barat. Secara etimologis wacana berasal dari vacana (Sansekerta), berarti kata-kata, cara berkata, ucapan, pembicaraan, perintah, dan nasihat. Discourse, berasal dari kata discurrere (Latin), berarti gerak maju mundur (dari dan ke). Secara kasar wacana disejajarkan dengan utterance dan speech, ujaran atau ucapan, sebagai bahasa yang sedang digunakan, parole menurut pemahaman Saussure. Teks, seperti telah disinggung di depan, berasal dari kata textum (Latin), yang berarti tenunan, jalinan, susunan.
Wacana merupakan konsep kunci dalam teori postmodernisme dan postrukturalisme. Wacana dimanifestasikan dalam keberagaman aktivitas sosial, baik dalam kehidupan praktis sehari-hari maupun kehidupan formal. Wacana berfungsi untuk menyampaikan berbagai bentuk informasi, membangun ilmu pengetahuan, meraih kekuasaan, alih teknologi, dan sebagainya. Wacana dengan demikian sekaligus berfungsi untuk membentuk objek dan subjek. Wacana lahir dan dimanfaatkan dalam masyarakat, ruang dan waktu yang berbeda. Oleh karena itulah, sebagaimana sejarah, wacana tidak bersifat universal, doktrin yang dimanfaatkan oleh kelompok postrukturalisme untuk menolak narasi besar. Diduga bahwa dalam perkembangan berikut istilah wacana akan mendominasi bukan saja dalam pengertian umum tetapi juga sastra.
Strukturalisme hanya berhasil mengungkapkan makna secara simbolis, sebagai kualitas ambiguitas, misalnya, dengan menggali kapasitas dikotomis langue dan parole menurut proposisi Saussurean, atau menggali kekayaan makna melalui ikon, indeks, dan simbol menurut proposisi Peircean. Paradigma strukturalisme hanya berhasil menjelaskan kasus-kasus yang terjadi dalam novel arus kesadaran sebagai manifestasi ketaksadaran Freudian. Sebaliknya, analisis wacana postrukturalis memahaminya sebagai kebenaran-kebenaran problematis yang menunjuk pada sifat-sifat manusia secara umum, tetapi dalam struktur kategorial. Yusuf dalam Belenggu yang seolah-olah berada pada dua tempat pada saat yang sama, tidak semata-mata dilihat melalui sudut pandang psikologis, tetapi juga sebagai pergeseran paradigma postrukturalisme, di mana peranan tokoh-tokoh berubah-ubah sesuai dengan fungsinya. Tokoh utama pada tataran tertentu berubah menjadi tokoh kedua, ketiga, dan bahkan tidak berperan sama sekali. Sebagai tokoh problematis tokoh juga mungkin berada pada dua tempat yang berbeda, baik sebagai konstruksi kembaran maupun cyborg.
Kemampuan postrukturalis yang terbesar adalah mengungkap hegemoni pengarang sebagai pembawa kebenaran tunggal yang selama berabad-abad, khususnya selama abad ke-19 menguasai analisis sastra. Karya sastra sebagai gejala yang dinamis juga ditunjukkan oleh postrukturalisme sebab karya sastra selalu menunjuk pada (para) pengarang, bukan sebaliknya. Berbeda dengan strukturalisme yang melepaskan karya sastra dari kerangka historisnya sebab sangat mementingkan kerangka struktur itu sendiri, postrukturalisme secara terus-menerus mengaitkannya pada struktur sosial yang menghasilkannya. Postrukturalisme memandang betapa pentingnya sejarah dan waktu dalam mempermasalahkan bahasa dalam penggunaannya. Dengan adanya intensitas pada waktu dan latar belakang masyarakatnya, wacana tidak bersifat universal. Oleh karena wacana tidak bersifat universal, maka masyarakat pun bukanlah entitas yang monolitik, melainkan plural, meskipun cenderung bersatu. Menurut paradigma postrukturalisme, wacana atau teks yang dilepaskan dari kerangka historisnya juga terlepas dari maknanya. Teks naratif dihasilkan oleh agen, sebagai narator, bukan oleh penulis, penulis justru ditentukan oleh tulisan. Teks memerlukan pendengar, sebagai subjek, konstruksi inilah yang menyebabkan analisis postrukturalis sangat digemari dalam studi multikultural sebab pusat ada di mana-mana, diciptakan kapan saja, sesuai dengan kemampuan pembaca. Pembaca sama sekali bebas dari kompetensi penulis. Teks ditulis oleh pembaca, setiap teks merupakan jaringan baru kutipan masa lalu (Barthes dalam Ratna, 2011:251) sebab secara etimologis, teks adalah tenunan.
Dengan adanya penjelasan mengenai naratologi, wacana, dan teks di atas, baik dalam rangka struktural maupun postruktural, maka menjadi jelaslah hubungan antara struktur naratif dengan wacana dan teks. Dalam pengertian yang luas struktur naratif meliputi lisan dan tulisan, sastra dan nonsastra. Pada dasarnya wacana dan teks memiliki identitas yang sama. Meskipun demikian, wacana merupakan bagian dan dengan demikian dibicarakan dalam struktur naratif secara keseluruhan, sedangkan teks dibicarakan dalam struktur naratif sastra. Secara historis kultural subjek dibentuk melalui wacana (Weedon dalam Ratna, 2011:252) sekaligus mendekonstruksi subjek cogito ergo sum menurut pemahaman Cartesian. Wacanalah yang membentuk citra mengenai tokoh-tokoh, tempat-tempat dan waktu kejadian, topik utama, jalinan integral peristiwa-peristiwa, dan keindahan bahasa, sehingga pembaca dapat mengenalinya sebagai penokohan, latar, tema, plot, dan stilistika. Sebagai bagian terpenting struktur naratif, intensitas pengaturan kembali terjadi dalam plot, oleh karena itulah, plot disejajarkan dengan wacana.
2.3.3.2  Tokoh-tokoh Postrukturalisme Naratologi
1)   Gerard Genette
Menurut Genette, histoire adalah perangkat peristiwa, sebagai isi naratif, recit adalah wacana atau teks naratif itu sendiri, sedangkan narration adalah tindak naratif yang menghasilkan teks. Dalam histoire terkandung peristiwa-peristiwa, temporal dan kasual, sebelum disusun ke dalam kalimat. Dalam recit, sebagai kata-kata yang sudah tertulis, terkandung wacana naratif, sedangkan dalam narration terkandung hubungan antara penulis (suara naratif) dengan pembaca.
Menurut Genette (dalam Ratna, 2011:254), untuk membedakan tiga macam analisis naratif, yaitu: a) analisis pernyataan naratif, dalam kaitannya dengan serial peristiwa, baik lisan maupun tulisan, b) analisis isi naratif, dalam kaitannya dengan urutan atau susunan peristiwa, nyata atau fiksi, sebagai wacana, c) analisis naratif dalam kaitannya dengan peristiwa-peristiwa dalam cerita. Cara yang pertama memandang karya sebagai hasil kebudayaan, sehingga yang diteliti adalah keseluruhan aspek dengan melibatkan penulis dan pembaca, termasuk latar belakang sosial yang menghasilkannya. Penelitian ini sesuai untuk kajian budaya, sosiologi sastra, dan antropologi sastra. Cara yang kedua hanya meneliti wacana dan teks. Model penelitian inilah yang dianggap sebagai objek naratologi strukturalis, dan dengan demikian penelitian inilah yang dilakukan oleh Genette. Dalam hubungan ini Genette menunjuk beberapa faktor yang terlibat, yaitu: a) waktu naratif, b) modus naratif, dan c) suara naratif. Menurut Genette, waktu naratif memiliki tiga ciri, a) urutan, hubungan antara peristiwa-peristiwa nyata, peristiwa kronologis, dengan peristiwa-peristiwa yang diatur kembali, sebagai dekronologisasi, b) durasi, yaitu hubungan antara waktu cerita yang telah berlalu, sebagai waktu cerita dengan waktu pembacaan, sebagai waktu penceritaan, dan c) frekuensi, yaitu hubungan potensial antara cerita dan penceritaan, sebagai repetisi. Waktu naratif dan modus naratif dengan demikian mempermasalahkan hubungan antara cerita dan penceritaan, sedangkan suara naratif sekaligus membicarakan cerita, penceritaan, dan latar belakang sosialnya. Cara yang ketiga disebut sebagai analisis tradisional, sebagimana dilakukan dalam strukturalisme pada umumnya. Unsur-unsur yang dicari adalah peristiwa-peristiwa, dihubungkan dengan unsur-unsur lain, seperti: tema, tokoh, plot, latar, dan sebagainya.
2)   Gerald Prince
Tokoh naratologi postrukturalis berikut adalah Gerald Prince. Gerald Prince (dalam Ratna, 2011:255) dengan konsepnya yang terpenting adalah narratee, yang pada dasarnya diambil melalui konsep Gerard Genette. Narratee dianggap sebagai partner komunikatif narator, individu aktual dalam narasi nonfiksi, tetapi sebagai konstruk tekstual dalam fiksi. Dalam struktur naratif Princean seolah-olah ada dua kategori orang pertama, yaitu pengarang dan pencerita. Pasangan pengarang adalah pembaca (audience), sedangkan pasangan pencerita adalah pendengar (narratee).
Sebagai konstruksi orang yang diajak berbicara, sebagai pendengar, narratee merupakan salah satu cara untuk mendekonstruksi narrator, sekaligus memberikan fungsi-fungsi yang lebih bermakna terhadap unsur-unsur lain. Menurut Prince, narasi yang baik adalah narasi yang terindividualisasikan, artinya berhasil untuk menampilkan totalitas dari peristiwa-peristiwa yang sebelumnya tak berhubungan. Narasi yang baik adalah narasi yang terorientasikan sehingga pembaca merasakan prinsip organisasi, dan ingin membaca sampai selesai. Narasi yang baik dengan sendirinya memiliki kualitas yang lebih tinggi dari semata-mata sebuah cerita. Dengan diilhami tata bahasa cerita, dengan menunjukkan tiga ciri-ciri terpenting peristiwa-peristiwa, yaitu: peristiwa statis yang merepresentasikan suatu keadaan tertentu, peristiwa aksi yang merepresentasikan aksi tertentu, dan ciri-ciri penghubung yang meliputi keseluruhan elemen penghubung. 
3)   Seymour Chatman
Seymour Chatman dalam bukunya yang berjudul Story and Discourse: Narrative Structure in Fiction and Film, yang terbit pertama kali tahun 1978, sesuai dengan judulnya, bermaksud untuk menjelaskan hakikat struktur naratif dengan dua unsur pokok yaitu cerita dan wacana. Cerita disebut sebagai isi, sedangkan wacana disebut sebagai ekspresi. Baik cerita maupun wacana, masing-masing terdiri atas bentuk dan substansi. Dalam bentuk terkandung motif-motif (events) dan eksistensi, yang masing-masing berisi aksi dan kejadian (happenings) serta tokoh dan latar. Dalam substansi terkandung manusia dan benda-benda yang diekspresikan dengan kode budaya penulis. Demikian juga dalam wacana, terdapat bentuk dan substansi. Dalam wacana bentuk ekspresi merupakan transmisi struktur naratif yang dapat dimanifestasikan secara verbal, sinematik, balletik, pantomimik, dan sebagainya. Sebagai bagian ilmu humaniora dan ilmu sosial, struktur naratif perlu dipahami melalui konsep struktur seperti dikemukakan oleh Jean Piaget (dalam Ratna, 2011:257), yaitu kesatuan, transformasi, dan regulasi diri. Naratif perlu disatukan sebab terdiri atas elemen-elemen yang bersifat tunggal dan diskret. Sebagai struktur, naratif harus mengalami transformasi sehingga berhasil dalam mengadakan pengaturan diri.
4)   Jonathan Culler
Menurut Culler (dalam Ratna, 2011:258), secara umum dapat dikatakan bahwa cerita adalah urutan aksi atau peristiwa, sifatnya relatif independen terhadap wacana, sedangkan penceritaan, yaitu wacana itu sendiri adalah peristiwa yang telah disusun kembali, sebagai presentasi atau narasi diskursif peristiwa-peristiwa.
Culler memperluas makna kompetensi linguistik ke dalam kompetensi sastra, perangkat konvensi untuk memahami sastra, genre, dan hukum-hukum untuk memahami sastra. Konvensi dan tradisi sastra sangat beragam, dari yang paling umum, seperti perbedaan antara puisi dan prosa, hingga yang paling khusus, seperti perbedaan antara novel sosiologis dengan novel historis. Sebagai hakikat karya sastra, keberagaman konvensi, tradisi, dan penampilan sarana-sarana sastra yang lain harus dipahami oleh pembaca. Penerapan terhadap konvensi yang sama tidak harus menghasilkan makna yang sama sebab pembacanya berbeda-beda. Konvensi pemahaman terhadap satu genre tidak dapat diterapkan pada genre yang lain. Menurut Culler, pemahaman dilakukan dengan cara mengembalikan ciri-ciri karya ke dalam wilayah pengetahuan pembaca, yang disebut sebagai naturalisasi.
5)   Roland Barthes
Tokoh naratologi postruktural Perancis yang lain adalah Roland Barthes, lahir di Perancis (1915-1980). Barthes dikenal sebagai semiolog yang sangat aktif dalam memanfaatkan teori struktural Saussurean sekitar tahun 1960-an sejajar dengan Levi-Strauss, Michel Foucault, dan Jacques Lacan. Pada akhirnya Barthes mengakui bahwa proses pemaknaan tidak terbatas pada bahasa tetapi meliputi seluruh kehidupan ini, tetapi tetap atas dasar konsep-konsep linguistik, sebagaimana dilakukannya dalam analisis berbagai gejala masyarakat dalam bukunya yang berjudul Mythologies.
Menurut Barthes teks tidak semata-mata untuk dibaca tetapi untuk ditulis. Teks pertama disebut readerly (lisible) sedangkan teks kedua disebut writterly (scriptible/rewritten). Meskipun demikian untuk memahaminya harus secara dialektis. Tujuan karya sastra adalah menjadikan pembaca bukan sebagai konsumen melainkan sebagai produsen teks. Teks readerly dikategorikan sebagai teks klasik, tertutup, objek yang selesai. Hanya penulis yang aktif sedangkan pembaca bersifat pasif. Writterly adalah aktivitas menulis yang dilakukan oleh pembaca sebab penulis dianggap sebagai anonimitas. Jadi, menurut Barthes, analisis naratif adalah memahami makna karya dengan menyusun kembali makna-makna yang tersebar dengan menggunakan suatu cara tertentu.
6)   Mikhail Mikhailovich Bakhtin
Sebagai salah seorang tokoh postrukturalisme, Mikhail Bakhtin (1895-1975) menolak strukturalisme Saussurean yang menganggap bahasa sebagai objek penelitian yang statis, monologis, dan terisolasi. Menurut Bakhtin (dalam Selden dalam Ratna, 2011:262) bahasa adalah gejala sosial, kata-kata merupakan tanda-tanda kemasyarakatan yang aktif dan dinamis sehingga dapat menampilkan arti dan konotasi yang bermacam-macam untuk kelas-kelas yang berbeda-beda. Bakhtin tidak memandang karya sastra sebagai refleksi masyarakat secara langsung, melainkan bagaimana dinamika bahasa dinyatakan dalam tradisi sastra tertentu. Ia tidak semata-mata membicarakan cara-cara teks dalam merefleksikan masyarakat, tetapi bagaimana bahasa mengganggu otoritas sosiokultural sehingga perkembanganbiakan makna dapat dipertahankan.
7)   Hayden White
Berbeda dengan tokoh-tokoh lain, White memahami teks melalui perspektif sejarah. Bukunya yang sangat representatif dalam hubungan ini berjudul Tropics of Discourse: Essays in Cultural Criticism, terbit pertama kali tahun 1978. Hubungan antara sastra dan sejarah sangat dekat. Hubungan yang dimaksudkan lebih banyak bersifat interdependensi, bukan berlawanan secara diametral, sebagai semata-mata fiksi dan fakta, seperti diduga banyak orang. Dalam teori-teori postrukturalisme, sebagaimana akan tampak melalui pemahaman White, batas pemisah antara kedua disiplin justru menjadi makin kabur. Kedekatan hubungan yang dimaksud paling sedikit dapat diidentifikasi melalui lima faktor, yaitu: a) medium utama sastra dan sejarah adalah bahasa, b) sastra ternyata menampilkan genre yang berkaitan dengan sejarah, seperti sastra sejarah, novel sejarah, c) sastra dan sejarah memanfaatkan cerita dan tokoh-tokoh sebagai unsur utama, d) validitas sastra dan sejarah terkandung dalam keyakinan validitas fakta masa lampau, dan e) sama dengan sejarah, visi sastra kontemporer memandang masa lampau, misalnya, struktur arketipe, sebagai energi kreativitas.
Menurut White, plot dalam sejarah berbeda dengan plot dalam karya sastra. Meskipun demikian, plot telah diinvestasikan sedemikian rupa dalam suatu struktur naratif, dan dengan demikian telah berpengaruh terhadap keseluruhan wacana.
8)   Mary Louise Pratt
Mary Louise Pratt dimasukkan sebagai tokoh postrukturalisme naratologi dalam kaitannya dengan teori-teori tindak kata (speech act theory). Teori tindak kata sesungguhnya sudah berkembang pada periode 1930-an, melalui J.L. Austin, yang kemudian diikuti oleh Searle. Pratt mengemukakan argumentasinya melalui sudut pandang sosiolinguistik, melalui bukunya yang berjudul Toward a Speech Act Theory of Literary Discourse, terbit pertama kali tahun 1977. Seperti tokoh-tokoh postrukturalisme yang lain Pratt (dalam Ratna, 2011:269) menolak strukturalisme, khususnya fungsi puitika Jakobson yang dianggap terlalu berat sebelah. Atas dasar sosiolinguistik, maka wacana harus dipahami sebagai pemakaian bahasa tertentu, bukan ragam bahasa tertentu. Sesuai dengan definisi wacana yang telah disepakati secara umum, maka tidak ada bahasa yang khas, yang ada adalah pemakaian bahasa yang khas.
Ciri khas Pratt adalah teori sastra yang ‘tergantung pada konteks’, pemahaman terhadap karya sastra dengan cara mengaitkannya dengan struktur sosial secara luas. Pratt (dalam Ratna, 2011:270) menunjukkan empat ciri terpenting komunikasi kesastraan, yaitu: a) pembaca sebagai audiensi, pembaca yang sudah diberikan hak untuk bertanya dan menjawab, b) pembaca sebagai konvensi definitif, pembaca tahu bahwa yang dibaca adalah sastra, c) prinsip-prinsip koperatif dan aturan-aturannya dalam percakapan, dan d) karya sastra sebagai assertability dan tellability, popularitas karya sastra sebagai akibat daya tarik pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.
9)   Jacques-Marie Emile Lacan
Atas dasar teori struktur ketaksadaran psikologis Freudian dan strukturalisme bahasa Saussurean, Lacan (1901-1981) membangun teori psikologi dalam kaitannya dengan bahasa dan sastra, sekaligus mengembangkannya dalam paradigma postrukturalisme. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa di satu pihak, perbedaan pokok antara teori Freud dengan Lacan adalah Freud memandang Ego sebagai unsur yang terpenting, sedangkan menurut Lacan unsur yang terpenting adalah bahasa. Di pihak yang lain perbedaan pokok antara teori Saussure dengan Lacan, seperti halnya ciri-ciri umum teori postrukturalisme terletak dalam hubungan antara penanda dan petanda.
Menurut Lacan, pada fase pra-Oedipal atau imajinerlah terbentuk bahasa. Lacan menyebutkan sebagai fase cermin, di mana Ego menemukan dirinya sekaligus bukan dirinya sehingga terjadi kekaburan di antara subjek dan objek. Menurut Lacan (dalam Eagleton dalam Ratna, 2011:273) fase cermin juga dapat diidentifikasi sebagai perbedaan antara penanda dan petanda, atau sebagai metafora, objek yang serupa dengan dirinya. Kesadaran akan adanya perbedaan seksual (phallus) juga terjadi pada fase imajiner sebab perbedaan terjadi sebagai akibat hakikat bahasa. Menurut Lacan (dalam Sarup dalam Ratna, 2011:273) tidak ada pemahaman biologis sebelum adanya bahasa. Lacan dengan demikian juga menolak argumentasi psikolog-ego Amerika seperti Pavlov dan Skinner, demikian juga psikolog-ego Amerika seperti Fromm dan Horney. Atas dasar pemahaman di ataslah maka Lacan dimasukkan sebagai tokoh naratologi postrukturalis dengan pertimbangan bahwa psikoanalitik, dalam hubungan ini ketaksadaran merupakan wilayah kunci baik terhadap bahasa sebagai model pertama maupun sastra sebagai model kedua.
Postrukturalisme tidak bermaksud untuk melibatkan diri dalam memecahkan masalah-masalah hegemoni politik tetapi dapat menyumbangkan pikiran dalam memecahkan struktur bahasa. Menurut Lacan, individu, demikian juga bahasa tidak terpisah dengan masyarakat, manusia memperoleh sifat-sifat sosial melalui bahasa sebab bahasalah yang membentuk manusia menjadi subjek. Seperti halnya teori postrukturalisme yang dibangun dengan menemukan kelemahan-kelemahan strukturalisme, psikologi Lacan dibangun atas dasar kelemahan-kelemahan teori Freud. Sebagai salah seorang pelopor postrukturalis Lacan juga berjasa dalam memberikan nilai baru terhadap kualitas subjektivitas. Dalam hubungan ini Lacan menggabungkan antara fenomenologi Husserlian dengan strukturalisme Saussurean. Fenomenologi menyediakan konsep diri, subjek yang bebas, segala sesuatu yang menampakkan diri dalam dirinya sendiri, sedangkan strukturalisme menyediakan determinisme bahasa. Oleh karena itulah, meskipun Lacan (dalam Sarup dalam Ratna, 2011:274) menggunakan prinsip strukturalisme tetapi Lacan tidak menyangkal kehadiran subjek. Menurut Lacan, yang dimaksudkan dengan subjek adalah subjek dari penanda-penanda. Penanda selalu terpisah dari petanda, dan memiliki otonomi yang nyata, maka tidak ada penanda yang sampai pada yang ditandakan. Realitas penanda adalah simbol, makna, representasi, dan segala macam citra yang lain. Dalam hubungan inilah terbentuk (para) subjek.

10)    Michel Foucault
Menurut Foucault (dalam Ratna, 2011:280), kajian wacana disebut ‘arkeologi’, bukan sejarah. Arkeologi adalah prinsip tentang arsip itu sendiri, yaitu sebagai kumpulan peristiwa yang diucapkan, disusun, diulang, dimanfaatkan kembali, ditransformasikan di dalam kebudayaan. Arsip terdiri atas peristiwa, pernyataan, peggunaan ruang, arsip juga memiliki aturan, kondisi, fungsi, dan akibat-akibat tersendiri.
Berbeda dengan paradigma modernis, subjek dan wacana berada dalam kualitas interdependensi. Subjek berada dalam posisi sosial wacana, subjek sebagai agen sosial, tetapi bukan dalam pengertian subjek Cartesian. Sebaliknya, wacana maupun subjek bebas dari dominasi narasi-narasi besar. Wacana jelas memiliki relevansi dalam seluruh kehidupan manusia baik kehidupan praktis sehari-hari, maupun kehidupan formal, misalnya, dalam tradisi ilmu pengetahuan. Wacana dengan demikian merupakan pusat aktivitas tetapi tidak bersifat universal. Karya sastra, sesuai dengan entitasnya, khususnya kritik sastra, adalah ilmu pengetahuan. Wacana dapat dianalisis dalam kaitannya dengan posisi subjek, seperti pengarang, penerbit, pembaca sebagai konsumen, dan audiens pada umumnya. Menurut Foucault, objek kajian sastra bukan lagi bahasa formal, sebab bahasa merupakan wilayah kajian ilmu bahasa, melainkan arsip, yang dideskripsikan secara arkeologis. Dalam hubungan inilah, penelitian dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: a) arsip itu sendiri, misalnya: naskah atau karya dalam berbagai jenisnya, penerbit, badan sensor, patron, iklan, pasar, perpustakaan, media massa, dan sebagainya, dan b) kandungan naskah, kritik dan esai, dan berbagai jenis penilaian lain. Dalam hubungan ini pulalah tampak peranan kritik sastra dalam studi kultural, misalnya, mengapa pada periode tertentu yang lahir adalah jenis karya tertentu.
Sebagai analisis postrukturalis, Foucault (dalam Sarup dalam Ratna, 2011:281) tidak mengkaji objek dalam kerangka struktur tanda tetapi genealogi realsi kekuasaan. Foucault juga tidak memusatkan perhatian pada pencarian asal-usul sebagaimana dipahami dalam tradisi intelektual konvensional, pada penelusuran fakta-fakta tertentu, tetapi hubungan-hubungan kekuasaan yang ada di balik gejala yang menjadi objeknya. Konsekuensi logis yang ditimbulkannya adalah penemuan pada wacana marginal, bukan pusat.
Genealogi postrukturalisme menolak asal-usul menurut pemahaman konvensional sebab asal-usul muncul dari keyakinan bahwa yang esensial adalah pada saat dilahirkan. Apabila wacana dianggap sebagai ruang multidimensi dan multipersimpangan, maka tugas arkeologi adalah memetakannya, mengkomparasikan kontradiksi-kontradiksi. Jadi, secara inheren arkeologi adalah interdiskursif. Wacana dalam membentuk suatu sains dan disiplin, bukan berdasarkan subjek manusia atau pengarang tetapi dari aturan diskursif dasar dan praktik yang masih ada pada saat itu. Hal ini sejajar dengan postrukturalisme pada umumnya yang menolak subjek modernitas dan subjek antropologis, khususnya subjek abad ke-19. Foucault (dalam Ritzer dalam Ratna, 2011:283) menggambarkan lima tahap proses untuk menganalisis peristiwa diskursif, sebagai berikut.
1.    Memahami pernyataan menurut kejadian yang sangat khas.
2.    Menentukan kondisi keberadaannya.
3.    Menentukan sekurang-kurangnya limitnya.
4.    Membuat korelasinya dengan pernyataan yang lain yang mungkin terkait dengannya.
5.    Menunjukkan apa bentuk lain pernyataan yang ia keluarkan.
Selain kekuasaan, konsep penting Foucault adalah seksualitas dan kegilaan. Sesuai dengan dominasi ideologis Foucault terhadap kekuasaan, maka seksualitas dan kegilaan pun dibicarakannya dalam kaitannya dengan pencapaian kekuasaan. Kekuasaan tidak semata-mata berkaitan dengan represi, melainkan juga dengan kesenangan. Artinya, ada hubungan saling menguntungkan antara dua mekanisme wacana, yaitu wacana kekuasaan dengan wacana kenikmatan. Wilayah penelitian Foucault sangat luas, yaitu: a) abad ke-17 dan sesudah Masehi.
11)    Jean-Francois Lyotard
Di antara tokoh-tokoh postrukturalisme, Lyotard-lah yang paling serius menampilkan argumentasi mengenai narasi-narasi besar. Seperti diketahui, Lyotard dan kelompok postmodernisme pada umumnya, di satu pihak sangat mencurigai Hegel dan Marx karena Hegel berusaha menciptakan rasio subjek absolut, sedangkan Marxisme berusaha menciptakan masyarakat homogen, masyarakat yang hanya diwujudkan melalui kekerasan. Di pihak lain Lyotard juga menolak definisi masyarakat sebagai kesatuan organis (Durkheim), kesatuan fungsional (Parsons), dan dengan sendirinya kesatuan yang tersusun atas kekuatan kontradiktif (Marx). Secara ringkas, menurut Lyotard (dalam Sarup dalam Ratna, 2011:285) narasai besar buruk, narasi kecil baik. Narasi menjadi buruk apabila berubah menjadi filsafat sejarah, dikaitkan dengan kepentingan politik, termasuk kepentingan manusia dengan dalih universal, bahkan agama, sehingga mengurbankan kepentingan kelompok minoritas. Narasi kecil mengembalikan politik pada individu, sekaligus membebaskan manusia dari hegemoni ideologi. Dalam hubungan inilah postmodern menjadi identik dengan kritik terhadap ilmu pengetahuan modern yang bersifat universal, yang ada adalah berbagai macam penalaran.
Sebagai tokoh postmodernisme, pokok aliran Lyotard adalah hilangnya kepercayaan terhadap metanarasi, narasi besar, ilmu pengetahuan yang diukur berdasarkan narasi di luar kompetensinya. Lyotard (dalam Ritzer ; Sarup dalam Ratna, 2011:286) mengidentifikasi dua metanarasi, yaitu: a) metanarasi saintifik spekulatif, pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri, semacam ‘seni untuk seni dalam sastra’, dan b) metanarasi emansipasi, pengetahuan bagi subjek manusia yang berupaya menemukan kebebasan. Menurut paradigma postmodernisme kedua metanarasi belum berhasil membawa manusia pada kebahagiaan sebagaimana dijanjikan. Oleh karena itulah, menurut Lyotard prefiks ‘post’ baik dalam postmodernisme maupun postrukturalisme diisyaratkan memiliki paling sedikit tiga fungsi, yaitu: a) mengingatkan kembali terhadap kekeliruan masa lampau (anamnesis), b) menciptakan citra yang terdistorsi (anamorfosis), c) melakukan interpretasi mistis (anagogi).
Konsep yang dikemukakan oleh Lyotard adalah differend, sesuai dengan judul bukunya, The Different: Phrases in Dispute (Lechte dalam Ratna, 2011:287). Sesuai dengan ciri umum postrukturalisme, yaitu perbedaan, sebagaimana Derrida dengan konsepnya yang terkenal yaitu difference/differance, Lyotard menjelaskan differend sebagai manifestasi rezim frase dan genre wacana, di mana setiap rezim memiliki aturan tersendiri, mewakili semesta masing-masing, sehingga tidak dimungkinkan terjadinya semesta tunggal. Argumentasi Lyotard tidak berhenti sebagai bahan kajian wacana dalam kaitannya dengan bahasa, melainkan memiliki implikasi yang jauh lebih luas.
Konsep yang juga sering dikemukakan oleh Lyotard adalah fragmensi. Dengan menolak totalitas, maka secara tidak langsung Lyotard (dalam Sarup dalam Ratna, 2011:288) mengintroduksi konsep fragmentasi, yaitu permainan bahasa, waktu, subjek manusia, dan masyarakat itu sendiri.
12)    Jean Baudrillard
Sebagai salah seorang tokoh postrukturalisme, konsep-konsep dasar Baudrillard (dalam Ritzer dalam Ratna, 2011:290) dipengaruhi oleh semiotika, psikoanalitik, dan Marxisme. Baudrillard menjadi terkenal karena ia mengembangkan teorinya dalam kaitannya dengan komunikasi massa. Dalam kaitannya dengan masyarakat konsumen, misalnya, Baudrillard bertolak dari pendapat Marx yang menyatakan bahwa metafora kapitalisme, masyrakat yang didominasi oleh produksi, perbedaan nilai guna dan nilai tukar dianggap sangat menetukan. Nilai guna berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tertentu, sedangkan nilai tukar berhubungan dengan produksi di pasar atau harga objek yang bersangkutan. Kekhasan Baudrillard (dalam Sarup dalam Ratna, 2011:281) adalah usahanya dalam mengembangkan teori produksi dengan memusatkan perhatian pada masalah konsumsi yang didasarkan atas semiotika (Ratna, 2011:240—290).
2.4    Cara Penerapan Teori
Ada dua tahap dalam menelaah karya sastra dengan menggunakan teori postrukturalisme. Berikut tahap-tahap dalam menerapkan teori tersebut.
1.    Mendaftar semua (struktur) yang terdapat pada karya yang ditelaah dan meletakkan semua unsur tersebut pada kedudukan yang sama. Setiap unsur dipahami secara terpisah. Dengan demikian, tidak ada satu unsur pun yang dianggap tidak penting atau tidak mempunyai peranan.
2.    Unsur-unsur yang telah dipahami dihubungkan dengan unsur lainnya dalam upaya untuk mengetahui apakah unsur-unsur tersebut merupakan satu jaringan, baik jaringan antar semua unsur (jaringan X) atau merupakan satu jaringan dengan unsur lainnya (jaringan X dengan Y).
Berdasarkan dua tahap tersebut, jelaslah bahwa esensi pemaknaan sebuah karya sastra data muncul dari hubungan antarstruktur dan unsur di luar struktur. Unsur di luar struktur yang dimaksud seperti kode budaya dan juga hal-hal lainnya yang mempengaruhi penciptaan karya sastra tersebut.
Selain menghubungkan dengan unsur di luar struktur, menurut postrukturalisme, memahami sebuah karya sastra itu bebas, boleh dari sisi mana saja, karena tidak terikat dengan struktur. Dengan demikian, kajian postrukturalisme ini juga akan melupakan struktur sebuah karya sastra dengan melakukan dekonstruksi terhadap karya sastra tersebut. Karena tidak menghiraukan struktur, bahkan melupakan struktur dengan melakukan dekonstruksi terhadap sebuah karya, maka ciri khas dari postrukturalisme adalah ketidakmantapan teks. Artinya, makna karya ditentukan oleh apa yang dilakukan oleh teks, bukan apa yang dimaksudkan teks tersebut. Dengan demikian, terjadi pergeseran dari penerima menjadi pencipta. Makna teks bergantung pada konteks, interaksi pada pembaca, teks tidak tertutup, tetapi terbuka secara terus-menerus berinteraksi ke luar dirinya.
2.5    Contoh Kajian
Contoh pencarian esensi makna pada karya sastra Indonesia dengan teori postrukturalisme dapat dilihat pada puisi-puisi Goenawan Mohamad yang terkumpul dalam buku Sajak-sajak Lengkap 1961-2001, seperti “Parikesit, Dongeng Sebelum Tidur, Asmaradana, Gatoloco”. Dalam memahami puisi-puisi Goenawan Mohamad tersebut, tidak mungkin dapat diketahui esensi puisinya jika hanya melihat struktur bahasa yang dituangkan. Bahwa dalam mengetahui esensi makna puisi Goenawan Mohamad paling tidak diperlukan pemahaman kode budaya, khususnya yang berkaitan dengan dunia pewayangan ataupun tembang Macapat. Salah satunya ada dalam puisi “Asmaradana” berikut.

Asmaradana

Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.

Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib,
perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan
mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani
lagi.

Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.

1971

Dalam memahami esensi makna pada puisi tersebut tentu saja perlu kita kaitkan dengan unsur lainnya di luar unsur struktur teks (unsur X) yaitu unsur di luar teks seperti kode budaya ataupun hubungan antar teks (unsur Y). Terry Eagleton (2010:199) menyatakan bahwa semua teks sastra dirajut dari teks-teks sastra lain, bukan dalam pengertian konvensional yang di dalamnya terkandung jejak “pengaruh” teks-teks lain, tetapi dalam pengertian yang lebih radikal bahwa setiap kata, frasa, atau segmen merupakan pengerjaan ulang dari tulisan-tulisan lain yang mendahului atau mengelilingi karya individual. Tidak ada yang namanya “keaslian” sastra, tidak ada karya sastra “pertama”: semua kesusastraan bersifat “intertekstual”.
Puisi tersebut tentu tidak dapat dilepaskan dengan tembang Asmaradana, tembang macapat dari Jawa yang biasanya ditujukan untuk pemuda atau pemudi dalam masa pertumbuhan. Untuk sampai pada pengertian tersebut, kita tentu harus mengetahui tentang tembang Asmaradana yang dalam tembang macapat Jawa ini mengisahkan tentang cinta Damarwulan dan Anjasmara (unsur Y). Jika unsur X tersebut dikaitkan dengan unsur Y, barulah dapat dimengerti bahwa puisi ini bercerita tentang kisah asmara Damarwulan dan Anjasmara. Goenawan Mohamad memang tidak mengambil keseluruhan cerita dalam puisi tersebut. Ia bahkan tidak menyebut-nyebut nama Damarwulan di dalam puisinya. Ia hanya mengambil satu momen yang dianggap penting dalam cerita itu, momen tentang perpisahan Damarwulan dan Anjasmara. Dalam cerita rakyat Jawa dikisahkan bahwa Damarwulan harus pergi meninggalkan Anjasmara karena mendapat perintah dari Ratu Kencana Wungu untuk mengalahkan Menak Jinggo yang dianggap memberontak kepada Majapahit. Di situlah awal perpisahan Damarwulan dengan Anjasmara, Putri Patih Loh Gender yang begitu mencintainya. Damarwulan berhasil mengalahkan Menak Jinggo dan sekaligus memboyong Waeta dan Puyengan, selir Menak Jinggo. Dan pada akhirnya Damarwulan mempersunting Ratu Kencana Wungu. Goenawan Mohamad menggambarkan perpisahan tersebut secara tegas dan dengan nuansa yang sedikit melankoli seperti dalam kutipan berikut.
...
Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.

1971

Dengan model telaah postrukturalisme dapat disimpulkan bahwa dalam proses pemahaman dan pemaknaan unsur struktur (X) ternyata tidak mampu mewadahi konsep secara menyeluruh. Unsur tersebut masih harus dihubungkan dengan unsur lain yang terdapat di luar teks. Model inilah yang dikembangkan aliran postrukturalisme sebagai bagian dari kritiknya terhadap srukturalisme. Contoh kajian karya sastra lainnya dengan menggunakan teori postrukturalisme sebagai berikut.
Pada Suatu Pagi Hari
Karya: Sapardi Djoko Damono

Maka pada suatu pagi hari
ia ingin sekali menangis
sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu
Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi
agar ia bisa berjalan sendiri saja
sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa
Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk
memecahkan cermin membakar tempat tidur
Ia hanya ingin menangis lirih saja
sambil berjalan sendiri
dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.

1973

Dengan menggunakan teori postrukturalisme berdasarkan analisis sudut pandang pembaca, puisi “Pada Suatu Pagi Hari” karya Sapardi Djoko Damono sangat menyentuh hati dan menarik pembaca untuk membaca puisi tersebut. Dalam puisi ini seolah-olah penyair menggambarkan seseorang yang terlihat sedih dan ingin menumpahkan kesedihannya dalam tangisan di bawah rintikan hujan agar tidak ada satupun yang tau.
Bagi pembaca, hal yang menarik dalam puisi tersebut terdapat dalam petikan “ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi”. Petikan tersebut bagi pembaca sangat menarik karena, penyair menggambarkan seseorang yang sangat tegar, ia merasakan sedih, ingin menangis. Namun, ia juga masih mempedulikan harga dirinya agar ketika ia menangis tidak ada orang lain yang mengetahuinya sehingga ia menunggu rintikan hujan.
Nilai positif dari puisi tersebut menurut pembaca adalah tentang ketegaran karena pada puisi ini mengajarkan kita untuk tetap tegar ketika kita menghadapi suatu masalah bahkan dalam puisi ini sebisa mungkin penulis menutupi masalah itu kepada orang banyak.
Setelah pembaca membaca dan menganalisis puisi tersebut. Pembaca berpendapat bahwa puisi tersebut dapat direkomendasikan untuk dibaca oleh semua kalangan khususnya pelajar dan mahasiswa. Karena dalam puisi tersebut mengandung amanat yang disampaikan oleh penyair untuk pembaca yang dapat dijadikan sebuah pembelajaran hidup bagi pembacanya. Dan puisi tersebut dapat menjadi sebuah pembelajaran agar dapat mengkritik karya sastra dengan baik berdasarkan unsur-unsur puisi yang ada.
3.      PENUTUP
3.1    Simpulan
Postrukturalisme berkembang sejajar dengan postmodernisme, dengan tujuan yang relatif sama, tetapi dengan tradisi dan latar belakang sosial yang berbeda. Postrukturalisme lahir sebagai akibat stagnasi strukturalisme, sedangkan postmodernisme lahir sebagai akibat jalan buntu modernisme. Postrukturalisme dan postmodernisme adalah kelanjutan strukturalisme dan modernisme.
Kondisi sosial yang dianggap sebagai pemicu lahirnya postmodernisme dan postrukturalisme adalah gerakan mahasiswa yang terjadi di Perancis tahun 1968. Postrukturalisme merupakan produk dari pencampuran euforia dan ketidakpercayaan, pembebasan dan pembubaran, karnaval dan bencana, pada tahun 1968.
Ciri-ciri teori postmodernisme dan postrukturalisme adalah penolakan terhadap adanya satu pusat, kemutlakan, narasi-narasi besar, metanarasi, dan gerak sejarah yang monolinier. Postrukturalisme menolak sistem pemikiran tunggal, sedangkan postmodernisme mensubversi univormitas, homogenitas, dan totalitas dengan memberikan intensitas pada perbedaan-perbedaan, relativitas, dan pluralisme. Di dalam teori postukturalisme terdapat teori-teori yang masuk ke dalam ranah kelompok postrukturalisme. Teori-teori tersebut yaitu teori resepsi, teori interteks, teori feminis, teori postkolonial, dan dekonstruksi.
Ada dua tahap dalam menelaah karya sastra dengan menggunakan teori postrukturalisme. Pertama, mendaftar semua (struktur) yang terdapat pada karya yang ditelaah dan meletakkan unsur tersebut pada kedudukan yang sama. Kedua, unsur-unsur yang telah dipahami dihubungkan dengan unsur lainnya.

DAFTAR RUJUKAN

Eagleton, T. 2010. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.
Harland, R. 2006. Superstrukturalisme: Pengantar Komprehensif kepada Semiotika, Strukturalisme, dan Postrukturalisme. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.
Luxemburg, J. V., Bal, M. & Weststijn, W. G. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.
Luxemburg, J. V., Bal, M. & Weststijn, W. G. 1989. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa.
Ratna, N. K. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, N. K. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugiharto, Bambang. 1996. Postmodenisme : Tantangan Bagi Filsafat. Jakarta: Kanisius.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

NEW HISTORICISM

NEW HISTORICISM OLEH Jose Da Conceicao Verdial        Pengantar Teks yang bermunculan di sekitar kita memang tidak terlahi...